BID'AH CINTA (2017)
Film religi tanah air sering terjebak dalam pola penuturan pesan menggurui atau tokoh utama kelewat sempurna. Daripada merasa damai dan dicerahkan saya justru merasa dibodohi, terlebih ketika dewasa ini banyak konflik didasari agama, membuyarkan sikap toleransi yang semestinya mengiringi. Jangankan antar umat berbeda agama, mereka dengan agama sama namun berlainan aliran pun saling serang dan menyalahkan. Pasca keberhasilan "Mencari Hilal" menebarkan sejuknya perdamaian dua tahun lalu, "Bid'ah Cinta" garapan Nurman Hakim ("3 Doa 3 Cinta", "Khalifah", "The Window") mengusung pesan tak jauh beda: kebersamaan di tengah perbedaan.
"Bid'ah Cinta" membawa penonton ke sebuah kampung di mana masyarakatnya terbelah menjadi dua golongan Islam. H. Rohili (Fuad Idris) beserta murid-muridnya bersikap modern. Mereka merayakan maulid Nabi dengan meriah, berziarah kubur, pula mempersilahkan seorang transgender bernama Sandra (Ade Firman Hakim) beribadah bersama. Sebaliknya, H. Jamat (Ronny P. Tjandra) dan sepupunya, Ustaz Jaiz (Alex Abbad), lebih tradisional dan keras, menganggap semua itu sebagai bid'ah. Tapi layaknya kisah Romeo dan Juliet, putera-puteri kedua belah pihak, Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya) saling mencintai walau hubungan keduanya terbentur selisih paham penerapan ajaran agama.
"Bid'ah Cinta" mengambil lingkup bukan saja di internal dua keluarga, melainkan sekampung. Trio penulis naskah Nurman Hakim, Zaim Rofiqi dan Ben Sohip solid membangun detail seputar seluk beluk setting-nya termasuk para warga dengan problematika masing-masing. Selain Sandra dengan usahanya diterima masyarakat, ada Faruk (Wawan Cenut) yang kesengsem pada Khalida tapi selalu menghabiskan harinya mabuk oplosan bersama Ketel (Norman Akyuwen). Kedua tokoh ini mengajak kita memasuki sisi lain kampung tersebut, menggambarkan bahwa di tengah gesekan dua kubu alim ulama, nyatanya praktik maksiat kokoh merajalela. Berkatnya, film ini terasa lengkap menangkap kondisi suatu kelompok masyarakat, bukan perseorangan belaka.
Masalahnya, pembengkakan durasi tak bisa dihindari. Apalagi terdapat repetisi dalam beberapa peristiwa seperti pertengkaran Khalida dan sang kakak atau dangdut "dadakan" di tempat minum. Mungkin Nurman Hakim memang berniat menekankan pengulangan peristiwa, tapi sewaktu pengadeganan (sudut pengambilan gambar, tempo, intensitas rasa) turut serupa, filmnya jadi kerap terasa melelahkan. Ditambah lagi keberadaan momen-momen singkat selaku penjelas yang sejatinya tak perlu, membuat pergerakan alurnya kurang nyaman akibat terlampau sering berpindah dari satu titik ke titik berikutnya.
Pertanyaannya, bisakah "Bid'ah Cinta" bersikap adil menuturkan dua bentuk Islam yang ada? Ternyata bisa. Kedua sisi diberi kesempatan bersuara dan penonton pun digiring untuk merenungkannya. Pihak H. Rohili nampak toleran pula berpikiran terbuka, sedangkan Ustaz Jaiz dan pengikutnya lebih kaku, tegas cenderung kasar. Tapi bukan berarti kelompok kedua selalu disudutkan, sebab H. Rohili yang awalnya menyatakan tidak suka akan model dakwah penuh amarah nyatanya terpancing juga emosinya. Bahkan Ustaz Jaiz sanggup merangkul Faruk dengan caranya sendiri tatkala H. Rohili mengecam sikap Faruk, mematahkan hatinya. Saya pun seketika menaruh hormat pada Jaiz begitu mendengar sang ustaz mengutuk aksi terorisme.
Walau demikian, sikap adil tak menghalangi Nurman Hakim menyertakan sudut pandangnya. Fakta bahwa penonton lebih banyak diajak menyambangi kerabat-kerabat H. Rohili (termasuk kondisi rumah yang lebih hangat dibanding keluarga H. Jamat) memancing simpati untuk mereka yang otomatis menempatkan Ustaz Jaiz dan kawan-kawan sebagai sosok "asing". Tatkala muncul tindakan ekstrim, sulit untuk tidak mengantagonisasi mereka. Keputusan itu tidak keliru. Artinya sang sutradara lantang menyuarakan prinsip alih-alih bermain aman pada objektivitas tanpa taji. Lagipula, film ini urung mencela golongan kaku, termasuk menolak memberi cap teroris untuknya. Menengok kondisi sosial Indonesia saat ini, definisi toleransi "Bid'ah Cinta" yang sedikit berpihak pada mereka dengan pikiran terbuka merupakan pilihan bijak.
Alex Abbad dan Fuad Idris menonjol di antara jajaran cast selaku pentolan masing-masing kubu. Alex Abbad bergerak dan bertutur layaknya seseorang yang mantap menjunjung kepercayaannya. Dia tidak kenal ampun melawan apa saja yang dianggap menyalahi aturan agama, namun bukan pula manusia tak berhati. Saat Sandra diusir paksa dari masjid, ia membisu, tapi itu lebih karena ketiadaan pilihan lain, sebab ekspresi Alex memancarkan iba. Khalidah disebut sebagai wanita tercantik pujaan seluruh pria kampung. Selain paras ayu, kelembutan laku Ayushita yang tidak pernah terjerumus pada keklisean tokoh wanita solehah lembut nan luar biasa (sok) suci menguatkan deskripsi tersebut.
Bersenjatakan cinta, "Bid'ah Cinta" berhasil menyuarakan pesan perdamaian juga harmoni yang acap kali disimbolkan oleh tata visual lewat beberapa shot simetris memperlihatkan jendela. Ketika cinta dua insan manusia dipersatukan, terjadi pula "perkawinan" dua sisi berlawanan yang sejatinya dan semestinya bersatu. Terlalu naifkah film ini memposisikan cinta selaku magnet penyatu? Sebagaimana dituturkan Kamal, cinta tidak sesederhana itu. Cinta maha besar. Anugerah terbesar Allah bagi umat manusia. Akhirnya, entah pihak dengan pandangan Islam kaku, terbuka, bahkan pemabuk nihil ibadah sekalipun layak berkumpul, bergembira bersama, meninggalkan sang pelaku terorisme sendirian di luar, menatap penuh benci dan iri.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
19 komentar :
Comment Page:Akhirnya ada film Indonesia yg worth to watch tahun ini, btw Silariang kapan bang?
Kata Bang Jonru juga film ini bagus.
Bintang 3,5 tapi gak tayang di kota saya :(
Silariang yang Bisma atau yang lokal? Kalau yang lokal udah kemaren tapi malas review hehe
Walah Jonru haha
Berharap penonton rame & tambah layar :)
Film ini salah satu yang saya harapkan di review, ternyata hasilnya layak ditonton.
Semoga film ini bertahan lama karena banyak protes mengenai jilbab/kerudung yg dipakai ayushita dan situasi islam di Indonesia saat ini.
Hihi kamu cepat sekalii, aku penasaran dengan review kaliaan. Aku pulang-pulang rada pusing sampai tak tahan ingin menuliskan yang ada dalam pikiran. Tapi film yang menghasilkan banyak percakapan membuka pikiran kayak film ini, menyatakan ini film kece gak sih berartii :D
Diluar ekspetasi, ternyata layak tonton. Saya senang, saya senang.
Filmnya sangat relevan kok, "menyindir" sana-sini :)
Yap, film yang memancing dialektika itu at least layak tonton :)
Tonton ya sebelum ilang :)
Silariang yang lokal, siapa tau reviewnya bakal menghibur, tapi kata "malas review" menjelaskan semuanya, kayaknya bintang 5 ... dikurang 4.5 deh mas? hehe. Gak ada situs yang ngeluarin reviewnya T_T
Eits, jangan salah. Saya kasih 2.5 lho
http://idfilmcritics.com/indonesian-movie/silariang-menggapai-keabadian-cinta-2017-review/
Waktu itu kepentok skripsi jadi malas haha
wkwkwk
bagusan mana uang panai ama silariang bang?
Uang Panai lebih well-made walaupun jatuhnya Silariang lebih menghibur karena "keanehannya"
Ada yang punya film ini kah ?
Film ini bagian dari xara menggalakkan bid'ah. Hahaha. Menggalakkan Bid'ah-Bid'ah
Posting Komentar