20 FILM ASING TERBAIK 2024
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak satu film pun membuat saya tergerak untuk memberi nilai sempurna (lima bintang) di sepanjang 2024. Bukan berarti tahun ini mengecewakan. Ketiadaan kesempurnaan tersebut digantikan oleh kuantitas judul-judul berkesan yang meningkat pesat. Saking banyaknya, daftar yang biasanya cuma berisi 10 film saya tingkatkan menjadi 20.
Seperti biasa, film yang memenuhi syarat untuk disertakan di sini adalah film-film yang tayang di bioskop, festival, atau layanan streaming legal dalam negeri untuk pertama kalinya pada tahun 2024.
Langsung saja, berikut adalah "20 FILM ASING TERBAIK 2024" versi Movfreak:
Sebagai orang yang pernah aktif di dunia teater, saya punya soft spot untuk film-film seperti Ghostlight. Sebuah pengingat betapa seni (termasuk seni peran) bisa membantu mengenali diri sendiri dan orang lain. Bahwa seni bisa mengobati, mendamaikan, pula membebaskan.
Film yang lebih mudah dikagumi ketimbang dicintai. Tapi eksperimen dari Jonathan Glazer ini memang amat mengagumkan. Pakem narasi sinema diutak-atik guna memunculkan dampak emosi yang belum pernah ada sebelumnya.
Satu lagi contoh kehebatan sinema arus utama India perihal meleburkan tontonan menghibur dengan isu-isu sosial dengan relevansi tinggi. Tanpa harus menentang konsep pernikahan, ia mengajukan pertanyaan, "Apakah pernikahan hanya selebrasi maskulinitas laki-laki yang merasa berhasil memiliki perempuan?".
Banyak film berusaha menjadi "psikologis", tapi jarang yang seperti Longlegs, di mana semua elemennya diciptakan agar penonton memahami perasaan karakternya, lalu tanpa sadar tertular perasaan serupa. Seolah setan sedang menjangkiti umat manusia dengan segala jenis emosi negatif.
Mengetengahkan para individu lanjut usia yang cenderung dilupakan dalam pembahasan gender, My Favourite Cake tampil luar biasa manis bahkan menggemaskan, sebelum menarik penontonnya menuju jurang kepahitan di penghujung cerita.
Mengobrak-abrik pemahaman penonton terhadap formula familiar milik The Wizard of Oz, John M. Chu sanggup melahirkan salah satu musikal terbaik dalam beberapa tahun terakhir, yang turut disokong oleh penampilan luar biasa dari duo Cynthia Erivo dan Ariana Grande.
Mungkin inilah film yang paling banyak menumpahkan air mata penonton sepanjang tahun 2024. Walau demikian, film ini adalah tearjerker yang menolak secara asal mengemis tangis, dan tetap memperhatikan keindahan dalam menghantarkan emosi.
Film yang mengembalikan atensi publik ke arah subgenre body horror melalui eksekusinya yang begitu liar. Ibarat makanan, The Substance memiliki segalanya, dari kelezatan cita rasa, gizi memadai, hingga porsi mengenyangkan.
Sebuah presentasi audiovisual yang indah di segala sisinya, baik dari segi estetika, teknis, maupun tuturan kisahnya. Layaknya lukisan penuh makna yang secara ajaib dapat bergerak bebas di atas layar perak.
Ketika Hollywood melalui Monsterverse memberi throwback ke nuansa cheesy khas banyak produk era Showa, maka melalui Godzilla Minus One, Toho melahirkan salah satu cerita humanis terbaik yang pernah franchise ini tuturkan.
Film yang mengingatkan pentingnya komunikasi interpersonal di dunia nyata, di mana perbedaan perspektif jamak terjadi, tidak seperti interaksi dunia maya yang bak memaksa manusia dari beragam latar belakang untuk berbicara dalam satu nada.
Percampuran luar biasa antara teror supernatural mencekam khas horor atmosferik, dengan paparan kuat mengenai trauma bangsa yang dibawa oleh penjajahan di masa lalu. Kapan terakhir kali ada film yang mampu mendorong para penontonnya mengulik sejarah sebuah negara demi memahami keseluruhan cerita?
The Holdovers yang menunjukkan betapa film tak harus tampil "mengguncang" untuk bisa menyentuh hati. Terkadang, seperti pelukan lembut penuh kasih sayang, suatu karya mampu menghangatkan perasaan penonton justru berkat kesederhanaan miliknya.
Sebuah anti-romantisasi terhadap hingar bingar kota besar yang memanusiakan para individu di dalamnya, yang di balik segala gemerlapan lampu malam, diam-diam menyimpan cerita yang hanya bisa dituturkan lirih di bawah cahaya temaram.
Suatu pembuktian bahwa kisah mengenai seksualitas dapat disajikan secara cute, dan sebaliknya, film cute tetap bisa melempar kritik sosial setajam pisau. Bukti kalau sinema tidak semestinya mengurung diri dalam kekakuan pakem.
Dibalut pendekatan yang kadang mengingatkan ke karya-karya Yazujirō Ozu, His Three Daughters memperlihatkan potret kesatuan yang tak melupakan individualitas. Suatu pengingat bahwa keluarga diisi oleh manusia-manusia dengan segala perbedaan masing-masing.
Slice of life yang ringan di permukaan namun menyimpan kompleksitas, menggelitik sekaligus menyakitkan, begitu cantik walau mempunyai sisi kelam. Adaptasi novel autobiografi berjudul sama karya Tetsuko Kuroyanagi ini adalah mahakarya yang sanggup mengalirkan air mata selama 114 menit durasinya.
Film dengan presentasi yang begitu percaya diri serta berani dalam membicarakan soal ketiadaan ruang aman bagi perempuan, melalui kepiluan yang pelan-pelan merambat, kemudian mencengkeram dalam keheningan.
Apabila Dune pertama (2021) ibarat arthouse berkedok blockbuster, maka sekuelnya ini adalah pembuktian bahwa blockbuster bombastis pun bisa dipresentasikan sebagai sebuah "karya nyeni". Epik di segala sisi!
Seketika ingatan saya kembali menuju momen saat pertama kali menonton Challengers, dan begitu adegan penutupnya usai, saya langsung bertepuk tangan. Melalui film ini, Luca Guadagnino mengubah materi yang biasanya identik dengan opera sabun murahan menjadi observasi tentang dorongan hasrat manusia yang tampil cerdas, intens, indah, sekaligus amat sangat seksi.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar