GRAVITY (2013)
Rasyidharry
Oktober 06, 2013
Drama
,
Luar Biasa
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Thriller
Tidak ada komentar
Semenjak Children of Men sukses mempesona banyak penonton dengan kualitasnya meski gagal secara pendapatan, butuh waktu tujuh tahun bagi Alfonso Cuaron untuk merilis film lagi. Setelah melewati proses panjang selama lebih dari tiga tahun karena Cuaron merasa perlu menunggu perkembangan teknologi lebih jauh supaya visinya bisa tersalur dengan sempurna akhirnya Gravity pun dirilis. Beberapa nama besar sempat dikaitkan dengan film ini mulai dari Angelina Jolie, Marion Cotillard, Scarlett Johansson, Natalie Portman hingga Johnny Depp namun karena proses yang berjalan lama akhirnya nama-nama tersebut batal bermain dalam film ini. Tapi toh pada akhirnya Gravity masih memiliki dua nama besar yang menjadi tokoh utama, yakni Sandra Bullock dan George Clooney. Dengan masa pengembangan yang lama, diisi oleh nama-nama besar, bujet $100 juta hingga banjir pujian dari banyak pihak termasuk James Cameron yang memuji habis-habisan visual film ini, Gravity jelas menjadi film yang tidak akan saya lewatkan begitu saja. Bahkan banyak yang menyebut film ini sebagai instant classic bahkan membandingkannya dengan 2001: A Space Odyssey milik Kubrick yang notabene dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.
Gravity pada dasarnya punya premis yang cukup sederhana mengenai dua orang astronot, Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalski (George Clooney) yang mengalami kecelakaan saat tengah menjalankan misi di luar angkasa. Kecelakaan tersebut mengakibatkan pesawat mereka hancur dan menewaskan kru yang lain. Dengan segala keterbatasan dan kondisi luar angkasa yang penuh bahaya mereka berdua harus mencari cara supaya bisa kembali ke Bumi dengan selamat. Saya sudah dibuat terpaku oleh Cuaron saat Gravity baru memasuki adegan pembukanya dimana kita akan disuguhi sebuah single shot panjang yang berlangsung tidak kurang dari 15 menit. Adegan tersebut menampilkan dengan lengkap suasana luar angkasa yang gelap, sunyi dan tanpa gravitasi disaat para astronot dengan santainya melayang-layang di ruang hampa sembari saling bercengkerama satu sama lain di tengah misi mereka. Efek CGI yang menampilkan suasana luar angkasa dan Bumi dari atas sana itu memang sangat luar biasa, tapi yang paling membuat saya terkagum-kagum pada adegan tersebut adalah pergerakan kameranya yang menakjubkan. Bagaimana Cuaron menggabungkan take panjang tersebut dengan efek gravitasi nol di luar angkasa dalam sebuah peregerakan kamera luar biasa yang terus berputar dan menciptakan momen demi momen yang terasa mustahil ditangkap dalam sebuah film.
Sejak adegan pembuka yang luar biasa itu, Gravity selalu menghasilkan momen demi momen yang membuat saya berdecak kagum dan terus bertanya dalam hati bagaimana cara Cuaron dan timnya menghasilkan adegan-adegan tersebut. Bahkan lewat sebuah momen sederhana pun Gravity dapat membuat saya terpukau seperti disaat kamera pelan-pelan mengambil sudut pandang dari dalam helm Sandra Bullock, seolah-olah kamera tersebut masuk menembus kaca helm. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, pergerakan kamera yang luar biasa tersebut juga berpadu sempurna dengan sinematografi yang tidak hanya indah namun juga begitu detail. Digarap oleh Emmanuel Lubezki (sinematografer langganan Cuaron dan Terrence Mallick) Gravity mampu merangkum dengan sangat mendetail bagaimana suasana dan atmosfer yang ada di luar angkasa mulai dari langit yang gelap, penampakan Bumi yang begitu nyata hingga bagaimana cahaya yang ada muncul. Semuanya begitu indah, nyata dan begitu sempurna dalam membangun suasana film secara keseluruhan. Lihatlah bagaimana adegan kecelakaan yang beberapa kali muncul sanggup terasa begitu mencekam disaat ribuan puing satelit meluncur dengan kecepatan tinggi. Belum lagi semua itu dibalut dengan efek 3-D yang bukan hanya menjadi gimmick. Meski ceritanya sederhana, Gravity memiliki kualitas teknis yang luar biasa dan turut membangun intensitas serta suasana filmnya yang menegangkan meski ceritanya sederhana dan alurnya mengalun dengan agak lambat di beberapa bagian.
Gravity memang begitu luar biasa dalam memberikan kesan teror di luar angkasa yang sunyi. Tidak hanya berhiaskan sentuhan gravitasi nol, film ini juga dengan teratur membiarkan kita tenggelam dalam sunyinya angkasa yang hampa. Bahkan jika bicara iringan musik, scoring ciptaan Steven Price tidak berlebihan digunakan dan hanya terdengar dalam situasi-situasi tertentu, namun sekalinya terdengar, scoring tersebut begitu megah dan efektif dalam membangun suasana yang ditampilkan filmnya. Tapi meski menampilkan kemegahan sekaligus kengerian survival film di luar angkasa, Alfonso Cuaron tidak serta merta memunculkan teknologi-teknologi canggih yang berlebihan. Dalam naskah yang ia tulis bersama sang putera Jonas Cuaron, Alfonso Cuaron praktis menampilkan berbagai teknologi yang terasa sangat masa kini dalam artian tidak ada teknologi maha super yang bisa melakukan berbagai macam hal yang terasa mustahil. Hal tersebut tidak hanya membuat filmnya terasa nyata tapi juga makin membantu menciptakan teror karena hal tersebut makin memperkecil peluang bagi karakter utamanya untuk bertahan hidup.
Tapi Gravity tidak hanya sekedar pamer aspek teknis belaka, karena dibalik ceritanya yang sederhana itu terdapat sisi emosi yang cukup dalam. Ya, jika dibandingkan dengan film-film lain yang menampilkan kesendirian di luar angkasa seperti Moon, Solaris maupun 2001: A Space Odyssey, apa yang ditampilkan oleh Gravity memang sangat sederhana dan tidak mempunyai twist besar yang mengejutkan meski jika bicara soal 2001, saya akan merasakan beberapa kemiripan entah itu dari adegan ataupun konten ceritanya. Tapi bagaimana cerita tersebut dikemas terasa sangat maksimal dan punya tingkat kedalaman yang baik. Selain survival film, ini juga adalah kisah tentang bagaimana seorang manusia terus berusaha tanpa kenal kata menyerah meski seolah sudah tidak ada harapan lagi. Namun diluar itu saya merasa bahwa Cuaron coba menampilkan kisah tentang "kelahiran kembali". Saya tidak secara langsung mengatakan reinkarnasi namun setidaknya bagi saya Gravity terasa sebagai sebuah kisah tentang reborn. Kita akan melihat Sandra Bullock dalam posisi fetal, Sandra Bullock "muncul" di Bumi lalu memulai semuanya dengan merayap, merangkak, lalu berusaha berjalan secara perlahan. Mungkin terdengar sedikit dibuat-buat tapi setidaknya itulah yang saya rasakan dan penonton manapun bebas memberikan interpretasi terliar mereka masing-masing.
Dalam film seperti ini pastinya kemampuan akting para pemain akan sangat diuji, dan pujian patut diberikan pada Sandra Bullock bahkan George Clooney yang punya screentime jauh lebih sedikit. Bullock mengemban tugas berat saat ia harus sendirian ketakutan, frustrasi, putus asa, dan "terbang" kesana kemari sepanjang film. Tapi apa yang ia tunjukkan memang setimpal dimana aktingnya berhasil memberikan kedalaman emosi yang mumpuni sekaligus akting terbaik sepanjang karirnya. Sedangkan Clooney tampil sebagai penyegar suasana. Seperti sosoknya sebagai Matt yang selalu berusaha menenangkan Ryan, Clooney juga selalu berhasil mencuri perhatian dengan berbagai celotehannya yang tidak jarang mengundang tawa. Begitu menyenangkan melihat bagaimana keduanya saling melengkapi dengan begitu baik. Bicara tentang saling melengkapi, Gravitiy adalah contoh langka bagaimana semua aspek mulai dari cerita, efek berbujet besar, sinematografi, pergerakan kamera, scoring, hingga akting para pemainnya tampil sempurna namun lebih dari itu semuanya berpadu dengan harmonis menciptakan satu kesatuan yang luar biasa. Ini adalah teror di tengah kesendirian yang mencekam, ini adalah drama tentang kehidupan yang mendalam, dan tentunya ini adalah film yang luar biasa dan terus berhasil membuat saya terpana akan semua aspeknya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar