Tampilkan postingan dengan label Craig T. Nelson. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Craig T. Nelson. Tampilkan semua postingan

INCREDIBLES 2 (2018)

Jika The Incredibles (2004) merupakan parodi film pahlawan super bertemu drama keluarga kelas menengah di pinggiran kota—pekerjaan membosankan sang ayah, ibu rumah tangga—dengan keseharian monoton mereka, maka Incredibles 2, walau tetap menyoroti nilai kekeluargaan dan aksi para pemilik kekuatan super, menyentil isu yang mengikuti zaman, yakni peran gender. Bagaimana jika ibu mempunyai pekerjaan mapan di luar sedangkan ayah mengurus rumah? Pria pemegang teguh nilai patriarki bakal kelabakan bahkan merasa terhina. Itu sebabnya ada relevansi pula urgensi tinggi di sini.

Melanjutkan akhir film pertama tatkala Mr. Incredible alias Bob Parr (Craig T. Nelson), Elastigirl alias Helen Parr (Holly Hunter), bersama ketiga anak mereka menghadapi Underminer, meski hukum masih melarang aksi pahlawan super berkostum. Mereka yakin aksi tersebut baik, tapi ketika berujung melanggar hukum, apakah definisi baik masih layak disematkan? Secercah harapan muncul dari Winston Deavor (Bob Odenkirk), pemilik perusahaan telekomunikasi sekaligus penggemar berat pahlawan super, yang menawarkan jalan agar petinggi-petingi dunia bersedia menghentikan pelarangan terhadap pahlawan super. Kuncinya tak lain menggaet dukungan publik.

Rencana Winston dan adiknya, Evelyn (Catherine Keener) si ahli teknologi, adalah memasang kamera di tubuh pahlawan super, supaya publik dapat memahami lebih jauh seluk beluk di tengah pertarungan melawan kejahatan. Supaya publik tahu, betapa keselamatan mereka jadi prioritas utama para jagoan. Mengacu pada data soal “seberapa destruktif” tiap-tiap jagoan kala beraksi, Elastigirl, yang memiliki tingkat terendah pun dipilih. Data tersebut membawa kita sedikit mengintip tentang tema gender yang diangkat. Mr. Incredibles (pria) cenderung mengandalkan otot, tanpa pikir panjang, sementara Elastigirl (wanita) lebih taktis dan mengedepankan otak. Pekerjaan bagi sang istri mengharuskan Bob tinggal di rumah menjaga ketiga buah hati.

Seperti kebanyakan suami, Bob yakin tetek bengek rumah tangga bukan perkara sulit dan akan mudah dijalankan. Bob tak tahu apa yang menantinya. Menangani Violet (Sarah Vowell) dan urusan cinta monyetnya, tugas matematika Dash (Huck Milner), dan Jack-Jack yang memberi masalah lebih dari sekedar mengganti popok. Sulit bagi Bob. Dia lelah, mengeluh, tapi bukan karena sisi machonya terancam, melainkan rasa “gatal” untuk kembali beraksi. Semacam post-power syndrome, yang juga dialami Helen, meski kontrol diri sang istri lebih kuat. Bob mencoba melakukan yang terbaik, memberi contoh mengenai heroisme seorang ayah. Bagi orang tua yang bekerja, konsekuensinya yakni melewatkan tumbuh kembang anak. “Aku melewatkan kekuatan super pertama Jack-Jack”, ungkap Helen, sebagaimana keluhan orang tua yang melewatkan langkah pertama anaknya.

Intensitas Incredibles 2 tidak sepadat film pertama akibat kesan lebih “cerewet” dari setumpuk obrolan. Ada perdebatan panjang ayah-ibu sampai pembicaraan hati ke hati para wanita tentang peran gender, yang bakal sulit diikuti penonton bocah, namun cukup menyadarkan penonton dewasa, dan bukan mustahil memberi mereka bahan tentang parenting maupun pemberdayaan wanita untuk diajarkan ke anak mereka suatu hari kelak. Jangan khawatir elemen tersebut menurunkan daya hibur filmnya. Layaknya film pertama, Incredibles 2, dipandu penyutradaraan berenergi Brad Bird (The Incredibles, Mission: Impssible – Ghost Protocol) masih sajian pendobrak batas terkait urusan aksi pahlawan super.

Ditemani musik epic garapan Michael Giacchino, seri The Incredibles selalu sanggup menggelontorkan aksi yang akan tampak terlalu konyol atau membutuhkan CGI terlampau banyak di medium live action. Lihat aksi pembukanya, kala kamera bergerak amat dinamis, memakai tracking shot, mengikuti satu demi satu pameran kekuatan keluarga super kita, sebelum Frozone (Samuel L. Jackson) memasuki arena pertempuran, bak menari lincah di atas lintasan es buatannya. Atau ketika Elastigirl berusaha menghentikan upaya supervillain Screenslayer, yang mampu menghipnotis korbannya melalui berbagai jenis layar, dengan merenggangkan tubuhnya sementara motornya “terbelah” dua. Butuh kreativitas tinggi guna mengeksekusi sekuen macam itu.

Incredibles 2 masih berperan selaku parodi film-film pahlawan super. Kunjungan kita ke rumah Tony Stark (tidak diungkap secara gamblang) jadi contoh. Pun jika anda familiar dengan komik Fantastic Four, yang memberi inspirasi besar bagi pondasi The Incredibles sejak dulu, maka Jack-Jack mungkin mengingatkan kepada Franklin Richards, putera Reed Richards dan Susan Storm yang memiliki kekuatan tanpa batas, bahkan dianggap sebagai makhluk terkuat di seluruh alam semesta. Jack-Jack sendiri merupakan sumber tawa terbesar film ini yang takkan sulit mencuri hati penonton mana saja.


Note: Jangan lewatkan film pendek Bao yang diputar di awal, satu lagi animasi indah Pixar yang menguras air mata.