13: THE HAUNTED (2018)

9 komentar
Ada masa di mana Rudi Soedjarwo termasuk salah satu sutradara kelas satu negeri ini. Menelurkan Ada Apa Dengan Cinta? (2001), Mengejar Matahari (2004), Pocong 2 (2006), sampai Mendadak Dangdut (2006), separuh awal 2000an adalah bukti sahih. Setelahnya diisi inkonsistensi, meski judul-judul macam Garuda di Dadaku 2 (2011) dan Batas (2011) sesekali mengingatkan agar jangan memandangnya sebelah mata.  Rudi masih pencerita handal. Terbukti, walau diberi bekal medioker dalam 13: The Haunted, sang sutradara tetap mampu menghasilkan karya yang tak terbenam di lubang kehancuran seperti banyak horor lokal belakangan.

Saya sedikit was-was ketika baru menginjak detik pertama, sebelum tampak apa pun selain kredit, telinga ini sudah ditusuk-tusuk oleh volume musiknya. Padahal hanya denting piano, tapi gendang rasanya mau pecah. “Ah, satu lagi horor murahan yang asal melemparkan jump scare berisik.”, begitu pikir saya. Perkenalan dengan jajaran protagonisnya menguatkan prasangka itu. Mereka adalah 7 remaja yang karakteristiknya mentok di julukan masing-masing. Celsi (Valerie Thomas) misal, yang dipanggil “Si Logis” (or something like that). Hampir semua kalimatnya diawali “Logikanya....”.

Atau Farel (Atta Halilintar) si “Hip Hop Boy” yang gemar mengenakan kalung emas, jam tangan emas, cincin emas, walau aksesoris tersebut sebenarnya juga bisa diidentikkan dengan tante-tante girang. Sementara Rama (Al Ghazali) dipanggil “Mr. Perfect” meski bagian mananya yang layak disebut sempurna, saya tidak tahu. Pastinya bukan akting Al Ghazali, yang 4 tahun pasca debut layar lebar di Runaway, masih sekaku batang kayu. Endy Arfian sebagai Garin si “Kentut Boy” lebih luwes dibanding rekan-rekannya, tapi setelah Toni di Pengabdi Setan (2017), ini jelas kemunduran.

Alkisah, mereka bertujuh, sebagai remaja gaul masa kini yang terobsesi untuk jadi yang terdepan, merasa iri dengan kesuksesan kanal YouTube berkonten reality show horror milik The Jackal, yang sukses mengumpulkan jutaan penonton dalam waktu singkat. The Jackal sendiri terdiri dari sepasang kekasih, Joy (Achmad Megantara yang akhirnya layak tonton pasca debut remuk redam di El) dan Klara (Mikha Tambayong), mantan kekasih Rama. Demi menyaingi The Jackal, mereka bertujuh pun nekat pergi membuat vlog ke Pulau Ayunan, tempat terjadinya pembantaian 13 bulan lalu.

Apabila terdengar seperti formula klasik “sekelompok remaja pergi ke tempat terpencil lalu diteror hantu yang ingin merenggut nyawa mereka”, itu karena 13: The Haunted memang mengedepankan kisah klise “sekelompok remaja pergi ke tempat terpencil lalu diteror hantu yang ingin merenggut nyawa mereka”. Satu hal yang saya sayangkan, walau tak mengejutkan, adalah kegagalan naskah buatan pasangan suami istri Demas Garin dan Talitha Tan (The Secret: Suster Ngesot Urban Legend) membangun persahabatan kuat antara tokoh-tokohnya. Mereka berpesta bersama, jalan-jalan bersama, selalu menghabiskan waktu bersama, namun tanpa tanda-tanda ikatan solid, sebab interaksi yang terhampar pun tak cukup menarik untuk membuat kita peduli.

Untungnya, 13: The Haunted bukan horor nihil kisah yang menyamakan rentetan jump scare tanpa konteks dengan alur, lalu mengumpulkannya sebanyak mungkin guna mengisi slot durasi. Bahkan, kuantitas jump scare film produksi ketiga RA Pictures ini ada di taraf normal alias secukupnya. Second act-nya dipakai menelusuri misteri yang tersimpan di Pulau Ayunan. Bukan misteri yang digarap apik, tapi keberadaannya berhasil dimanfaatkan Rudi Soedjarwo guna unjuk gigi kapasitas bertutur melalui tempo yang nyaman diikuti. Ketika ada karakter menyelidiki sebuah keanehan dalam film horor, sudah jadi “kewajiban” sang sutradara melambatkan tempo untuk memunculkan ketegangan. Rudi melakukannya, tapi tahu kapan mesti mengakhiri itu supaya tidak berlarut-larut sehingga kehilangan momentum.

Soal menakut-nakuti, trik Rudi medioker. Hantu sekedar muncul tiba-tiba di layar, diam, berpose, sambil diiringi musik buatan Andi Rianto (Arisan!, Kartini, Critical Eleven), yang untungnya lebih variatif ketimbang asal berisik sebagaimana kerap dijumpai dalam horor kelas teri negeri ini. Musik Andi pun efektif memancing ketegangan pada third act yang kembali, membuktikan kebolehan Rudi memainkan tempo. Bergerak cepat namun tidak terburu-buru, klimaksnya terbukti menyenangkan, apalagi ditambah riasan menarik garapan Cherry Wirawan dan Eba Sheba bagi hantu-hantunya. Anda bisa berargumen hantu-hantu itu terlihat bak cosplay monster Kamen Rider, tapi jelas jauh lebih niat dan imajinatif dibanding jajaran setan muka bubur basi yang kerap menjadi favorit sineas horor bangsa ini. Andai mitologi sarat misteri di balik angka 13 jadi poros utama, seperti saat “13 Cara Melihat Hantu” menyokong klimaksnya. Bodoh, tapi menyenangkan. Setidaknya memancing keingintahuan terhadap hasilnya. Semoga 13: The Return mampu melakukannya.


9 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Filmnya bersambung. Jadi inget filmnya Rudy yang bersambung juga In The Name of Love. Sampe sekarang nggak tau sambungannya yang mana.

Anonim mengatakan...

Kocak baca akting si Al dibilang kaku sekaku batang kayu. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari film ini memang. Semoga Rudy Soedjarwo bisa mendapat materi yang lebih baik ke depannya.

Anonim mengatakan...

Bang, kira" ada rencana gak nonton film kafir

Rasyidharry mengatakan...

@Kim Ya kalo PH sih selama duitnya ada ya lancar-lancar aja bikin film kapan pun :D

@Heru Waktu itu kebentur Roy Marten yang kena kasus, terus ilang deh. Faktor duit juga kayaknya.

Taufik Adnan mengatakan...

Performa aktingny atta hlilintar gmn mas bro? 😂

Rasyidharry mengatakan...

@Taufik "Sok Hip Hop", cuma bisa bilang itu :D

Jackman mengatakan...

Jadi ini masih layak tonton ga min?
Terus terang saya suka banget sama 3 film horor buatan Rudy Sujarwo
Pocong 2, 40 hari bangkitnya pocong, dan Hantu rumah ampera.
Ketiga film tersebut mempunyai adegan horor memorable.

Rasyidharry mengatakan...

@Jackman Better than many recent horror movies, tapi kalau dibandingin 3 horor Rudi sebelumnya jauh sih.