REVIEW - PREDATOR: BADLANDS

Tidak ada komentar

Kaum Yautja telah berkali-kali menginvasi Bumi bermodalkan ragam senjata canggih. Tapi berkali-kali pula mereka dipecundangi manusia, dari militer gahar, polisi paruh baya, bahkan gadis Comanche yang masih belia. Si pemangsa selalu berujung dimangsa oleh buruannya. Predator: Badlands secara tidak langsung menjawab permasalahan tersebut, dengan memposisikan harga diri Yautja selaku sumber malapetaka mereka sendiri. 

Selepas adegan pembuka yang mematenkan kebarbaran Yautja yang tak mengampuni kelemahan berbentuk apa pun termasuk kebaikan hati, kita mengikuti petualangan Dek (Dimitrius Schuster-Koloamatangi), Yautja muda yang dipandang sebelah mata akibat perawakan kecilnya. Didorong ambisi membuktikan diri, Dek berniat memburu Kalisk, predator apeks dari Planet Genna yang konon mustahil dibunuh. Dia ngotot menjalankan misi tersebut seorang diri. 

Tapi Genna bukan diisi Kalisk semata. Ada rumput setajam silet, tanaman yang bisa melesatkan jarum beracun, sampai serangga dengan daya ledak tinggi. Seluruh pengisi ekosistemnya dapat mendatangkan maut. Sebuah konsep menarik dalam naskah buatan Patrick Aison dan Brian Duffield, guna membedakan latarnya dari hutan-hutan biasa yang kerap jadi panggung pembantaian waralaba Predator. 

Menempatkan sang predator sebagai mangsa empuk yang mesti was-was di tiap langkahnya memang sekilas terdengar radikal, namun ketimbang merumuskan formula baru dengan modifikasi asal ekstrim seperti The Predator (2018), para kreatornya, tidak terkecuali Dan Trachtenberg selaku sutradara yang berjasa mengembalikan kejayaan Predator dalam beberapa tahun terakhir, sebatas menerapkan ekspansi terhadap konsep semestanya tanpa pernah keluar jalur.

Begitu pula perihal genre. Badlands bukan lagi fiksi ilmiah bernapaskan horor slasher. Sadismenya dipangkas, ketiadaan karakter manusia pun berujung menghilangkan pertumpahan darah. Komparasi dengan judul-judul petualangan luar angkasa dengan bumbu buddy film (The Mandalorian contohnya) bakal muncul, apalagi setelah karakter Thia (Elle Fanning) diperkenalkan. 

Thia adalah android kepunyaan Weyland-Yutani, yang terjebak di Genna dalam kondisi rusak parah. Berbeda dengan para sesamanya, ia punya kepribadian yang lebih berwarna, ceria, pun tidak jarang jenaka. Elle Fanning berhasil melahirkan figur android Weyland-Yutani paling likeable sepanjang sejarah. Berbekal pemahamannya mengenai ekosistem Genna, Thia menawarkan bantuannya pada Dek. 

Para puritan mungkin bakal menghujat penerapan unsur buddy comedy film ini. Terlebih kala Bud, sesosok monster kecil menggemaskan, turut daya hibur terbesar Badlands, sekaligus pesan utamanya, mengenai satu hal yang asing bagi kaum Yautja dalam perburuan mereka. yaitu nilai-nilai kebersamaan. Kalau anda tak mempermasalahkan fakta bahwa Yautja memerlukan uluran tangan makhluk lain saat beraksi, maka Badlands akan jadi pengembangan yang menyenangkan. 

Klimaksnya meneruskan prinsip tersebut, sewaktu Dek mengubah setumpuk ancaman yang dikandung oleh Genna menjadi amunisi personalnya. Gelaran aksinya diisi ide-ide kreatif, termasuk penerapan elemen subgenre kaiju yang bombastis. Nuansa "pertarungan brutal sampai mati" khas waralabanya memang absen, tapi Dan Trachtenberg, yang terus menunjukkan versatilitasnya kala menangani Predator, tetap menjaga poin terpenting: Mengutamakan kecerdikan otak daripada kekuatan otot di medan pertempuran.

Tidak ada komentar :

Comment Page: