REVIEW - GOOD BOY
Satu hal yang membuat sinema horor Asia menonjol dibanding rekan sejawatnya dari barat adalah perspektifnya terhadap fenomena mistis, yang tidak melulu dipandang selaku kekuatan jahat untuk dibasmi, melainkan bagian siklus kehidupan. Good Boy karya Ben Leonberg merupakan produk Hollywood langka yang mampu memberi cerminan bagi sudut pandang tersebut.
"Horor yang dipresentasikan lewat sudut pandang anjing." Begitulah konsep "seksi" film ini. Leonberg mengambil gambar secara langsung di lokasi selama 400 hari, menjadikan anjingnya sendiri, seekor golden retriever cerdas bernama Indy sebagai pelakon utama, memerankan sahabat setia manusia yang menolak gentar meski harus berhadapan dengan entitas misterius.
Pemilik Indy bernama Todd (Shane Jensen), yang mengajak si anjing pindah ke rumah kakeknya di area terpencil, pasca divonis mengalami penyakit paru-paru kronis. Todd berharap tinggal dan beraktivitas di alam dapat memperbaiki kondisinya, tanpa menyadari kehadiran sosok hitam yang senantiasa mengintainya.
Tapi Indy sadar. Dia sering menatap dan menggonggong ke arah sesuatu yang tak bisa Todd lihat. Di sinilah letak kecerdikan konsepnya. Ketika horor konvensional kerap menyulut kekesalan penonton dengan polah bodoh karakter manusianya yang secara ceroboh menyatroni area gelap nan berbahaya, Good Boy berbeda. Indy melakukan hal serupa, tapi didasari kemurnian hati dan keinginannya melindungi Todd. Bukannya kesal, justru kehangatan yang terasa.
Dibantu tata kamera arahan Wade Grebnoel, Leonberg membangun nuansa atmosferik berbekal pendekatan visualnya yang berfokus pada membatasi jarak pandang, baik berbekal gambar grainy ala home video, atau pemakaian lingkungan berkabut selaku latar. Keterbatasan itu melucuti rasa aman, pula mencuatkan kecemasan karena kepedulian penonton terhadap Indy.
Ada kalanya kecemasan tersebut memanipulasi pikiran. Kameranya yang sering berdiam diri menangkap sisi gelap ruangan selama beberapa waktu, mendorong saya untuk percaya bahwa di sana ada sesosok wujud yang perlahan terbentuk. Sebagaimana yang dilakukan Kyle Edward Ball dalam Skinamarink (2022), Grebnoel menginvasi psikis penontonnya, membuat kita melahirkan teror itu sendiri.
Sayangnya keterbatasan Good Boy segera menampakkan diri. Film ini tak kuasa menyembunyikan ketipisan alurnya, biarpun memiliki durasi yang tergolong pendek (73 menit). Pasalnya, naskah buatan Grebnoel bersama Alex Cannon sebatas mengulangi rutinitas Indy memperhatikan kekosongan, mengejar ketiadaan, kemudian sesekali memperoleh penglihatan sureal bak mimpi. Seiring waktu, amunisi tersebut mulai kehilangan daya bunuhnya. Rasanya Good Boy akan lebih efektif sebagai film pendek berdurasi 30-45 menit.
Ada sebuah pilihan menarik yang Grebnoel terapkan, yakni tidak menampakkan wajah karakter manusia. Salah satunya karena pemakaian low-angle guna memposisikan penonton di perspektif yang sama dengan Indy, sehingga wajah Todd kerap tersamarkan oleh efek backlight.
Gaya tersebut bukan mengeskalasi kesan misterius sekaligus menekankan ketajaman indra anjing, yang tak bergantung secara berlebih pada penglihatan layaknya manusia. Selain mewakili kemampuan anjing mendeteksi ancaman tak kasat mata, Grebnoel juga ingin menegaskan kemurnian hatinya. Anjing menyayangi manusia tanpa memedulikan seperti apa rupa kita.
Hangat. Menyentuh. Apalagi saat kisahnya tiba di fase konklusi, yang bak versi mistis dari kisah legendaris Hachiko, di mana identitas serta intensi sang entitas kegelapan akhirnya terungkap. Sekali lagi, Good Boy bukanlah tipikal horor mengenai pertarungan membasmi iblis. Si antagonis eksis bukan untuk dilawan, namun selaku medium eksplorasi soal "sahabat terbaik manusia", yang setia menemani seraya memberi perlindungan, selama si manusia mengarungi perjalanan bernama "lingkaran kehidupan."
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar