REVIEW - MAGELLAN

Tidak ada komentar

Selama 160 menit, yang notabene singkat untuk ukuran karya Lav Diaz, sang auteur Filipina tak memakai musik konvensional guna menciptakan keheningan menghantui, yang bersumber dari lingkaran kekerasan tanpa akhir sebagai akibat keserakahan berkedok agama oleh para manusia pendamba kejayaan. 

Ferdinand Magellan (Gael García Bernal) adalah nama yang sering kita temui di buku pelajaran semasa SD. Begitu pula komandannya, Afonso de Albuquerque (Roger Alan Koza), yang memimpin penyerangan Portugis terhadap Malaka pada 1511. Warga lokal dibantai, pernak-pernik ritual keagamaan mereka pun diberangus. Semua dilakukan atas nama Raja Manuel I serta proselitisasi. 

Selepas peperangan, Albuquerque berorasi di hadapan pasukannya, menyuarakan ambisi menyebarkan kekuasaan ke seluruh dunia, termasuk menghapus ajaran Islam. Tidak lama berselang, ia rubuh akibat terlalu mabuk. Sebuah pemandangan yang oleh bawahannya jadi tertawaan. Diaz pun ingin penonton bersikap serupa. Menertawakan kekonyolan manusia yang dimabuk oleh ambisi. 

Diaz menerapkan rasio 1.33:1, seolah mengurung tokoh-tokohnya dalam kotak sempit bernama kesempitan pikir, yang di saat bersamaan nampak indah, menghipnotis, bahkan mencekam, misal pada sekuen pembuka yang mengambil latar beberapa tahun sebelum kedatangan pasukan Portugal, di mana sekelompok suku lokal mengadakan upacara adat. 

Sebelum kembali ke kampung halaman, Magellan yang mengalami cedera di kaki akibat peperangan, ia membeli budak Cebuano yang diberi nama Enrique (Amado Arjay Babon). Di tengah perjalanan pulang, hujan deras mendadak menghajar hamparan sungai yang Magellan lewati. Satu lagi pemandangan bernuansa mistis, sewaktu langit seolah menangis menyaksikan nurani manusia yang makin menipis. 

Berikutnya, Diaz menuturkan kisah berskala besar, mengajak kita mengarungi tahun-tahun dalam hidup sang protagonis yang penuh penolakan dan ilusi terhadap kebesaran diri. Ketimbang merawat Beatriz (Ângela Azeved), istrinya yang sedang hamil tua, Magellan justru membelot ke pihak Spanyol yang bersedia mendanai ekspedisinya mencari rute pelayaran baru sembari menyebarkan agama Kristen, menuruti hasratnya bersolek dengan kematian demi kejayaan semu. 

Siklus kekerasan pun terus terulang akibat kolonialisme kulit putih, yang menganggap diri mereka, dengan segala teknologi mutakhir, ilmu pengetahuan terkini, perspektif atas Tuhan, juga sandang berkain mewah, lebih beradab daripada suku-suku Asia Tenggara yang bertelanjang bulat dan menyembah arwah leluhur. Tapi toh, sebagaimana Diaz suarakan secara lantang, "para pembawa modernisasi" ini justru jauh lebih barbar. 

Di antara prinsip penceritaan slow cinema sang sutradara yang acap kali terasa menantang untuk disimak, Gael García Bernal memamerkan performa subtil yang menghadirkan personifikasi ambisi manusia, yang perlahan beralih menjadi keputusasaan menyedihkan. Aksi manusia menjual nama Tuhan hanya mendatangkan tragedi dengan semerbak aroma kematian, yang sayangnya masih berlanjut hingga lebih dari 500 tahun setelah era Magellan berlalu. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: