REVIEW - YAKIN NIKAH

Tidak ada komentar

Yakin Nikah adalah film yang sangat ringan. Pernyataan tersebut saya maksudkan sebagai pujian. Adaptasi serial web berjudul sama ini bak mengajak penontonnya kembali ke era kejayaan komedi romantis, di mana hal-hal sederhana seperti jatuh cinta dan patah hati, mampu mendatangkan pengalaman sinematik menyenangkan. 

Ringan tidak berarti asal-asalan. Tengok cara kreatif filmnya dalam mengemas kredit pembuka, yang memajang nama para kru serta pemain di aneka properti. Bukan film Indonesia pertama yang menerapkan itu, tapi sudah cukup jadi bukti keseriusan pembuatnya, biarpun karya mereka "hanya" tontonan ringan. 

Individu yang dipusingkan oleh pernikahan bernama Niken (Enzy Storia). Ibunya, Ratna (Ersa Mayori), mendorong Niken agar segera menikah, supaya tidak dilangkahi oleh sang adik, Anggy (Amanda Rigby), yang baru saja menerima lamaran pacarnya (Arya Vasco). Berkaca pada pengalaman pribadinya, Ratna percaya akan tercipta konflik bila seorang adik mendahului kakaknya membina rumah tangga. 

Anggapan "melangkahi" sebagai pamali merupakan isu yang meresahkan di keluarga Indonesia. Banyak keluarga pecah, pula pernikahan diadakan secara buru-buru akibat kepercayaan tersebut. Yakin Nikah yang ingin memposisikan diri sebagai romcom ringan yang tak membebani diri dengan problematika kompleks, enggan memperdalam fenomena tersebut, dan bukan masalah. Eksistensinya sudah cukup memberi motivasi atas tindakan-tindakan karakternya. 

Sebenarnya Niken sudah menjalin hubungan bersama Arya (Maxime Bouttier), hanya saja ia terlampau sibuk bekerja hingga kerap lalai meluangkan waktu. Lalu datanglah Gerry (Jourdy Pranata), mantan pacar Niken. Mereka bahkan sempat bertunangan, sebelum Gerry tiba-tiba menghilang. 

Siapa yang Niken pilih? Yakin Nikah sekilas cuma membangun narasi berdasarkan pertanyaan klise nan dangkal tersebut, tapi naskah buatan Bene Dion Rajagukguk, Sigit Sulistyo, dan Erwin Wu, sesungguhnya tampil lebih cerdik dari perkiraan. Arya dan Gerry tidak diberi cap "first/second lead" sebagaimana drama Korea yang jadi salah satu inspirasinya. Keduanya diberi kesempatan berimbang memamerkan pesona sembari menampakkan kelemahan masing-masing. 

Keputusan itu sempat membuat alurnya terkesan repetitif, kala Niken dibuat berkali-kali berpindah hati, namun di sisi lain, pengulangan tersebut cukup efektif mewakili kondisi sang protagonis yang terombang-ambing dalam pilihan dilematis. Paparan kisah cintanya pun menyesuaikan dinamika kehidupan usia dewasa tokoh-tokohnya, di mana romantisme bukan didasari aksi saling tukar puisi yang cuma terdengar manis di mulut, pula memperhatikan hal-hal seperti kemampuan membahagiakan orang tua pasangan, hingga menciptakan work-life balance demi stabilitas hubungan. 

Di kursi sutradara, Pritagita Arianegara konsisten menggerakkan filmnya secara cepat supaya daya hiburnya terjaga, biarpun kadang pendekatan itu berdampak pada progresi narasi yang melompat-lompat secara kasar. Tapi sekali lagi, hasilnya menyenangkan. Apalagi Enzy tampil dengan pesona khas leading lady sebuah komedi romantis, meski agak disayangkan, departemen naskah kurang memfasilitasi talenta komedinya. 

Selaku figur protagonis komedi romantis, karakter Niken tidak diberi banyak peluang menyambangi area komikal filmnya. Peran itu diemban oleh para pelakon pendukung, terutama Agens Naomi yang mencuri perhatian sebagai Prita, sahabat Niken yang setia mewarnai hari-harinya di kantor. 

Sedangkan di tatanan lebih serius, Tora Sudiro jadi poros kehangatan kisahnya, sebagai Hendar, ayah Niken yang sarat kebijaksanaan dengan segudang petuah dan kasih sayang. Tangisan Ersa Mayori pun berjasa mengeskalasi dampak emosi di fase konklusi filmnya, yang menolak mengikuti pakem akhir bahagia ala cerita arus utama. Karena ada kalanya tuntutan-tuntutan sosial tidak perlu diacuhkan, dan opsi terbaik yang semestinya dipilih adalah diri kita sendiri. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: