REVIEW - KOESROYO: THE LAST MAN STANDING
Ketika The Beatles di masa jaya mereka dirayakan di seluruh dunia, Koes Plus justru dicela oleh Presiden Soekarno dengan sebutan "musik-musikan ngak-ngik-ngok" hingga sempat dipenjara. Ketika puluhan album The Beatles cukup untuk membuat para personelnya hidup mewah hingga akhir hayat dan dianugerahi gelar kebangsawanan, Yok Koeswoyo selaku satu-satunya anggota yang tersisa, hidup sederhana biarpun pernah menelurkan ratusan album (termasuk 23 buah di tahun 1974), pun cuma piagam ala kadarnya yang pernah pemerintah hadiahkan.
Koesroyo: The Last Man Standing karya Linda Ochy mengajak penonton mengunjungi ruang personal Koesroyo alias Yok Koeswoyo, selaku satu-satunya personel Koes Bersaudara yang masih hidup. Tahun ini usianya menginjak 82 tahun. Sekilas tak nampak jejak-jejak bintang populer dari parasnya. Hanya laki-laki lanjut usia berpeci biasa, yang bersama tiap isapan rokoknya bercerita tentang era yang telah lalu.
Filmnya mengumpulkan beberapa narasumber untuk ikut bertutur. Sari, putri sulungnya, kerap menemani "Yok Koeswoyo sang manusia" merekonstruksi memori di balik setumpuk mahakarya buatannya. Sementara David Tarigan dengan kemampuan berkisah di atas rata-rata yang asyik untuk disimak, membagikan sudut pandang eksternal selaku pengamat musik sekaligus penggemar, mengenai perjalanan karir "Yok Koeswoyo sang megabintang".
Linda Ochy mengisi filmnya dengan narasumber yang bukan hanya kaya akan informasi, pula piawai bernarasi, sehingga membantu penonton yang berasal dari generasi baru memahami kebesaran subjeknya. Mengutip ucapan H.B. Jassin, sejarawan Hilmar Farid menyamakan dampak Koes Plus dengan Chairil Anwar, yang mampu "bersuara" hanya lewat dua kalimat tatkala pujangga baru memerlukan 200 halaman.
Kelengkapan arsip, dari koleksi foto, kliping koran, rekaman suara konser, hingga koleksi video lawas makin menguatkan pondasi cerita. Koesroyo: The Last Man Standing memang dokumenter konvensional yang tak melangsungkan eksperimen dalam caranya bernarasi, tapi ia berhasil mengeksekusi hal-hal pokok dengan baik.
Sayang, ada kalanya alur Koesroyo: The Last Man Standing terasa membingungkan, terutama bagi penonton awam yang belum seberapa mengerti tentang perjalanan karir Koes Bersaudara/Koes Plus, akibat ketiadaan jembatan antar linimasa di beberapa titik. Demikian pula subplot berdaya tarik tinggi (misal perihal Koes Plus yang dijadikan mata-mata pemerintah) yang hanya disinggung secara "malu-malu" sehingga memunculkan rasa penasaran tak terjawab, di saat dokumenter ini mestinya memuaskan dahaga atas tanda tanya semacam itu.
Kekurangan di atas untungnya berhasil ditambal oleh beberapa situasi menyentuh yang filmnya tangkap. Di awal, Yok Koeswoyo berkata bahwa ia tidak ambil pusing pada status "the last man standing". Baginya, kesendirian ini hanyalah bentuk biasa dari mortalitas manusia yang tak perlu diratapi. Tapi begitu lagu Why Do You Love Me diputar, yang mengembalikan ingatan akan kematian istri pertamanya, Maria Sonya Tulaar, tangis Yok Koeswoyo seketika pecah.
Koesroyo: The Last Man Standing bukan hanya seputar Yok Koeswoyo sebagai pesohor dunia musik tanah air. Tapi Yok Koeswoyo sebagai manusia biasa, sebagai laki-laki yang kehilangan cinta sejatinya, sebagai ayah yang mensyukuri pendampingan dari putrinya, sebagai rakyat Indonesia, yang biarpun begitu menyerapi serta vokal menyuarakan nasionalisme, justru dibiarkan menua begitu saja oleh negara.
(FFD 2025)

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar