Tampilkan postingan dengan label Lars Klevberg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lars Klevberg. Tampilkan semua postingan

CHILD'S PLAY (2019)

Perubahan radikal—karena kurangnya pemahaman si pembuat akan versi asli atau ambisi tampil beda—cenderung merusak remake/reboot. Child’s Play karya Lars Klevberg (Polariod), selaku remake film berjudul sama rilisan tahun 1988, menerapkan modifikasi ekstrim, bahkan Don Mancini, sang kreator original yang terus terlibat menulis dan/atau menyutradarai hingga seri ketujuh (Cult of Chucky, 2017), blak-blakan merasa tersinggung dan menolak terlibat sedikitpun.

Menariknya, perubahan yang dilakukan oleh naskah buatan Tyler Burton Smith bukan sekadar gaya-gayaan. Ada tujuan pasti yang membuat filmnya spesial sekaligus salah satu installment terbaik serinya. Persamaan mendasar antara visi Mancini dan Smith adalah selipan kritik terhadap budaya konsumerisme.

Teror Chucky berawal ketika Karen (Aubrey Plaza) membawa pulang boneka Buddi (Mark Hamill) yang mengalami kerusakan dan akan diretur dari supermarket tempatnya bekerja. Karen berniat menjadikan boneka itu kado ulang tahu bagi putera semata wayangnya, Andy (Gabriel Bateman). Buddi sendiri merupakan boneka revolusioner yang selain berkomunikasi, bisa juga terhubung dengan segala barang atau layanan ciptaan Kaslan Corporation (pemutar musik, lampu, taksi online, dan lain-lain).

Sial bagi Andy, Buddi miliknya—yang kelak menamai dirinya sendiri “Chucky”—adalah boneka yang disabotase oleh salah satu buruh pabrik Kaslan di Vietnam, yang sakit hati setelah dipecat. Tidak ada ilmu Voodoo Haiti, tidak ada penjahat sekarat yang memindahkan jiwanya, hanya ada boneka canggih malfungsi. Ketimbang horor supernatural, Child’s Play lebih mendekati tema “RoboCalypse”, sesuatu yang sempat disinggung oleh salah seorang karakter.

Awalnya saya terkejut, geleng-geleng kepala, memahami bahkan mendukung protes Don Mancini. Sampai modifikasi radikal tersebut memperlihatkan maksudnya. Tanpa ada roh penjahat keji di tubuhnya, Chucky hanya boneka yang berbeda (baca: dianggap aneh). Sama seperti Andy, yang kesulitan menjalin relasi sosial. Bagai dua sosok terbuang yang saling menemukan, saling mengisi, menghadirkan kehangatan yang tak saya kira bakal dimiliki film seperti Child’s Play.

Chucky membuat Andy bahagia, bahkan membukakan jalannya menemukan teman sungguhan, yaitu Falyn (Beatrice Kitsos) dan Pugg (Ty Consiglio). Ketika tiga bocah usil plus satu boneka aneh berkumpul, tentu kekacauan terjadi. Kekacauan menyenangkan, karena Tyler Burton Smith memanfaatkan paruh awalnya untuk mempresentasikan komedi, yang rasanya sesuai dengan selera humor Klevberg, sehingga memudahkan sang sutradara mengonversinya menjadi paparan visual yang efektif memancing tawa. Ketiadaan kekhawatiran jika filmnya berakhir terlampau konyol atau absurd merupakan kunci keberhasilan humornya. Tengok adegan “ekspresi seram Chucky”.

Barulah pelan-pelan, begitu Chucky memasuki “mode membunuh”, aroma horor mulai menguat. Biar demikian, Child’s Play tidak serta merta banting setir ke arah slasher generik. Selain fakta jika beberapa korban memang pantas mendapat hukuman setimpal, Chucky tetap karakter simpatik (setidaknya di beberapa kasus awal) yang menghabisi nyawa manusia karena sakit hati, pula demi merebut perhatian Andy. Walau memiliki hati, bukan berarti elemen horornya lembek tanpa taji. Klevberg menawarkan beberapa jump scare solid, dan pastinya metode membunuh kreatif, brutal, over-the-top, bahkan sesekali erat sentuhan komedi gelap.

Ketika Aubrey Plaza nampak bak sebuah miscast (pasca deretan momen deadpan menggelitik khasnya, talentanya tak termanfaatkan), Mark Hamill membuktikan diri sebagai pilihan sempurna. Pernah mengisi suara Joker, Hamill tidak kesulitan menyuarakan sosok boneka pembunuh. Keduanya sama-sama monster mengerikan yang dapat membuatmu merinding di malam hari hanya dengan mendengar suara mereka.

Satu-satunya kekecewaan mungkin berasal dari kurang berhasilnya film ini memanfaatkan potensi kegilaan di teror puncaknya, yang berpeluang memberi contoh andai suatu hari nanti proyek adaptasi film Five Night at Freddy’s mendapatkan lampu hijau. Tapi itu cuma gangguan minor dibanding segala kesenangan yang ditawarkan, sama seperti perubahan ekstrim yang tak lagi jadi masalah berkat dampak jauh lebih besar yang dihasilkan.