REVIEW - TUKAR TAKDIR

Tidak ada komentar

Mengadaptasi novel berjudul sama karya Valiant Budi, Tukar Takdir bicara soal duka yang dilahirkan oleh tragedi. Banyak sineas tanah air yang niscaya bakal mengeksploitasi kondisi tersebut guna menjadikan tiap adegan sebagai alat penguras air mata, Mouly Surya selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menolak pendekatan nirempati dengan menaruh fokus pada keintiman humanis untuk mengajak penonton memahami duka tersebut.

Tragedi yang dimaksud adalah sebuah kecelakaan pesawat. Sebanyak 126 orang termasuk para kru tewas, menyisakan seorang saja penyintas. Rawa (Nicholas Saputra) namanya, yang juga mesti bergulat dengan PTSD. Adegan kecelakaan itu divisualisasikan dengan CGI seadanya (bisa dipahami), pula berlangsung singkat, sebab detailnya baru akan kita saksikan seiring investigasi KNKT yang turut melibatkan kesaksian Rawa.

Sekali lagi, Mouly enggan menitikberatkan alurnya pada hal-hal sensasional seperti penyelidikan kasus penuh kejutan. Subplot tersebut bukanlah menu utama, melainkan bumbu penyedap bagi studi karakter miliknya, termasuk cara yang ditempuh para keluarga korban untuk menangani duka masing-masing. 

Misalnya Dita (Marsha Timothy), yang menyalahkan Rawa atas kematian sang suami, Raldi (Teddy Syah). "Kenapa yang selamat Mas Rawa dan bukan suami saya?", tegasnya. Ada juga Pak Mukhsin (Ayez Kassar) yang kehilangan istri, tiga anak, menantu, serta cucunya yang masih bayi meninggal dalam tragedi tersebut. Sulit menyangkal ketidakadilan takdir.

Di sisi lain, Tukar Takdir turut menunjukkan sisi-sisi lain di sekeliling sebuah tragedi. Buruknya pengelolaan armada maskapai penerbangan, praktik suap-menyuap, hingga tendensi aji mumpung para pembuat konten. Salah satu YouTuber (Violla Georgie) melempar teori yang menuduh Rawa sebagai teroris pembawa bom, meski di awal video ia berkata bahwa dirinya bukan pilot atau ahli ilmu penerbangan. Tragedi memang acapkali menelanjangi wajah kelam (dan bodoh) negeri ini. 

Tapi sentilan di atas tak pernah mencuri fokus. Penelusuran terhadap kompleksitas emosi manusia, pula ragam cara yang ditempuh untuk mengendalikannya, selalu jadi sorotan utama. Rawa berupaya membantu mengungkap kebenaran sembari bergulat dengan survivor guilt, Dita mengajak keluarga korban lain untuk melayangkan gugatan terhadap maskapai, sedangkan Zahra (Adhisty Zara), putri Kapten Dirga (Tora Sudiro) yang merupakan pilot kecelakaan nahas itu, memilih seks sebagai alat peredam pilu. 

Tiada cara yang patut disalahkan, maupun emosi yang boleh dikerdilkan. Naskahnya membantu penonton memahami dinamika masing-masing karakter, begitu pun departemen akting. Nicholas Saputra tampil dengan salah satu range akting terluas di sepanjang karirnya, sementara Marsha Timothy berkali-kali menusuk hati dengan dinamikanya dalam mengekspresikan duka. Satu saja keluhan saya: jajaran figurannya berbicara sekaku AI. 

Mouly menolak buru-buru dalam menggerakkan alurnya, membiarkan penonton perlahan meresapi kepiluan tiap individu yang tidak melulu harus diletupkan. Pengarahannya sarat sensitivitas, menciptakan momen-momen emosional tanpa terkesan mengemis tangis. Khususnya momen kala Rawa akhirnya mengerti alasan mengapa takdir semesta membiarkannya hidup. "Untung saya selamat", ucapnya emosional, sebagaimana saya tenggelam dalam keharuan yang sama. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: