REVIEW - THE VOICE OF HIND RAJAB
Apa yang memisahkan The Voice of Hind Rajab dari aji mumpung beraroma eksploitasi tragedi adalah perihal urgensi. Ketika genosida acap kali disangkal, tepukan di pundak selaku pengingat tidak lagi cukup, sehingga diperlukan tamparan bahkan pukulan keras. Di sinilah sinema berbasis kisah nyata menampakkan fungsi esensialnya.
Pada 29 Januari 2024, kantor sukarelawan Bulan Sabit Merah menerima panggilan darurat dari Gaza. Sebuah rutinitas bagi mereka. Omar A. Alqam (Motaz Malhees) yang menerima panggilan itu pun meresponnya sesuai prosedur, lalu mendengar ratapan gadis cilik yang meminta tolong. Namanya Hind Rami Iyad Rajab. Usianya belum genap enam tahun, dan ia terjebak dalam mobil yang diberondong peluru pasukan Israel.
Rana Hassan Faqih (Saja Kilani), atasan Omar, turut terlibat dalam upaya menenangkan si bocah, sementara Mahdi M. Aljamal (Amer Hlehel) mengoordinasi pengiriman ambulans yang mengharuskannya melewati rangkaian prosedur ruwet nan panjang. Kamera menyorot para pelakon secara close-up untuk menangkap ekspresi mikro mereka, kemudian beralih ke shot yang lebih luas saat tiba waktunya membesarkan ledakan emosi.
Di dalam mobil, Hind dikelilingi enam jenazah keluarganya yang tewas tertembak. "Mereka hanya butuh tidur", ucap Rana, yang di luar dugaan langsung disangkal oleh Hind. "Mereka sudah meninggal!", balasnya sembari menangis. Anak kecil ini mengerti konsep kematian. Bayangkan betapa ketakutan dia.
Sebagaimana ia lakukan di Four Daughters (2023), Kaouther Ben Hania selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengaburkan batasan antara realita dan dramatisasi sinema. Rekaman suara asli Hind diperdengarkan alih-alih memakai pengisi suara guna. Setiap rekaman diputar, judul fail berformat WAV muncul di layar. Tidak sedetik pun penonton dibiarkan terbuai dalam ruang aman yang memungkinkan kita berpikir, "Semua ini hanya film."
Satu pilihan estetika unik sempat Ben Hania terapkan, kala menyatukan reka ulang peristiwa yang diperankan para aktor, dan rekaman video asli yang diputar di layar ponsel. Sang sineas membawa peleburan format drama konvensional dan dokumenter menuju tingkat lanjut.
Pendekatan tersebut menambah efektivitas The Voice of Hind Rajab sebagai pemantik amarah terhadap realita bernama "kebiadaban Israel". Bahwa ada mobil berisi bocah lima tahun diberondong 335 peluru adalah murni kekejaman. Bukan lagi gesekan ideologi maupun kepercayaan.
Satu yang patut diingat, Hind Rajab bisa selamat andai prosedur pengiriman ambulans tidak dibuat sedemikian rumit. Menjadi rumit karena jika tim penyelamat asal dikirim tanpa memperhatikan keamanan jalur, mereka berisiko jadi korban pembantaian tentara Israel (yang akhirnya tetap terjadi biarpun prosedur telah dijalankan). Iblis mana yang menembaki ambulans?!
Penceritaan The Voice of Hind Rajab bukannya nihil cela. Rekaman panggilan sepanjang 70 menit memang kurang memadai sebagai materi film panjang (itulah kenapa Close Your Eyes Hind dan Hind Under Siege yang juga mengangkat tragedi ini memakai format film pendek), hingga beberapa titiknya terasa draggy. Dramatisasi soal keputusasaan penyulut konflik internal antar sukarelawan yang naskahnya tambahkan guna menebalkan alur pun terkadang tampil artifisial, yang berkontradiksi dengan gaya narasi filmnya.
Bila memandangnya sebagai karya semata, The Voice of Hind Rajab memang bukan pendobrak pakem yang luar biasa. Tapi ia adalah contoh di mana sinema melampaui bentuknya sebagai "hanya tontonan". Bukan sebuah medium eskapisme, melainkan wajah realisme.

.png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar