REVIEW - PANGKU

Tidak ada komentar

Ada dinding bernama "kemampuan observasi" yang jadi sekat pemisah antara aktor hebat dan buruk. Sebuah kemampuan untuk mengamati, menyerap, lalu menaruh empati terhadap manusia, lingkungan, maupun peristiwa di sekitar si pelakon. Di Pangku, Reza Rahadian yang notabene merupakan salah satu aktor terbaik negeri ini, memakai kecakapan tersebut, kali ini bukan untuk berlaku di depan kamera, melainkan bertutur di belakangnya selaku sutradara. 

Latarnya adalah kedai kopi di Pantura. Di tengah area kumuh yang tak mengenal kehigienisan, para sopir truk mampir, rehat selama berjam-jam sembari menyesap segelas kopi. Bukan kopi itulah komoditas utamanya, tapi servis pangku dari si pelayan perempuan. Seketika, kemiskinan dan seksualitas pun saling bercumbu. Sebuah materi seksi bagi sinema arus utama Indonesia yang menyukai eksploitasi. 

Tapi Reza, yang turut menulis naskahnya bersama Felix K. Nesi, tidak tertarik mengemis tangis penonton. Reza tempatkan kita di posisi yang serupa dengannya kala berlakon, yakni selaku pengamat yang mencari pemahaman. Sewaktu protagonisnya, Sartika (Claresta Taufan), yang luntang-lantung mencari kerja dalam kondisi hamil tua, muncul di layar, penonton tidak didorong untuk hanya mengasihani. 

Beruntunglah Sartika bertemu Maya (Christine Hakim) si pemilik kedai kopi, yang bersedia memberinya tempat tinggal sekaligus pekerjaan. Selepas melahirkan, Sartika pun melakoni profesi sebagai pelayan kopi pangku. Dia duduk di paha laki-laki yang senyumnya hanya menandakan gairah. Dimintanya si konsumen menambah kopi, atau membelikannya sebatang rokok. Mereka pikir memangku Sartika adalah bentuk kuasa, namun si perempuanlah yang memegang kendali. 

Sartika bekerja, mendidik putranya yang dinamai Bayu (Shakeel Fauzi), tinggal berdesak-desakan bersama Maya dan suaminya, Jaya (José Rizal Manua), yang jadi representasi banyak figur ayah di Indonesia: Diam, berjarak secara emosional, namun dapat diandalkan kala menangani urusan pertukangan. 

Mereka semua, terutama Sartika, susah payah bergumul dengan kemiskinan, tapi Reza tak pernah secara berlebihan membuat karakternya meratap. Di satu titik, kita diajak melihat lingkungan di sekitar rumah Maya, yang bahkan belum layak disebut "sederhana". Terdengar pula iringan musik. Menariknya, komposisi gubahan Ricky Lionardi bukan memperdengarkan nada mendayu-dayu, melainkan bunyi-bunyian bernuansa dreamy ala kotak musik. 

Sensitivitas jadi senjata utama pengarahan Reza, yang menggerakkan narasinya tidak secara buru-buru, guna memastikan proses observasi penonton berjalan hingga ke detail terkecil. Sesekali berita di radio memberi informasi terkait gambaran besar kondisi bangsa saat itu, sekaligus memberi informasi latar waku tanpa perlu memakai title card bertuliskan tahun atau kalimat "x tahun kemudian". 

Departemen akting turut berjasa besar menyuarakan visi sang sutradara. Khususnya Claresta Taufan dan Christine Hakim, yang menunjukkan bagaimana menyuarakan kepiluan tanpa harus mengandalkan tangisan dalam performa mereka. Perhatikan betapa hebatnya gerak-gerik Christine Hakim kala Maya mesti berpisah dengan sosok yang amat ia sayangi. Tanpa kata, tanpa banjir air mata, namun begitu mencabik-cabik. 

Sempat timbul harapan bagi Sartika lewat perkenalannya dengan Hadi (Fedi Nuril), sopir pikap pembawa ikan yang setia mengunjungi kedai kopi bersama temannya, Asep (Kaan Lativan). Pelan-pelan tumbuh benih cinta di hati Hadi, yang salah satunya ia tunjukkan dengan memberi sisa-sisa ikan. Sartika sekeluarga memakannya dengan lahap, lalu Bayu menanyakan jenis ikan apa yang Hadi berikan. Sartika dan Maya tak mampu menjawab. Sebegitu parah kemiskinan telah mencekik, ikan pun terasa asing bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir. 

Reza jeli menerapkan kesubtilan macam itu di sepanjang durasi. Salah satu yang sanggup menghunjam perasaan secara lirih adalah pemakaian korek sebagai simbol cinta yang dibiarkan tertinggal oleh salah satu karakternya. Pangku tidak terasa seperti karya debut, sebab ia adalah perwujudan proses selama dua dekade dari seorang seniman yang meresapi rasa-rasa di sekitarnya dengan kepekaan luar biasa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: