REVIEW - MUNGKIN KITA PERLU WAKTU

Tidak ada komentar

Mungkin Kita Perlu Waktu dibuka saat seorang remaja berbaring sembari menyalakan lalu mematikan lampu kamarnya secara berulang. Setiap lampu padam, nampak sekelebat pemandangan mengenai kecelakaan yang merenggut nyawa kakak perempuannya di suatu malam. Karya terbaru Teddy Soeriaatmadja ini membicarakan hal-hal yang manusia lihat serta rasakan kala jatuh dalam jurang terkelam kehidupan. Menyeramkan, menyakitkan, tapi bagian terburuknya, semua itu tak dapat dihapus semudah mengusir kegelapan yang hanya membutuhkan secercah cahaya lampu. 

Selepas alunan Nocturnes, Opus 9 gubahan Chopin yang bakal berulang kali diperdengarkan termasuk dalam versi gitar akustik, kita pun diajak berkenalan lebih jauh dengan sosok si remaja beserta keluarganya. Namanya Ombak (Bima Azriel). Dia terjebak depresi pasca kematian kakaknya, Sara (Naura Hakim). Ombak merasa bersalah, karena dialah yang menyetir mobil pada kecelakaan yang merenggut nyawa Sara. 

Kondisi orang tuanya tidak lebih baik. Sang ibu, Kasih (Sha Ine Febriyanti), berupaya mencari ketenangan lewat agama. Ombak yang sempat mencoba bunuh diri dibawanya ke ahli rukiah. Dia pun hendak berangkat umrah bersama sang suami, Restu (Lukman Sardi). Keterpurukan Kasih, yang bahkan terkesan menjauhi Ombak, sejatinya dapat dipahami. Sebagai ibu religius, tentu ia merasa terpukul mendapati putrinya meninggal dalam kondisi mabuk. 

Sebaliknya, Restu berusaha terlihat tabah, karena sebagai kepala keluarga ia merasa bertanggung jawab supaya "kapal" yang mereka naiki tidak karam. Situasi apa pun ia sikapi secara santai, yang justru tak jarang memberi luka tambahan bagi istri maupun anaknya. Singkatnya, tiga anggota keluarga disfungsional ini menjalani hidup tanpa hasrat. Mereka cuma menjalankan peran sosial masing-masing layaknya bagian-bagian penggerak dalam sebuah mesin. 

Pendekatan yang Teddy pakai guna menangani isu kesehatan mentalnya cenderung sensitif. Kepiluan tiap karakter bukan dipakai sebagai pemantik dramatisasi, tangisan mereka (yang tidak mengisi layar tiap lima menit sekali) pun tidak dieksploitasi. Dampak emosi bukan lahir dari manipulasi, melainkan akting heartbreaking trio pemeran utamanya. Entah ledakan-ledakan rasa dari Bima Azriel, kata-kata tajam yang menyimpan luka dari Sha Ine Febriyanti, atau tatapan menusuk Lukman Sardi yang berjuang keras menahan letupan pilunya. 

Mungkin Kita Perlu Waktu mengedepankan proses observasi terhadap interaksi individu, baik dengan individu lain maupun hatinya sendiri. Tengok saat Ombak akhirnya bisa mengobrol dengan Aleiqa (Tissa Biani), teman sekelas yang selama ini diam-diam ia taksir, dan berujung saling berbagi sisi gelap satu sama lain. Cara Teddy mengemas dinamika keduanya serasa berkiblat pada metode Richard Linklater di Before Sunrise (termasuk menyertakan adegan music booth) yang menjadikan obrolan selaku jendela mengamati ruang intim manusia. 

Filmnya bakal jauh lebih kuat andai Teddy memberi jatah lebih bagi hubungan dua remaja tersebut, alih-alih mengharuskannya berbagi porsi dengan momen kunjungan Ombak ke Nana (Asri Welas), psikolog yang direkomendasikan oleh ayahnya. Masalahnya, penggambaran Teddy terhadap si psikolog cenderung ambigu. 

Nana bersikap ketus, minim empati, pula terkesan menghakimi kala mendengarkan konsultasi Ombak. Dia mewakili segala hal yang keliru dalam kode etik seorang psikolog. Tapi ada kalanya ia memberi pesan bermanfaat, termasuk di adegan konsultasi terakhir Ombak, maupun obrolannya dengan Restu. Apakah Teddy memang hendak memberi gambaran soal psikolog yang buruk, atau malah kita sedang melihat contoh penanganan (penulisan, penyutradaraan, akting) yang buruk terhadap sesosok karakter? Tidak pernah jelas. 

Sungguh sayang jika perjalanan Mungkin Kita Perlu Waktu menemui batu sandungan dalam bentuk karakter minor dengan signifikansi minim seperti Nana, tapi alurnya terlampau menarik untuk bisa diruntuhkan begitu saja. Daripada membaik secara bertahap layaknya di film-film arus utama, seiring durasi, kita justru melihat kondisi para protagonisnya yang semakin jatuh. 

Konklusinya pun menolak bermain aman. Teddy bersedia berpijak pada realita dan menggunakan sudut pandang yang tak harus sejalan dengan norma standar masyarakat. Karena ada kalanya sebuah kapal memang sudah terlalu banyak mengalami kerusakan, dan bakal membahayakan penumpangnya bila dipaksa terus mengapung. Mungkin itulah waktunya para kru lanjut berlayar dengan kapal baru masing-masing. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: