REVIEW - A POET

Tidak ada komentar

Hidup kerap kita habiskan dengan matian-matian berlari, hanya untuk senantiasa menemukan lubang hitam dingin yang memupuk rasa putus asa. Padahal bila mau berhenti sejenak saja, mungkin ada pelukan sinar matahari hangat yang menyulut harap. A Poet, selaku wakil Kolombia di Academy Awards 2026, menampilkan proses protagonisnya memahami dinamika tersebut. 

Namanya Oscar Restrepo (Ubeimar Rios). Pujangga yang di masa mudanya sempat menerbitkan dua buku pemenang penghargaan, namun kini mendapati dirinya sebagai pria paruh baya pengangguran yang tinggal bersama sang ibu (Margarita Soto), bercerai dan mesti berpisah dengan putrinya (Alisson Correa), lalu sesekali membaca puisi di depan segelintir lansia. 

Orang-orang memandangnya rendah, termasuk Efrain (Guillermo Cardona) yang sesama penulis puisi namun dengan kondisi karir amat berlawanan. Mungkin karena stagnasi Oscar, atau sebatas aura yang ia tebar. Tubuhnya bungkuk, gerak-gerik serta tutur katanya mencurahkan kecanggungan, sedangkan seringainya, selebar apa pun, cuma menawarkan kepahitan. Ubeimar Rios dalam debut akting layar lebarnya mampu menubuhkan figur pengejar kejayaan seni yang menyedihkan. 

Ada kalanya, Simón Mesa Soto selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengajak kita bersimpati terhadap kesialan-kesialan nasib si protagonis. Tapi tak jarang, dengan semangat bertutur tragikomedi, kita dipersilakan ikut tertawa menyaksikan kegetiran Oscar. Sebagai cara menguatkan punchline sebuah humor, serta cara menggambarkan betapa hidup acap kali bergerak ke arah tak terduga, Soto kerap mengakhiri adegannya secara tiba-tiba. 

Uniknya, meski berlatarkan dunia puisi, A Poet enggan terjebak dalam keharusan tampil puitis. Sebab ketimbang medium puisi itu sendiri, Simón Mesa Soto lebih tertarik memberi sorotan ke arah penciptanya. Mengenai para manusia yang melahirkan kata-kata, beserta hidup mereka yang tidak melulu puitis. 

Suatu ketika, meski awalnya menolak karena hanya tertarik membuat puisi (yang tak kunjung ia realisasikan), Oscar terpaksa menerima tawaran bekerja sebagai guru SMA demi membayar biaya kuliah putrinya. Di sanalah ia bertemu Yurlady (Rebeca Andrade), siswi dari keluarga miskin yang hobi menulis puisi. Oscar terpukau, dan berambisi mengorbitkan Yurlady di skena puisi Kolombia. 

"Apa kamu juga hidup dalam kesedihan yang mendalam?", tanya Oscar selepas membaca puisi sarat melankoli buatan muridnya itu. Yurlady tak mengiyakan. Oscar memandang hidup bak karya-karyanya: puisi yang sedih. Yurlady berbeda. Padahal dunia si gadis remaja tidaklah ringan. Dia tinggal di rumah kecil bersama keluarga besarnya yang tidak selalu memiliki uang untuk membeli sebutir telur. Tapi toh Yurlady tetap bisa menikmati keseharian lewat aktivitas sederhana seperti mengecat kuku bersama sahabatnya. 

Jurang kelas menganga di dunia seni turut filmnya sentil, kala Oscar membawa Yurlady bergabung dalam komunitas puisi kepunyaan Efrain. Sejak itu, setumpuk tanda tanya pun segera datang mengusik. Apakah seni memang alat bersuara kaum pinggiran, atau sebatas mainan para borjuis yang gemar memakai isu sosial sebagai alat masturbasi? A Poet secara tegas menyatakan bahwa seni (terutama puisi) bukanlah ruang kejujuran hakiki. Kejujuran serba apa adanya cuma bisa ditemui di toilet kala manusia menelanjangi diri mereka sembari membuang kotoran. 

Di satu kesempatan, Yurlady yang tengah duduk seorang diri menyadari ada semburat cahaya matahari mengarah ke dirinya. Pelan-pelan ia resapi kehangatan cahaya tersebut, mungkin sembari merasakan denyut-denyut kehidupan di sekitarnya. Oscar hanya perlu melakukan hal serupa, kemudian menyadari bahwa hidup tidaklah harus dijadikan ajang mengejar kejayaan. Menjadi orang baik nan bahagia pun sudah cukup. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: