REVIEW - DOPAMIN

1 komentar

Protagonis menemukan mayat bersama sejumlah uang, tiba-tiba gaya hidupnya terjerumus ke hedonisme, dihantui halusinasi sosok si mendiang, lalu dikuntit sosok misterius yang mengincar uang itu. Dopamin memang berjalan di area familiar terkait pengembangan premisnya, namun bila mempertimbangkan kelangkaan eksplorasi genre di sinema arus utama Indonesia, karya terbaru Teddy Soeriaatmadja ini layak dipandang sebagai embusan angin segar. 

Malik (Angga Yunanda) dan Alya (Shenina Cinnamon) adalah pasutri yang terjebak dalam benang kusut tersebut. Sudah setahun Malik gagal memperoleh pekerjaan hingga terlilit utang pinjol, sementara Alya baru mendapati dirinya hamil. Di banyak film Indonesia, mereka bakal menggantungkan harapan pada pesugihan, yang justru berujung mengundang maut. 

Tapi tiada sedikitpun tercium aroma klenik, biarpun sang maut tetap mengunjungi Malik dan Alya. Demi menjaga kelambu misteri alurnya, kalian cukup mengetahui deskripsi di paragraf pembuka. Ditemani komposisi musik kreatif nan mendebarkan gubahan Ricky Lionardi, kita dibawa menyaksikan betapa kelabakannya kedua tokoh utama menangani "uang kaget" senilai miliaran yang terhampar di hadapan. 

Hormon dopamin seketika menyeruak dalam diri Malik dan Alya. Bukan semata karena materi, tapi juga lenyapnya kehampaan rutinitas mereka. Keduanya mesti mengunjungi daerah terpencil di tengah malam demi menyembunyikan mayat, mengganti ban bocor di bawah guyuran hujan, hingga mengakali razia polisi. Rentetan situasi menegangkan itu mendatangkan keseruan yang mengembalikan tawa Malik dan Alya. 

Kombinasi pasutri dunia nyata, Angga Yunanda sebagai suami yang acapkali tak kuasa mengambil keputusan, dan Shenina Cinnamon selaku istri yang nyaris mati rasa akibat lelah dihantam kemiskinan, melahirkan dinamika yang memotori gerak filmnya, tatkala naskah buatan Teddy luput menawarkan faktor-faktor yang dapat mengecoh ekspektasi kalangan penonton yang sudah familiar dengan genrenya. 

Entah berapa kali kita disuguhi shot berisi Malik atau Alya dibuat terkejut oleh sesuatu/seseorang di luar frame. Kadang penyebab keterkejutan itu memang bersifat mengancam, tapi tidak jarang juga sekadar false alarm. Di satu sisi, pengulangan peristiwa tersebut sejalan dengan kondisi psikis protagonisnya yang dicengkeram kecemasan, namun di sisi lain turut menandakan tendensi filmnya tampil repetitif. 

Sejatinya tidak ada lubang yang terlampau menganga dalam penuturan Dopamin. Di kursi sutradara pun, kematangan Teddy nampak betul pada kerapian bercerita, pula perihal mengolah tempo yang berdampak pada terjaganya intensitas. Film ini hanya kekurangan variasi "warna", yang oleh rekan-rekan sejawatnya, kerap diakali menggunakan kelokan-kelokan tak terduga, atau modifikasi tone memakai bumbu komedi gelap. 

Untungnya Dopamin berhasil mendarat dengan mulus di konklusinya, yang enggan menceramahi penonton lewat pesan-pesan berorientasi moral, dan memilih setia pada semangat "eat (atau bahkan "kill") the rich" yang coba ia kumandangkan sejak kali pertama dua karakternya menemukan sekoper penuh uang tunai. 

1 komentar :

Comment Page:
vian mengatakan...

Ini pemiilhan Anjasmara dengan kopernya itu apakah semacam easter egg sama film Koper ga sih? Hehe, bisa pas gitu