REVIEW - HARBIN
Di adegan perang pertama sekaligus satu-satunya dalam Harbin, kita melihat pejuang kemerdekaan Korea berhasil menumbangkan pasukan Jepang meski kalah secara jumlah. Ketimbang dentuman epik atau nuansa patriotisme, musik garapan Jo Yeong-wook terdengar bak iringan untuk horor yang mencekam. Woo Min-ho yang duduk di kursi sutradara seperti ingin menjauh dari pakem "film perjuangan" konvensional.
Alurnya berpusat pada aktivis kemerdekaan Korea, An Jung-geun (Hyun Bin), yang dikenal sebagai sosok di balik pembunuhan terhadap Perdana Menteri Jepang pertama, Itō Hirobumi (Lily Franky). Peristiwa tersebut sebelumnya pernah diangkat di Hero (2022), musikal yang juga menjauhi pakem film perang tradisional.
"Pelajaran sejarah" milik film ini mengajak penonton menilik hari-hari menuju pembunuhan Itō, yang mengambil latar di Harbin, kota di Cina yang sempat berada di bawah kekuasaan Rusia. Bersama rekan sekaligus rivalnya, Lee Chang-seop (Lee Dong-wook), An Jung-geun memimpin jalannya misi. Bantuan turut diberikan oleh Ms. Gong (Jeon Yeo-been) yang menetap di Vladivostok selepas kematian suaminya di perang kemerdekaan.
Naskah buatan sang sutradara bersama Kim Min-seong sejatinya masih berjalan sesuai formula film perjuangan dengan bumbu spionase. Protagonisnya menyusun strategi, menjalankannya, menemui rintangan, lalu mendapati adanya pengkhianat yang jadi mata-mata musuh di antara mereka.
Pembedanya terletak pada gaya eksekusi, di mana Harbin memilih pendekatan ala film noir. Alurnya bergerak lambat, musiknya atmosferik, kita pun bakal banyak menjumpai imageries orang-orang bertopi fedora lengkap dengan trench coat dalam bentuk siluet. Semua melengkapi kriteria noir, yang sekali lagi, menjauhkan Harbin dari rekan-rekannya sesama film soal perjuangan kemerdekaan Korea.
Harbin tidak tampil meledak-ledak. Suasana sendu cenderung kelam, bak ingin menerjemahkan gejolak perasaan karakternya. Tapi di sisi lain, sinematografi buatan Hong Kyung-pyo acap kali menampilkan bentangan lanskap cantik, dari dinginnya Sungai Tumen yang membeku, sampai padang pasir gersang di Manchuria yang mengingatkan ke Lawrence of Arabia (1962).
Karena pada akhirnya, tidak peduli serusak apa pun sebuah negara akibat peperangan, atau segelap apa pun perasaan para manusia di tengah penjajahan, selalu ada cahaya harapan yang menolak padam. Pemenang sesungguhnya adalah mereka yang menolak dikalahkan oleh kegelapan. Itulah proses yang An Jung-geun lalui di sini.
Di satu kesempatan, An Jung-geun membebaskan para tahanan perang, termasuk Tatsuo Mori (Park Hoon) si komandan pasukan, yang bukannya berterimakasih, justru makin beringas membantai orang-orang Korea dan menyimpan dendam terhadapnya. An Jung-geun yang selalu menentang pembunuhan pun menyadari kesalahannya, mulai berubah, dan terlibat dalam penembakan Itō. Di tengah kesegaran gayanya, Harbin tetap belum beranjak dari penggambaran hitam-putih yang menandakan film perjuangan beraroma konservatif. Agak disayangkan, namun menyimak latar belakang sejarahnya, jelas bukan pilihan yang dapat disalahkan.
Pada akhirnya kita melihat bagaimana An Jung-geun tidak pernah menghapus nuraninya. Sang pahlawan kemerdekaan muncul sebagai pemenang bukan karena lesatan peluru, melainkan caranya memperjuangkan kemanusiaan. Idealisme si protagonis berkulminasi di sebuah konklusi, yang meskipun tampil sunyi tetap terasa menggugah. Di momen penutup tersebut Korea belum terbebas dari penjajahan, tapi individu-individu di dalamnya, yang diwakili oleh para pejuang, telah memerdekakan jiwa mereka.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar