REVIEW - FRANKENSTEIN (2025)

Tidak ada komentar

Frankenstein versi Guillermo del Toro bukan sebatas penolakan atas penilaian dangkal mengenai sebutan "monster" bagi para makhluk berparas mengerikan. Jauh sebelum kisahnya berakhir, sang monster telah menyadari kemanusiaannya, pun sebaliknya, si manusia memahami bahwa dialah keburukan yang sesungguhnya. Satu hal yang keduanya belum mampu capai: Menerima rasa sakit pembawa ketidaksempurnaan yang mendefinisikan kemanusiaan itu sendiri. 

Rasa sakit adalah bukti kecerdasan. Setidaknya itu yang dipercaya oleh beberapa karakternya. Atas nama kecerdasan pula, Leopold Frankenstein (Charles Dance) mendidik putra sulungnya, Victor Frankenstein (Oscar Isaac), secara keras, yang mendatangkan sakit fisik serta batin berkepanjangan bagi sang anak. "Tidak ada emosi dalam jaringan otot manusia", ucap Leopold. Sejak kecil, Victor telah dikondisikan untuk menampik kemanusiaan. 

Dinamika ayah-anak tersebut kita saksikan dalam bentuk kilas balik pasca adegan pembukanya yang cantik. Lanskap kutub utara yang membaurkan warna-warna khas del Toro (hijau, oranye, merah), ditangkap oleh sinematografi arahan Dan Laustsen guna mencuatkan keindahan di sela-sela kegelapan. Sesosok monster yang disebut "The Creature" (Jacob Elordi) menginvasi kapal angkatan laut Denmark yang terperangkap di danau es untuk mencari keberadaan penciptanya, Victor. 

Dari situlah alurnya mengungkap dua sisi cerita, mengajak penonton memahami perspektif sang pencipta dan ciptaannya. Salah satunya mengenai motivasi Victor "bermain Tuhan" dengan membuat monster dari gabungan mayat-mayat dengan sokongan dana dari Henrich Harlander (Christoph Waltz) si pedagang senjata. Semua bermula dari kehilangan pahit tatkala sang ibu, Claire Frankenstein (Mia Goth), meninggal setelah melahirkan anak keduanya, William (Felix Kammerer). Victor berhasrat mencurangi kematian. 

Kali pertama kita bertemu Claire, ia mengenakan gaun merah dengan kain yang melambai-lambai tertiup angin. Anggun sekaligus agung. Mia Goth juga memerankan karakter lain, yakni tunangan William, Elizabeth Harlander, dan kostum-kostum buatan Kate Hawley lainnya turut memancarkan kemewahan elegan kala ia kenakan. Desain produksi yang menghidupkan dunia para bangsawan dari abad-19 dengan segala benda seni klasiknya, pula musik beraroma dongeng kelam gubahan Alexandre Desplat, menyempurnakan Frankenstein sebagai pengalaman audiovisual kelas satu. 

Di permukaan, Frankenstein sejatinya terasa familiar, mengingat kisah seputar makhluk hidup yang eksistensinya disalahartikan sudah berkali-kali diangkat oleh del Toro. Keunikannya baru muncul begitu kita mengupas kulit luarnya. Novel karya Mary Shelley dikembangkan, tidak lagi (hanya) soal menampik prasangka, pula membicarakan dinamika ayah dan anak.

Karakter Victor Frankenstein si "ilmuwan gila" ditelaah lebih lanjut. Psikisnya dibedah, untuk memperlihatkan dampak dari absennya cinta ayah bagi seorang anak. Victor membenci ayahnya, namun tanpa sadar mewarisi pola asuh kejamnya, kemudian menularkan luka, serupa dengan yang ia alami semasa kecil kepada The Creature selaku "putranya". Trauma lintas generasi pun terjadi, yang membuat si anak acap kali mengutuk kelahirannya di dunia. 

Guillermo del Toro menggerakkan alur dalam tempo yang mengutamakan sensitivitas, membiarkan penonton mengamati luka tiap karakter, terutama The Creature yang membawa Jacob Elordi bertransformasi, baik dari segi fisik maupun psikis. 

Melalui naskahnya, del Toro mengemas film ini bak kesusastraan klasik yang jadi sumber adaptasinya, membuat jajaran karakternya bertutur serupa pujangga yang menumpahkan kata-kata puitis semudah bernapas. "I will be the eagle that feast on your liver" (referensi ke hikayat Prometheus) atau "In seeking life I created death" jadi beberapa contoh. Diiringi untaian kalimat indah tersebut, dua protagonisnya melakoni perjalanan eksistensial untuk berdamai dengan dosa orang terkasih, juga dengan ketidaksempurnaan diri sendiri. 

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page: