REVIEW - KEEPER

Tidak ada komentar

Keeper ibarat adonan berisi ragam bahan baku berupa deretan subgenre horor: kabin di tengah hutan, folk, pembunuh berantai, psikedelik, supernatural, hingga elevated. Memang resep macam itulah yang mengangkat nama Osgood Perkins di skena horor modern. Tapi kali ini olahan sang sineas terasa bak kue cokelat setengah matang. Ada bagian lezat, ada yang hambar bahkan busuk, tapi pastinya, ia punya wujud yang berantakan.

Kue cokelat memegang peranan penting dalam naskah buatan Nick Lepard, yang menyoroti liburan sepasang kekasih, Liz (Tatiana Maslany) dan Malcolm (Rossif Sutherland), dalam rangka perayaan setahun hubungan mereka. Destinasinya adalah kabin tengah hutan milik keluarga Malcolm. Ketidakberesan mulai tercium kala Liz menemukan kue cokelat, yang menurut Malcolm merupakan hadiah dari si penjaga kabin. 

Bibit ketidaknyamanan terkait hubungannya (Malcolm membeli lukisan karya Liz tanpa persetujuannya), hutan bernuansa mencekam, sampai kehadiran sepupu menyebalkan (Birkett Turton), jadi berbagai alasan mengapa Liz kurang menikmati liburan kali ini. Apalagi ketika hendak bercinta, Malcolm malah memaksa Liz memakan kue cokelat yang tidak ia sukai. "It tastes like shit", ungkap Liz sambil terus menjejalkan sendok ke mulutnya di hadapan Malcolm yang berdiri bak mengawasi. 

Bagaimana Liz tetap menyantap kue yang baginya tidak lezat, mewakili romansanya dengan Malcolm. Liz sadar ada ketidakcocokan rasa yang membuat kenikmatannya berkurang, bahkan mendatangkan mual, namun tetap ia teruskan akibat manipulasi terselubung si pasangan. Lambat laun, Liz (dan banyak perempuan di luar sana) dibuat meyakini ia benar-benar menyukai hubungan mereka, seperti saat ia terbangun di tengah malam untuk melahap sisa kue cokelat tadi. 

Sejak itulah Liz mulai sering melihat makhluk-makhluk berbentuk monster perempuan aneh dengan berbagai desain unik nan kreatif di sekelilingnya. Kemunculan mereka cukup mencekam. Seperti biasa, Osgood Perkins punya talenta untuk menyusun atmosfer mencekik berbasis gambar-gambar mengerikan, tanpa perlu bergantung pada bunyi-bunyian mengejutkan. 

Gaya bercerita "dreamy" jadi bentuk yang Perkins dan Lepard terapkan. Liz memimpikan pemandangan aneh yang entah sepenuhnya bunga tidur atau sebuah penglihatan akan peristiwa nyata, sesekali menyaksikan figur misterius menginvasi ruang personalnya, kemudian terbangun seolah tak terjadi apa-apa. Ada kalanya teknik superimpose dipakai guna meleburkan sosok Liz dan lanskap aliran sungai secara aneh, seolah memposisikan si protagonis sebagai perlambang ibu pertiwi sang personifikasi alam. 

Tatiana Maslany hadir bak dinamo penggerak di tengah guliran lambat filmnya. Serupa Perkins yang mencampurkan banyak cabang horor, akting Maslany pun tidak kalah kaya, menyatukan gaya drama psikologis, horor, bahkan semburat komedi romantis.

Bukan tempo pelan yang jadi sumber persoalan, melainkan susunan narasi yang lebih terkesan bak kompilasi segmen ketimbang cerita utuh, yang bahkan tidak saling merekat secara kuat untuk bisa menjaga atensi penonton. Melelahkan. Saya pun berandai-andai, apakah strukturnya bakal lebih solid bila sepenuhnya menggamit surealisme, ketimbang menerapkannya dengan malu-malu atas nama "nuansa dreamy". 

Dibicarakannya perihal hubungan toxic, di mana para laki-laki gemar memanipulasi perempuan, mengurung mereka dalam sangkar madu setelah melempar janji palsu mengenai kesediaan mensejahterakan biarpun realitanya berkebalikan (baca: laki-laki jadi parasit bagi perempuan), yang oleh para pembuat filmnya pun disamakan sebagai tindakan merusak mother nature. Memang bukan subteks dan bahan baku yang kurang dimiliki Keeper, melainkan teknik memasak yang digunakan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: