THE DUKE OF BURGUNDY (2014)
Evelyn (Chiara D'Anna) mengayuh sepedanya dan tiba di sebuah rumah milik wanita bernama Cynthia (Sidse Babett Knudsen). Tidak lama, Cynthia langsung menyuruh Evelyn membersihkan ruang kerja. Dari situ jelas bahwa Evelyn bekerja di rumah tersebut sebagai pembantu. Cynthia sendiri nampak sebagai majikan yang galak dan gemar memberikan pekerjaan tanpa henti. Suasana nampak intens, namun bukan disebabkan oleh ketegangan akibat amarah, melainkan intensitas saat hasrat menggebu coba ditekan. Saya pun berasumsi Evelyn diam-diam menyukai sang majikan. Apalagi ia nampak "tidak nyaman" saat Cynthia meminta Evelyn memijat kakinya. Semuanya berpuncak saat Cynthia "menghukum" Evelyn akibat suatu kesalahan dan berujung keduanya berhubungan seks. Ternyata sang majikan juga memendam perasaan yang sama, bukan begitu? Rupanya tidak. Sutradara Peter Strickland langsung memberikan twist di babak awal yang membelokkan arah film.
Kedua wanita tersebut rupanya memang sepasang kekasih. Adegan pembuka tadi hanyalah role play yang rutin mereka lakukan tiap hari sebagai "pengantar" menuju seks. The Duke of Burgundy nyatanya merupakan drama sadomasochism. Cynthia adalah dominan, berperan sebagai majikan kejam yang semena-mena dan gemar menghukum pembantunya. Sedangkan Evelyn adalah submisif dan menyukai situasi dimana ia tidak berdaya atau dipermalukan. Sebagai contoh, ia akan terangsang saat Cynthia memberikan hukuman dengan duduk di atas mukanya atau dikurung dalam sebuah peti dalam kondisi terikat. Daripada kalimat "aku bahagia bersamamu", Evelyn lebih memilih ucapan "aku kecewa padamu". Semakin ia merasa tak berguna dan tak berdaya, semakin besar pula rangsangan yang dirasakan. Evelyn menikmati semua itu, tapi Cynthia tidak. Perlahan penonton akan mempelajari bahwa semua yang dilakukan Cynthia bukan semata-mata karena ia menikmati, tapi demi membahagiakan sang kekasih.
The Duke of Burgundy adalah erotic film, dimana hampir tiap adegan dikemas supaya menghadirkan kesan sensual atau punya simbolisme yang merujuk kearah sana. Tapi Peter Strickland tidak menghadirkan segala sensualitas tersebut secara murahan. Kesan tersebut dihadirkan oleh permainan atmosfer yang jeli. Strickland menerapkan ilmu beserta pengalamannya dalam membuat film-film horor/thriller atmosferik untuk film ini. Alhasil tanpa perlu banyak adegan seks eksplisit maupun ketelanjangan vulgar, suasana seksi masih bisa dibangun begitu intens. Momen-momen sederhana seperti mencuci baju atau mengukur badan pun bisa terasa erotis, terasa "panas". Lalu seiring berjalannya durasi, Strickland seperti tidak bisa menahan diri menjadikan film ini makin kental dengan aura horor. Jadilah paruh akhir The Duke of Burgundy layaknya surreal horror milik Lynch yang berkesan dreamlike.
Bagian itu dieksekusi dengan begitu baik. Permainan visual yang memikat turut memperkuat atmosfer creepy dan disturbing saat Strickland membawa hubungan Evelyn-Cynthia ke babak yang lebih gelap. Intensinya jelas, substansinya pun kuat dalam menggambarkan hubungan penuh passion yang perlahan berubah jadi mimpi buruk. Meski punya segala bumbu sadomasochism dan pengemasan sureal dari Strickland, esensi kisah The Duke of Burgundy sebenarnya sederhana saja, yaitu eksplorasi terhadap dinamika hubungan sepasang kekasih. Apa yang terjadi saat salah satu dari sepasang kekasih sebenarnya tidak menikmati apa yang selama ini mereka lakukan? Cynthia tidak menikmati semua role play dan kegiatan BDSM yang disukai Evelyn. Secara tersirat yang diinginkan Cynthia sederhana saja, yakni hidup bahagia bersama kekasih yang ia cintai dan berhubungan seks layaknya pasangan lain. Bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan "I love you" atau menghabiskan malam dengan tidur berdampingan saja tidak ia dapatkan. Sebaliknya, ia terpaksa melakukan segala hal yang baginya terasa mengganggu.
Saya begitu menyukai bagaimana sebuah hubungan BDSM digambarkan disini. Bagaimana interaksi antara dominan dengan submisif jadi pondasi kuat untuk menghadirkan hubungan rumit yang terjalin. Dari kata yang digunakan, semua orang tahu apa peran masing-masing dari "dominan" dan "submisif". Tapi banyak yang tidak tahu bahwa dalam prakteknya, justru submisif-lah yang memegang kontrol lebih kuat. Hal tersebut diaplikasikan oleh Peter Strickland disini. Cynthia sebagai dominan nyatanya lebih sering diatur. Bagaimana ia berpakaian, apa yang ia katakan dan cara pengucapannya, hingga detail lain semuanya hasil dari permintaan Evelyn. Peter Strickland menjadikan filmnya ini sebagai bahan eksplorasi terhadap peran dalam sebuah hubungan. Sebagai penggalian lebih dalam pada inner kedua tokoh utama, digunakanlah kupu-kupu. Hewan itu memang begitu mendominasi film ini, tidak saja muncul dalam berbagai adegan tapi karakter Evelyn dan Cynthia sama-sama mempelajari kupu-kupu. Dari berbagai kultur, kupu-kupu melambangkan banyak hal: transformasi, kelahiran kembali, cinta dan seks, jiwa, hingga kehadiran iblis. Well, berbagai makna tersebut masing-masing bisa diterapkan dalam film ini bukan?
Verdict: Sensual namun elegan. Penuh intensitas diantara parade visual puitis nan mengerikan. The Duke of Burgundy adalah sajian erotik substansial tentang romansa yang perlahan jatuh menjadi mimpi buruk.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar