Tampilkan postingan dengan label Josh Stolberg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Josh Stolberg. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SPIRAL

Spiral (punya judul lengkap Spiral: From the Book of Saw) dibuka oleh tubuh yang hancur lebur, berceceran di terowongan bawah tanah termasuk lidah yang tertinggal di sebuah perangkap. Menyusul berikutnya adalah situasi 180 derajat saat protagonis kita membahas ketiadaan sekuel Forrest Gump dikarenakan si karakter utama sudah terjangkit AIDS. Kematian brutal dan obrolan menggelitik. Dua hal itu selalu dipunyai oleh seri Saw dan Chris Rock, namun siapa sangka keduanya bakal tergabung dalam satu film.

Empat tahun pasca macan ompong bernama Jigsaw, seri ini tidak lagi punya banyak opsi. Sepenuhnya berhenti, atau mengambil arah baru. Spiral memperlihatkan bagaimana wajah-wajah lama seri ini, yakni sutradara Darren Lynn Bousman (Saw II - IV) serta penulis naskah Jigsaw, Josh Stolberg dan Pete Goldfinger, mengambil arah baru yang cenderung tidak terduga. Chris Rock membintangi horor sebagai anak Samuel L. Jackson? Terdengar berani, bahkan ekstrim.

Walau demikian, garis besar kisah masih mengikuti formula film-film sebelumnya, dengan sedikit modifikasi guna menambah relevansi. Rock memerankan Detektif Ezekiel "Zeke" Banks yang banyak dibenci sesama polisi. Bukan (cuma) karena ia kerap bertindak semau sendiri, namun justru diakibatkan kejujurannya. Kejujuran yang membuatnya dicap pengkhianat. Padahal sang ayah, Marcus Banks (Samuel L. Jackson), merupakan pensiunan terhormat. 

Hingga di satu titik, kepolisian digembarkan oleh kemunculan pembunuh yang meniru modus operandi John Kramer alias Jigsaw (Tobin Bell). Ada sedikit perbedaan. Rekaman suaranya berubah, boneka selaku alter ego-nya berubah, korbannya pun berubah. Kali ini sang pembunuh tidak sebatas mengincar para pendosa, melainkan lebih spesifik: polisi pendosa. Bersama rekan barunya, William Schenk (Max Minghella) si detektif pemula, Zeke mesti berpacu dengan waktu sebelum ada lagi rekannya yang jadi korban.

Spiral mungkin film Saw pertama, di mana alasan si pelaku melakukan aksinya, bisa dipahami secara personal oleh banyak orang. Naskahnya tidak memberi eksplorasi cukup mendalam untuk membuat penonton bersimpati, tapi pastinya banyak yang berbagi luka, dan menganggap para polisi korup yang memanfaatkan seragam dan lencana untuk berbuat seenaknya (beberapa tidak jauh beda dari pembunuh), lebih pantas menerima hukuman maut ketimbang istri penipu atau fotografer bermasalah dari installment sebelumnya. 

Mari kesampingkan dahulu soal identitas korban, sebab seri Saw tetaplah sajian torture porn, yang menomorsatukan penyiksaan menggunakan beraneka ragam perangkap. Terkait itu, Spiral pantas disebut "return to form". Perangkapnya brutal, pula cukup kreatif menghadirkan kematian mengenaskan yang berbeda-beda. Detailnya takkan saya bahas. Pastinya, penyutradaraan Bousman sanggup menjadikan deretan perangkap itu terlihat amat menyakitkan. Pencapaian yang menutupi kelemahannya bercerita, saat inkonistensi pace (membuat filmnya terkadang filmnya intens, terkadang membosankan) maupun penuturan yang melompat-lompat jamak terjadi di sini.

Seri Saw juga identik dengan twist. Mengenai identitas pelaku, mudah menebak kebenarannya, jauh sebelum itu diungkap, khususnya kala Spiral mendadak mengubah cara memperlihatkan kematian korban di tengah film. Konklusinya mungkin bukanlah twist brilian seperti dua film perdana, tapi bukan pula kebodohan dipaksakan layaknya judul-judul terakhir. Musik tema Hello Zepp masih ampuh memacu adrenalin, sehingga dapat memalsukan dampak twist supaya terasa lebih mencengangkan daripada semestinya. Ditambah lagi, Spiral mempertahankan ciri franchise-nya, yang mengakhiri film tepat saat intensitas tengah memuncak. 

Bagaimana hasil pemilihan cast yang "tidak semestinya"? Chris Rock berusaha maksimal, namun jelas ia kesulitan tampil lepas. Seolah ia tersiksa atas tuntutan bermain serius, dan kelihatan lebih nyaman, justru ketika melempar beberapa one-liner menggelitik. Samuel L. Jackson? Sang aktor mengucapkan "motherfucker", jadi apa lagi yang anda harapkan.

JIGSAW (2017)

Saw franchise is all about shock value. Tempat penonton berharap dikejutkan oleh perangkap mematikan penghasil gore berlimpah serta twist nihil logika. Dengan kata lain, media escapism sempurna. Ada formula paten yang terbukti ampuh menarik penggemar, tapi timbul pula kesadaran memberi modifikasi guna menghembuskan angin segar. Alhasil ditunjuklah tim baru. Kursi sutradara ditempati The Spierig Brothers (Daybreakers, Predestination), sementara Josh Stolberg dan Peter Goldfinger menulis skenario. Hasilnya ironis, sempat punya working title Saw: Legacy, Jigsaw justru merusak warisan pendahulunya.

Modifikasi salah arah terpampang sejak momen pertama. Ketimbang gempuran perangkap brutal, filmnya memilih action-oriented minim tensi berisi kejar-kejaran polisi dan kriminal bernama Edgar Munsen (Josiah Black). Edgar menyiratkan dirinya tengah terjebak dalam permainan Jigsaw, meski John Kramer (Tobin Bell) telah tewas 10 tahun lalu. Di suatu wawancara, The Spierig Brothers menyatakan Jigsaw takkan seganas installment lawasnya. Kekeliruan yang terbukti pada pembuka, lalu berlanjut ketika perangkap perdana akhirnya muncul. Lima korban dirantai dalam satu ruangan dan harus melepaskan diri sebelum gergaji mesin memotong tubuh mereka.
Perangkap itu terkesan malas karena dua alasan. Pertama, kemiripan dengan salah satu permainan Saw II. Kedua, resiko minim yang mesti ditempuh supaya lolos. Tidak ada bagian tubuh perlu dikorbankan, hanya darah secukupnya. Bahkan saat nyawa pertama melayang, penonton urung diberi kesempatan menyaksikannya. Terkait gore, hanya ada dua momen mampu tampil menarik. Sayangnya, salah satu terpangkas gunting sensor, satu lagi baru hadir di penghujung. Perangkap "hujan benda tajam" cukup intens, namun lagi-lagi dampaknya terlalu jinak. Untuk apa menjatuhkan puluhan senjata bila korban cuma mengalami luka tusukan ringan? Jigsaw adalah torture porn yang pemalu.

Sejak film kedua, Saw beralih dari horor psikologis brutal menjadi murni suguhan penyiksaan. Walau demikian, konflik batin selalu mengiringi kondisi dilematis tatkala korban dipaksa berkorban demi bertahan hidup. Situasi itu menggiring ketegangan penonton yang didorong berandai-andai "apa yang aku lakukan jika mengalami hal serupa?". Jigsaw juga melucuti kekuatan itu, di mana beberapa permainan khususnya di awal durasi tak menuntut pengorbanan serupa, atau gagal membawa penonton memahami harga yang harus dibayar akibat eksekusi buru-buru. Ujian penuh tipu daya khas Jigsaw baru benar-benar terasa ketika John Kramer menampakkan diri, yang turut menegaskan Tobin Bell masih memiliki aura magis sebagai sang pembunuh berantai.
Seperti biasa, di luar permainan utama ada penelusuran misteri. Kali ini seputar penyelidikan Detektif Halloran (Callum Keith Rennie) yang melibatkan petugas forensik, Logan Nelson (Matt Passmore) dan asistennya, Eleanor (Hannah Emily Anderson). Penyelidikan yang melibatkan konflik saling curiga, lalu berujung twist yang berusaha mengkreasi ulang kejutan mencengangkan selaku ciri franchise ini, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan disebabkan familiaritas dengan salah satu film sebelumnya. Apabila anda penggemar Saw, atau setidaknya sudah menonton semua judulnya, mudah menebak arah alurnya. Masalahnya, twist dalam Saw adalah jenis yang mementingkan efek kejut daripada kejelian menebar benih. 

Keliru dalam menentukan mana yang perlu diubah dan dipertahankan adalah kekurangan terbesar Jigsaw. Akibatnya fatal. Kerinduan pasca enam periode halloween diisi penghasil kantuk bernama Paranormal Activity urung terobati. Tatkala lagu tema ikonik Hello Zepp buatan Charlie Clouser pun tidak terdengar seperti biasa, jelas ada kekeliruan akut dalam Jigsaw yang layak disandingkan bersama Saw V dan Saw 3D sebagai titik nadir franchise-nya.