ONE ON ONE (2014)
Saat pertama kali mendengar bahwa
Kim Ki-duk tengah membuat film yang bertemakan “penyiksaan”, saya bersorak. Kim
selama ini tidak pernah secara khusus membuat suatu film yang menyoroti hal
tersebut, tapi film-filmnya sudah banyak berisikan kekerasan brutal yang
menyakitkan. Jadi saya pun berekspektasi cukup tinggi akan kegilaan luar dalam
yang akan ia tampilkan dalam film terbarunya ini. Saya langsung membayangkan
sisi gelap manusia macam apalagi yang akan dieksploitasi olehnya hingga
berujung pada penyiksaan. Keindahan dalam gelap semenarik apa yang akan ia
paparkan? Tapi kemudian trailer-nya muncul dan membuat ekspektasi saya
mengendur. Tidak ada rasa mistis dan keindahan kelam pada trailer One on One. Yang dijanjikan oleh trailer
itu justru film Kim Ki-duk yang talky
alias penuh dialog. Film Kim yang dipenuhi dialog tidak pernah memuaskan saya,
sebagai contoh adalah Time dan Wild Animals yang masuk dalam jajaran
film terlemah sang sutradara. Tapi toh saya jarang dikecewakan oleh karyanya,
jadi One on One tetap menjadi salah
satu film paling saya tunggu tahun ini.
Pada 9 Mei, seorang gadis remaja
dibunuh secara brutal oleh tujuh orang pria. Mereka bertujuh sebenarnya
hanyalah suruhan dari pihak penguasa, dan setelah pembunuhan itu, mereka
bertujuh mendapat bayaran tinggi dan bisa memiliki kehidupan yang lebih dari
cukup. Tapi kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara. Satu per satu dari
ketujuh pria itu mulai ditangkap oleh sebuah kelompok misterius yang menamakan
diri mereka sebagai “Shadow”. Shadow terdiri dari tujuh orang dan dipimpin oleh
seorang pria brutal tanpa nama (Ma Dong-seok). Satu per satu dari ketujuh
pelaku pembunuhan itu mulai ditangkap, untuk kemudian disiksa sampai mereka mau
mengakui perbuatan sadis yang mereka lakukan pada tanggal 9 Mei. Satu per satu
dari ketujuh pelaku mulai ditangkap dengan target utama adalah penguasa yang
ada di belakang aksi pembunuha tersebut. Tujuan dari Shadow sendiri adalah
untuk menghancurkan sistem pemerintahan serta para penguasa yang korup dan
bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil.
Kekhawatiran saya terbukti karena
One on One memang adalah film Kim
Ki-duk yang banyak menghadirkan dialog. Tentu saja masih lebih banyak “aksi”
daripada kata-kata, tapi perbandingannya tidak sejauh film-film Kim pada
umumnya, apalagi jika dibandingkan dengan Moebius
yang hadir tanpa dialog. Kim Ki-duk memang tidak pernah memukau dalam urusan
penulisan dialog ataupun pengemasan adegan yang menghadirkan banyak obrolan.
Yang paling menyenangkan dari menonton film Kim Ki-duk adalah kepiawaian sang
sutradara dalam bertutur lewat gambar. Seperti yang telah saya singgung, selalu
ada keindahan aneh yang hadir di tengah kelam dan depresifnya film Kim. Untuk
mengeksplorasi sisi gelap manusia, kali
ini Kim berfokus dalam menghadirkan kekerasan pada adegan penyiksaan, serta
sentuhan tragedi dalam kehidupan beberapa karakternya, tapi semua itu tidak
maksimal. Salah satu “keanehan” terbesar dalam film ini adalah fakta bahwa Kim
gagal menghadirkan rasa sakit dalam kekerasan yang tunjukkan. Kenapa aneh,
karena seperti yang saya tuliskan diawal Kim selalu piawai dalam menggiring
penonton untuk merasakan sakit lewat adegan brutal dan sinting, tapi disaat
membuat film yang memang khusus mengeksplorasi penyiksaan, dia justru melunak.
