REVIEW - ON BECOMING A GUINEA FOWL
On Becoming a Guinea Fowl dibuka saat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya kala malam hari, tiba-tiba menemukan mayat di tengah jalan. Responnya cenderung dingin, tak ubahnya seorang karakter dari film komedi kelam berbalut surealisme sedang menghadapi satu dari sekian banyak peristiwa absurd. Tapi seiring kisahnya bergulir, lalu makin banyak rahasia terkuak, rupanya ada alasan yang memang kelam namun sangat berpijak pada realisme di balik respon si perempuan.
Shula (Susan Chardy) nama perempuan itu, sedangkan mayat yang tergeletak di jalanan Zambia itu adalah milik pamannya, Fred (Roy Chisha). Nsansa (Elizabeth Chisela), sepupu Shula yang seorang pemabuk, tiba di TKP beberapa saat berselang. Di sela-sela sibuknya prosesi pemakaman, Nsansa dengan gayanya yang ceria, berkisah tentang bagaimana Fred pernah melecehkannya semasa ia kecil.
Rupanya kebejatan Fred sudah diketahui keluarga besarnya. Selain doyan mabuk-mabukan, dia kerap melecehkan anak di bawah umur. Lokasi penemuan mayatnya yang berada tidak jauh dari rumah bordil pun memancing kecurigaan. Bahkan ia menikah sewaktu istrinya (Norah Mwansa) baru berumur 11 tahun. Haruskah kematiannya diratapi?
On Becoming a Guinea Fowl jadi cara Rungano Nyoni (I Am Not a Witch) selaku sutradara sekaligus penulis naskah untuk menggugat norma, bahwasanya, beberapa keburukan yang dilanggengkan atas nama "adat" sudah sepantasnya dihapuskan. Shula dipusingkan oleh para bibinya, yang mengatur bagaimana ia mesti berperilaku di tengah situasi berduka, terutama keharusan untuk meraung-raung meratapi kematian Fred.
Di mata Nyoni, beberapa hal berkedok "kultural" hanyalah bentuk pengekangan yang menciptakan kepalsuan. Pemakaman penuh puja-puji atas nama kekeluargaan walau si mendiang telah diketahui bersama kerap melakukan tindakan keji, para istri yang diwajibkan menuruti arahan suami biarpun diperlakukan layaknya budak, hingga para perempuan yang terpaksa bungkam mengenai perilaku laki-laki yang mengedepankan kelaminnya.
Alurnya bergulir lembut, mulus, hingga eksposisi tak terasa seperti eksposisi, melainkan peristiwa yang terjadi secara natural. Pada suatu kesempatan, Shula berusaha mengajak bicara ibunya (Doris Naulapwa) mengenai kegundahan yang ia rasakan. Masalahnya sang ibu terlalu sibuk mengurusi keperluan pemakaman, menyiapkan makanan, sampai membersihkan kandang hewan peliharaan, sehingga tak sempat meluangkan sedikit waktu bicara hati ke hati.
Keharusan menuntaskan segala pekerjaan domestik membuat perempuan Zambia kehilangan ruang bersuara. Di sisi lain kita menyaksikan para laki-laki, yang juga memegang peran selaku pemimpin adat, bebas bercengkerama, pula dengan santai mengeluhkan santapan yang belum tiba.
Salah satu adegan paling magis di On Becoming a Guinea Fowl adalah saat Shula dan Nsansa dikelilingi para bibinya di dapur. Gerombolan perempuan dewasa yang sedari awal seperti hanya memedulikan sebanyak apa air mata yang ditumpahkan bagi Fred, mendadak mengakui luka yang dipendam oleh dua keponakan mereka, sebelum melantunkan nada-nada tradisional indah bersama-sama. Di tengah dunia yang tunduk pada kuasa laki-laki, hanya itulah bentuk "bersuara" yang bisa dilakukan perempuan.
Arti judulnya yang unik terungkap di sebuah kilas balik soal masa kecil Shula, ketika ia menonton program anak-anak di televisi. Di situlah Shula belajar tentang bagaimana guinea fowl (ayam mutiara) adalah hewan yang cenderung cerewet, dan menggunakan suara mungil mereka untuk memperingatkan satu sama lain bila ada predator mendekat.
Penjelasan tersebut berkulminasi di momen penutup filmnya yang hadir begitu kuat, tatkala di antara keributan keluarganya, Shula bersuara layaknya ayam mutiara. Kicauannya begitu lirih, namun lambat laun mengeras seiring kamera yang pelan-pelan mendekat. Kamera itu mewakili perspektif Nyoni mengenai bagaimana semestinya masyarakat bersikap saat ada perempuan bersuara. Satu suara kecil bakal terdengar keras, pula berdampak besar, bila kita bersedia mengindahkannya.
(Klik Film)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar