Tampilkan postingan dengan label Mathilde Ollivier. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mathilde Ollivier. Tampilkan semua postingan
OVERLORD (2018)
Rasyidharry
Firasat saya, di satu fase
pengembangan, elemen zombie milik Overlord
diniati sebagai twist. Cara
penanganannya pun serupa gaya “Kotak Misteri” J. J. Abrams seperti biasa, ketika
di awal kita mendapat siratan bahwa ada hal tersembunyi, lalu filmnya berusaha
membuat kita melupakan keberadaan rahasia itu, sebelum kebenaran mengejutkan
akhirnya diungkap, mengubah arah filmnya secara total.
Tapi, mungkin tim marketing merasa
sulit atau terlalu berisiko menjual Overlord
hanya sebagai “Satu lagi film berlatar Perang Dunia II”, sehingga memutuskan
untuk membuka kotak misteri itu sedari pra-rilis, menjadikannya materi jualan
utama. Alhasil, wajar saat penonton berharap menyaksikan zombie massacre besar-besaran, hanya untuk mendapati, menu utama baru
disuguhkan setelah melewati 45 menit, dan filmnya sendiri berlagak seolah
penonton tak mengetahui isi kotak misteri itu.
Overlord dibuka oleh pemandangan khas film peperangan mengenai
sekelompok yang dikirim menuju misi mematikan. Ada peperangan udara, ledakan
pembawa maut, nuansa klaustrofobia, yang meski tak luar biasa, mampu digarap
apik oleh sutradara Julius Avery (Son of
a Gun) guna mengawali cerita dengan intensitas memadahi. Para prajurit
dibebani misi menghancurkan menara radio Jerman demi membuka jalan pasukan
sekutu dalam invasi Normandy alias D-Day yang bersejarah itu.
Jagoan kita adalah Boyce (Jovan
Adepo), seorang paratrooper yang
enggan mencabut nyawa manusia dengan mudah walau tengah berada di peperangan.
Jangankan manusia, Boyce pun menolak membunuh seekor tikus. Melalui protagonis
seperti Boyce, mungkin Overlord
hendak menyelipkan pesan anti-peperangan dan kemanusiaan, tapi tertelan, bahkan
terasa kontradiktif kala filmnya mengajak penonton bersenang-senang menikmati
kekerasan ketimbang menyajikannya sebagai pemandangan bak mimpi buruk yang
mengganggu, supaya penonton bisa berpihak pada Boyce, si prajurit dengan kompas
moral. Justru Kopral Ford (Wyatt Russell) si antihero jauh lebih asyik disimak.
Setelah pesawat mereka ditembak
jatuh sebelum mencapai tujuan, para prajurit terpaksa bersembunyi di rumah
Chloe (Mathilde Ollivier), yang desanya dikuasai oleh Nazi, yang membunuh serta
melampiaskan nafsu pada warga setempat semau mereka. Chloe tinggal bersama adik
dan bibinya yang sedang sakit keras. Ini satu lagi wujud kota misteri khas
Abrams yang akibat strategi marketingnya, terbuka prematur. Kita tahu bibi
Chloe terinfeksi virus dan perlahan-lahan bertransformasi menjadi zombie.
Sejatinya makhluk itu bukan
sepenuhnya zombie, dan kata “zombie” tak sekalipun terucap. “A thousand year Reich requires thousand year
soldiers”, demikian sebut Wafner (Pilou Asbæk), salah satu anggota Nazi
sekaligus antagonis utama film ini. Satu hal yang pasti, tim tata rias dan efek
spesialnya bekerja luar biasa. Beberapa “zombie” tampak mengerikan, bahkan
cukup menjijikkan untuk menghasilkan sajian body
horror. Sayang, teror mereka tak segila penampilannya. Di atas kertas, Overlord dapat menjadi salah satu
tontonan tergila tahun ini. Ada zombie dengan wajah yang hilang separuh, zombie
dengan tulang-tulang menjulur keluar bak monster dari Resident Evil, zombie yang hanya mempunyai kepala dan tulang
belakang, hingga pertarungann zombie melawan zombie.
Semua itu merupakan elemen b-movie, namun Overlord menjauhkan diri dari situ, menekan kadar kebodohan. Ya, gore mengibur tersebar di sana-sini,
tapi jauh dari potensi yang tersimpan. Masalah bukan terletak di kekurangan
darah, melainkan kreativitas dan urung tampil lepas. Ibarat seseorang mendapat
hadiah Ferrari tapi mengendarainya pelan-pelan di jalan pedesaan. Benar bahwa Overlord punya momen apik, khususnya
saat Avery membuktikan kapasitasnya menangani spectacle intens. Pun naskah buatan Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips) dan Mark L. Smith (The Revenant) mengkreasi beberapa hal
menarik dengan adegan “ducktape”
sebagai contoh terbaik. Tapi tiap momen-momen itu absen, tensi Overlord langsung runtuh. Tonton saja Dead Snow (2009) dan sekuelnya untuk
menyaksikan eksekusi premis “zombie Nazi” yang lebih maksimal.
November 08, 2018
Billy Ray
,
horror
,
J. J. Abrams
,
Jovan Adepo
,
Julius Avery
,
Kurang
,
Mark L. Smith
,
Mathilde Ollivier
,
REVIEW
,
War
,
Wyatt Russell
Langganan:
Postingan
(
Atom
)