Selain lunak, adegan penyiksaannya pun kosong tanpa ada tragedi yang mengiringi
semua itu.
One on One adalah film Kim Ki-duk paling ambisius. Coba tengok
skala ceritanya, jumlah karakternya, dan konflik yang coba ia bahas. Biasanya
film Kim hanya berpusat pada konflik diri seseorang, sedangkan One on One jauh lebih luas daripada itu.
Konflik personal karakter muncul, tapi ada lebih dari satu karakter yang
mempunyai konflik. Ceritanya pun memasukkan intrik politik dan konspirasi di
dalamnya. Film ini terlalu ambisius dan besar untuk Kim Ki-duk dan membuatnya
kehilangan sentuhan personal dalam kesederhanaan yang membuatnya filmnya selalu
terasa intim meski dipenuhi kegilaan hiperbolis. Saya paham bahwa tujuan Kim
memasukkan banyak karakter disini adalah untuk menggambarkan kolektifitas pada
rakyat kecil yang tertindas. Tapi jelas tujuh orang terlalu banyak, apalagi
ditambah tujuh orang pelaku pembunuhan, membuat One on One malah mempunyai permasalahan klasik film blockbuster, yaitu karakter yang terlalu
banyak. Hal itu menyebabkan filmnya kurang terasa emosional karena saya tidak
pernah berhasil dibuat terikat akan satupun tokohnya. Keputusan Kim untuk menggunakan konfik personal sebagai lambang/perwakilan dari kisah politis juga kurang berhasil.
Tapi untungnya Kim Ki-duk
berhasil dalam memaksimalkan ambiguitas moral dan pertanyaan tentang
benar-salah dalam film ini. Saya berhasil dibuat terus berada di tengah dilemma
tentang kebenaran dan bagaimana cara terbaik untuk menegakkannya. Siapa yang
benar dan siapa yang salah selalu menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab
dalam film ini dan berhasil membuat saya untuk terus merenungkan jawabannya.
Kim juga melontarkan sebuah pertanyaan kritis berkaitan dengan kekerasan.
Apakah menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan adalah cara yang paling
baik? Jawabannya terserah masing-masing penonton. One on One juga menunjukkan bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang
amat relatif. Disaat dua cara pandang yang begitu berseberangan dipertemukan
pastilah akan terjadi pergesekan, tapi bukan berarti ada yang benar dan salah,
karena masing-masing pihak benar-benar merasa bahwa mereka adalah yang
benar. Pada akhirnya hidup kita memang
adalah panggung sandiwara dimana tiap-tiap manusia memerankan peran mereka
masing-masing. Pemangsa atau korban. Baik atau buruk.
Secara teknis, film ini masih
tidak jauh beda dengan film-film Kim Ki-duk pasca hiatus, dalam artian
teknisnya terasa amatiran. Pergerakan kamera yang kasar, bahkan di beberapa
adegan masih terdengar suara lensa yang bergerak, namun saya pribadi malah suka
dengan film Kim yang seperti ini. Memang benar, dengan teknis yang lebih
mumpuni Kim sempat menghadirkan film-film indah macam Spring, Summer, Fall, Winter…and Spring atau The Bow, tapi filmnya yang lebih amatiran ini kadang justru
menguatkan kesan raw dan brutal.
Selain itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa suatu film tetap bisa menjadi
bagus tanpa harus memiliki peralatan atau segi teknis yang mahal, sebuah
anggapan yang amat disayangkan menjadi panutan dari banyak orang di Indonesia. Kembali
pada One on One, jelas bagi saya film
ini adalah kekecewaan. Terlalu repetitif dan kurang menggali sisi gelap manusia
bahkan terlalu lunak dalam penggarapannya menjadikan One on One menjadi film Kim Ki-duk yang paling mengecewakan kalau
tidak bisa dibilang paling buruk.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Dimana yaa bisa nonton film ini??
Mudah mudahan aja difilm ini ga ada pemain yg main film ini yg masih di bawah umur
Posting Komentar