REVIEW - TRON: ARES
Terdapat satu sekuen aksi di Tron: Ares yang sangat saya sukai, yakni saat Julian Dillinger (Evan Peters) berupaya meretas server perusahaan saingannya, ENCOM. Sebagai visualisasi peretasan, di bawah pimpinan Ares (Jared Leto), sekelompok pasukan yang merepresentasikan program, menyerbu benteng pertahanan ENCOM. Terjadilah pertarungan dua pihak, layaknya konfrontasi antara virus dengan perangkat lunak yang melakukan pembasmian.
Walaupun estetika game video klasik digantikan oleh pemandangan digital yang lebih mutakhir (mungkin karena game sekarang sudah tak jauh beda dengan realita), sekuen di atas jadi bukti pemahaman film ini akan jiwa dari Tron. Sebuah cerita yang mengubah tetek bengek teknologi nerdy menjadi spektakel layar lebar keren.
Ceritanya pun mengandung relevansi. Alkisah, teknologi yang sudah sedemikian maju memungkinkan manusia memindahkan benda atau entitas digital ke dunia nyata, menggunakan laser pencetak (versi canggih dari printer 3D). Julian melalui Dillinger Systems miliknya, serta ENCOM yang dikepalai Eve Kim (Greta Lee), bersaing menyempurnakan teknologi tersebut. Julian membuat tank guna dijual ke pihak militer, sedangkan Eve menciptakan pohon guna mensejahterakan umat manusia.
Naskah buatan Jesse Wigutow menyampaikan perspektifnya mengenai isu AI yang terus memancing kontroversi di dunia nyata. Di mana kita mesti meletakkan garis batas terkait penggunaan AI? Kapan pastinya "membantu manusia" berubah jadi "menghancurkan manusia"? Di situlah Ares mengambil peran penting.
Sejatinya Ares merupakan program yang memegang kendali di dunia Grid kepunyaan Dillinger Systems. Misinya adalah merebut kode yang memungkinkan benda digital berpindah ke dunia nyata secara permanen (tanpa kode tersebut, mereka, termasuk Ares, hanya punya waktu 29 menit sebelum melebur, lalu kembali ke Grid). Sampai seperti sosok monster dalam kisah Frankenstein, Ares mulai tertarik pada hal-hal bersifat manusiawi seperti emosi dan mortalitas.
Jared Leto cukup cerdik mengakali performanya, dengan membedakan pendekatan antara karakter Ares sebelum memahami kemanusiaan (dingin, kaku, robotik) dan sesudah (lebih ekspresif, punya empati). Ares si program terkuat, yang kalau mau bisa saja membelot untuk menguasai dunia nyata, lebih tertarik menyelami rasa dari air hujan yang membasahi kulit.
Pernyataan dari naskahnya jelas: Mortalitas manusia tetap superior dibanding kecanggihan abadi entitas artifisial. Ekspresi kekagumannya bukan lagi terhadap teknologi, melainkan kemanusiaan. Klimaksnya turut menegaskan poin tersebut, dengan menolak membuat karakter manusia bisa berdiri sendiri tanpa harus terlampau bergantung pada AI. Justru sebaliknya, AI yang membutuhkan manusia.
Tron: Ares membawa franchise-nya berevolusi, sembari menjaga supaya tak kehilangan identitas. Salah satunya lewat penghormatan indah yang diberikan ke film orisinalnya, dalam bentuk kunjungan ke dunia Grid versi klasik. Ada kesegaran menyaksikan estetika lawas dihidupkan memakai teknologi mutakhir.
Visualnya kelas satu. Baik warna-warni neon dari light cycle yang kini dipacu melintasi kota pada malam hari, sampai visualisasi alat-alat canggih yang Ares dan timnya bawa ke dunia nyata. Semua berjasa menyulap tuturan teknologi nerdy jadi parade estetika keren, yang makin diperkuat oleh iringan musik gubahan Nine Inch Nails, yang membuat pengalaman menonton Tron: Ares bak kunjungan ke surga industrial kelam.
Sayangnya ada satu lubang menganga, yakni pengarahan aksi dari Joachim Rønning yang seperti kehabisan tenaga. Pengadeganannya serba canggung. Tengok deretan shot menggelikan yang menyusun kegagalan Athena (Jodie Turner-Smith) menangkap Eve di sebuah adegan kejar-kejaran.
Di tengah nyala neon dan gempuran nada-nada elektronik Nine Inch Nails, pengadeganan Rønning bak anomali yang melemahkan dampak tiap momen aksi. Miskin gaya, tanpa tenaga, layaknya mengendarai light cycle dengan kecepatan 20 km/jam sembari menaati segala aturan lalu lintas.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar