JOGJA-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL - ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2016)

12 komentar
Saya menyaksikan "Istirahatlah Kata-kata" karya Yosep Anggi Noen dengan ekspektasi tinggi. Kemudian film dimulai, kesunyian mencekat bergulir, gambar-gambar berbicara, suara-suara bersenandung, terdengar silih berganti termasuk dibacakannya sederet puisi berisi keresahan seorang Wiji Thukul. Emosi tidak pernah dipacu kencang namun bagai pelukan kasih sayang, dijamah pelan sampai tanpa sadar ada gejolak yang merambat perlahan dan akhirnya menguasai perasaan. Ketika usai, kredit bergulir ditemani sisa isak tangis Sipon (Marissa Anita), saya duduk diam. Mengistirahatkan kata-kata, membiarkan rasa bermain, lalu menyadari baru saja menyaksikan film Indonesia terbaik tahun ini yang jauh meninggalkan pencapaian para "pesaing".

Bertindak juga selaku penulis naskah, Anggi menyoroti masa saat Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bersembunyi dari kejaran pemerintah di Pontianak pada 1996. Keterasingan itu digunakan Anggi untuk mengajak penonton memasuki sisi personal Wiji Thukul, bagaimana ia bersembunyi di balik kegelapan sembari tetap berusaha menulis meski dikuasai ketakutan akibat teror aparat dan kerinduan akan sang istri, Sipon beserta kedua anaknya. Rasa takut tersebut seringkali menyulitkan proses berkarya, membawanya pada pertempuran melawan opresi walau kali ini pergolakan hati menjadi salah satu musuh terbesar Wiji. Kita takkan mendapati Wiji Thukul sang aktivis perlawanan, melainkan manusia biasa yang takut, ragu, rapuh, menghabiskan waktu di malam hari minum tuak bersama teman-temannya. Dia tidak sempurna.
Daripada lantang penuh kobaran semangat perjuangan, semua puisi dibacakan lirih cenderung sendu. Justru karena itulah tiap kalimat terasa personal dan jujur. Bahkan tatkala membicarakan penindasan maupun pergolakan politik, puisinya tetap terdengar intim. Sekali lagi, fokus film memang kepada Wiji Thukul sebagai manusia. Sesekali kondisi politik mencuat tapi sekedar lewat pembicaraan singkat atau siaran radio. Pemaparan situasi politik dan negara berfungsi memperkuat latar saja, bukan fokus utama, yang mana pilihan tepat sebab banyak film biografi kita kehilangan hati, bak visualisasi buku sejarah lalu melupakan observasi karakter akibat ambisi berlebihan merangkum seluruh sisi kehidupan sang tokoh.

Kata-kata memang cenderung diistirahatkan. Bukan seutuhnya dihilangkan melainkan dipakai tepat guna, muncul sewaktu diperlukan. Alhasil timbul dampak signifikan, entah membangun dinamuka cerita atau karakter. Teknisnya dikemas menggunakan pendekatan serupa. Penataan kamera Bayu Prihantoro Filemon lebih banyak statis menangkap peristiwa minim pergerakan. Begitu pula jarangnya musik karya Yennu Ariendra menyeruak masuk. Namun kediaman gambarnya nampak puitis juga menyimpan setumpuk kisah. Adegan close-up di tengah kegelapan kamar kala Wiji berulang kali menutup lalu membuka mata memunculkan probabilitas kisah tanpa batas dalam benaknya. Sedangkan musiknya cerdik membaurkan efek suara selaku lantunan musik (berubahnya gema suara shuttlecock menjadi ketukan ritmis jadi contoh terbaik).
Yosep Anggi Noen jeli menyelipkan simbol (semut di air gula, lukisan perjamuan terakhir) untuk menyiratkan kejadian yang kelak hadir. Selain simbolisme, kematangan penyutradaraan Anggi terbukti melalui terciptanya kesunyian suasana tanpa harus berujung datar. Ada ketegangan merambat kala di tempat pangkas rambut, seorang tentara (Arswendi Nasution) menanyakan identitas Wiji dan rekannya, Martin (Eduwart Boang Manalu). Bahkan pada situasi santai, aparat bersikap pongah, intimidatif, menekan. Anggi tak lupa menghantarkan romantisme ketika Wiji Thukul dan Sipon kembali bertemu (pertama kali sepanjang film), di mana kehangatan terasa lewat kesederhanaan macam senyum simpul, pemberian oleh-oleh, bahkan pengucapan nama Wiji Thukul oleh sang istri setelah sebelumnya ia selalu dipanggil menggunakan nama samarannya, Paul. 

Suguhan akting kelas wahid diberikan oleh Gunawan Maryanto dan Marissa Anita. Gunawan bukan sekedar berusaha memiripkan tampilan fisiknya dengan Wiji, tapi meresapi untuk kemudian mampu mengungkapkan sisi terdalam sang tokoh memakai ekspresi mikro, sehingga dalam diam pun terdapat variasi emosi yang teramat kaya. Marissa Anita yang baru banyak berperan di paruh kedua pun sama baiknya memamerkan kesubtilan olah rasa yang bisa tercurah hanya oleh mimik muka. Keduanya kuat berinteraksi, bertukar emosi hingga mencapai akhir durasi saat Anggi menutup film dengan metafora penuh makna. Di situ Sipon mencurahkan segala kekalutan hatinya, dan sejurus kemudian tanpa kita sadari Wiji Thukul menghilang tanpa pernah nampak lagi. Saya terpana. Hati teriris-iris, air mata mengalir deras mendapati ending terkuat yang dimiliki sinema negeri ini. "Tidurlah kata-kata. Kita bangkit nanti". 

12 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Wow Sempurna! Kemarin niat nonton, tapi liat penonton membludak, mundur perlahan. Oh ya, kalau berencana nonton Salawaku (2016) hari ini, jangan berekspektasi tinggi, itu film wisata.

Amatir dalam Hidup mengatakan...

baca reviewmu aja hati sudah bergetir, tak sabaaar menunggu film iniii x')

Zulfikar Knight mengatakan...

Wah 5 bintang. Jadi penasaran. Apakah film ini bisa tayang di bioskop nanti?

Rasyidharry mengatakan...

Baru nonton tadi, and I like it :)

Rasyidharry mengatakan...

Tayang 19 Januari :)

mukekho mengatakan...

Salah satu film yg ditunggu setelah "tiba-tiba" muncul di ffi (dan juga film ziarah). Menurut mas lebih cocok film ini atau athirah yang menang film terbaik?

Rasyidharry mengatakan...

Wah kalau cocok sih cocok semua, tapi personally lebih suka Istirahatlah Kata-kata

Arif Hidayat mengatakan...

Itu seluruh bioskop atau cuma khusus ??

Rasyidharry mengatakan...

19 Januari di seluruh bioskop

Gadai/take over BPKB mengatakan...

Review tulisan mas rasyid enak bener dibacanya. Pas menggambarkan 'ke-baper-an" penonton. Cuz ga semua orang bisa menuangkan perasaan kedalam kata-kata. Keep writing Mas bro..

jefry punya cerita mengatakan...

Bang saya baru aja nonton filmnya. Bagus, tipikal film festival. Tapi entahlah kalau dibandingkan sama pasir berbisik atau jermal kok masih kalah ya endingnya.

Rasyidharry mengatakan...

@jefry Bagusnya ending IKK ini karena termasuk satu dari sedikit film yang berhasil memenuhi hakikat arthouse: menolak dramatisasi lebay dengan memperindah presentasi emosi. Dan hebat sekali cara Anggi menyimbolkan "hilangnya Wiji Thukul" dengan visual (literally Wiji hilang dari frame), verbal ("aku ra pengen koe lungo, tapi aku ra pengen koe mulih, aku pengen koe ono"). Semua esensi perjuangan Wiji Thukul dan kasusnya ada di satu adegan itu.