REVIEW - RANGGA & CINTA

Tidak ada komentar

Rangga & Cinta menyebut dirinya sebagai "rebirth" dari Ada Apa dengan Cinta? dengan jajaran pemain baru, tetapi mengusung formula cerita lama dalam latar waktu period. Bentuk musikal dipilih sebagai bukti dedikasi untuk membawa perbedaan, namun pembuatnya tak pernah secara total menyelami kolam tersebut. Timbul pertanyaan besar: Film ini dibuat untuk siapa?

Nostalgia seketika menyeruak seiring terdengarnya kocokan gitar dari intro lagu Ku Bahagia, sementara sekelompok anak SMA berjungkir balik, melompat, bernyanyi sambil menari dengan penuh tenaga. Cara mengawali penceritaan yang efektif memupuk antusiasme penonton. Begitu nomor musikal usai, barulah kita berkenalan dengan sang protagonis dan geng siswi-siswi gaulnya.

Cinta (Leya Princy) si "jagoan puisi" menjalin persahabatan dengan Alya (Jasmine Nadya) yang punya masalah keluarga, Maura (Kyandra Sembel) yang populer di kalangan murid laki-laki, Karmen (Daniella Tumiwa) si tomboi yang emosional, dan Milly (Katyana Mawira) yang paling telmi. Kekalahan Cinta dari kakak kelasnya yang misterius, Rangga (El Putra Sarira), di lomba puisi sekolah jadi gerbang perkenalan keduanya. 

Naskah buatan Mira Lesmana dan Titien Wattimena masih mengangkat pondasi cerita serupa versi orisinal, termasuk perihal latar 2000-an awal yang minim signifikasi, walau sekadar pernak-pernik kultural populer yang mengundang nostalgi. Jika jajaran pelakon generasi sekarang telah didapat, mengapa tak sekalian menerapkan modernisasi? 

Setidaknya para anak muda yang jadi motor penggerak film ini bermain baik. "Geng Cinta" selalu menyenangkan disimak, sedangkan El Putra Sarira dan Leya Princy membawa romantisme menggemaskan di tengah aksi saling sindir serta adu argumen khas Rangga-Cinta, sambil sesekali melontarkan kalimat ikonik ("Pecahkan saja gelasnya biar ramai", "Salah gue? Salah temen-temen gue?", dll.) yang saya harap bisa mengakar di hati generasi muda, sebagaimana dialami oleh para milenial dahulu. 

Tapi pada akhirnya, baik generasi tua maupun muda rasanya takkan sanggup film ini wakili secara total. Termasuk saat ciuman legendaris di klimaksnya dihilangkan. Gestur yang Rangga berikan ke Cinta sejatinya manis, tapi penggemar lama akan kehilangan momen favorit mereka, sementara penonton baru yang cenderung lebih menormalisasi kemesraan semacam itu bakal merasakan kejanggalan serba tanggung. Rangga & Cinta bukan nostalgia sarat romantisme akan masa lalu, bukan pula pembaruan progresif. 

Pengarahan Riri Riza di nomor musikalnya pun bernasib serupa. Saya menyebut Rangga & Cinta sebagai "musikal malu-malu". Banyak momen potensial dibiarkan berlalu tanpa disenandungkan, kemudian saat musikal itu datang, terkadang ia bergulir terlampau singkat, bahkan beberapa di antaranya tampil seperti montase ala kadarnya. Untunglah lagu-lagu klasik gubahan Melly Goeslaw belum kehilangan daya bunuhnya.

Musikal berkualitas tidak harus terlihat grande. Kesederhanaan milik nomor Tentang Seseorang yang menduetkan dua pemeran utamanya justru jadi titik terbaik filmnya, membuat saya berandai-andai apa jadinya bila Rangga & Cinta menempuh jalur musikal realis ala karya-karya John Carney. 

Sayangnya di kesempatan lain, pengadeganan sang sutradara kembali mengulangi kelemahan yang ia nampakkan di Petualangan Sherina 2 (2023), yakni sebatas merekam sekelompok individu yang bernyanyi dan menari. Waralaba sebesar AADC? layak mempunyai musikal dengan sentuhan estetika lebih mumpuni, alih-alih sekadar mengubah warna lampu seperti pertunjukan teater sederhana atau menggelindingkan bola-bola basket seadanya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: