REVIEW - THE RED ENVELOPE
The Red Envelope menawarkan konklusi hangat yang menunjukkan bahwa pernikahan seperti apa pun, baik gay atau hetero, secara esensial adalah penggabungan dua keluarga. Sebuah proses menambah orang yang kita sayang sekaligus menyayangi kita. Poin itulah yang mestinya dieksplorasi lebih jauh dan dijadikan menu utama oleh karya terbaru Chayanop Boonprakob (Friend Zone, May Who?, SuckSeed) ini.
Sayang, durasi cukup panjang (125 menit) milik remake dari Marry My Dead Body yang sempat mewakili Taiwan di Academy Award 2024 ini tak dimanfaatkan guna menguatkan penceritaan. Isu pernikahan sesama jenis yang telah dilegalkan sejak awal 2025 bukannya diperdalam, malah sebatas dijadikan pernak-pernik humor.
Protagonis kita adalah Menn (Putthipong Assaratanakul), informan kepolisian yang tak kompeten dalam bekerja, sedangkan isi pikirannya cuma dipenuhi keinginan memikat seorang petugas bernama Goi (Arachaporn Pokinpakorn). Sampai ia memungut sebuah amplop merah yang tanpa diduga membuatnya mesti melangsungkan pernikahan gaib dengan arwah Titi (Krit Amnuaydechkorn).
Titi meninggal akibat kecelakaan sebelum sempat menikah, dan sang nenek (Piyamas Monyakul) ingin mewujudkan impian tersebut. Masalahnya Titi merupakan seorang gay, sehingga keinginannya tak pernah direstui oleh ayahnya (Teravat Anuvatudom). Sampai di sini, The Red Envelope punya segalanya untuk menghadirkan kisah dengan daya hibur serta dampak emosi tinggi.
Di awal pertemuan mereka, Menn takut pada Titi. Bukan semata disebabkan ia hantu, pula karena orientasi seksualnya. Menn jijik pada sesuatu yang asing baginya. Di lain pihak, Titi ingin orang-orang seperti Menn tidak segampang itu menghakimi dirinya tanpa mengenal secara lebih mendalam.
Naskah yang ditulis oleh sang sutradara, Chayanop Boonprakob, bersama Thamsatid Charoenrittichai, Chantavit Dhanasevi, dan Weawwan Hongvivatana, sejatinya mampu menciptakan perjalanan menyenangkan, namun di saat bersamaan, gaya bertutur alurnya tak mendukung dinamika kompleks antar dua tokoh utamanya sebagaimana dijabarkan di atas.
Alurnya menyoroti penyelidikan mengenai kebenaran di balik kematian Titi, yang skalanya seketika membesar hingga membenturkan dua protagonisnya dengan skema licik seorang bandar narkoba kelas kakap. Chayanop menggulirkan kisah tersebut dengan cepat guna menjaga kesan menghibur (yang mana berhasil), walau secara bersamaan, alur yang bergerak terlampau liar cenderung menyulitkan terjalinnya kepedulian serta koneksi emosional antara karakter dan penonton.
The Red Envelope hadir dengan humor yang tidak jauh-jauh dari nuansa nakal, seolah tuturan mengenai LGBTQ harus selalu kental banyolan jorok. Beberapa humor usang masih dipresentasikan (adegan "mengocok minuman" bahkan muncul lebih dari sekali), walau untungnya, tatkala kreativitas para penulis tengah mencuat, kenakalan tersebut tetap efektif memancing tawa tak terduga. Apalagi dua pelakon utamanya, Putthipong Assaratanakul dan Krit Amnuaydechkorn, sama-sama tampil apik perihal menyeimbangkan keseriusan akting dramatik dan kekonyolan komedik.
Mungkin The Red Envelope belum berhasil memaksimalkan potensinya. Cukup disayangkan, mengingat tahun lalu GDH pernah melahirkan kisah LGBTQ dengan sensitivitas lebih tinggi lewat The Paradise of Thorns. Tapi bukan berarti relevansinya berkurang. Melihat cara LSF mencederai film ini, termasuk kala memotong adegan battle dance yang bahkan bukan "gay thing", atau ketika mendesain terjemahan supaya terkesan "tidak terlalu homoseksual", The Red Envelope justru semakin penting untuk disaksikan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar