JAFF 2018 - ISTRI ORANG (2018)

Tidak ada komentar
Istri Orang berpotensi jadi salah satu film Indonesia terpenting generasi ini. Bicara menyangkut pandangan masyarakat yang menomorduakan wanita serta budaya perjodohan dan nikah muda, relevansinya begitu tinggi. Jangkauan potensinya luas, dari ranah pembelajaran, memancing kesadaran, bahkan kalau mau sedikit berangan-angan, memantik perubahan. Sayang, akibat kurang matangnya penulisan naskah, potensi tadi urung terealisasi.

Satu hal yang akan menangkap atensi penonton mungkin kasarnya elemen teknis film ini. Jangankan pewarnaan penyedap mata, menghasilkan gambar jernih, khususnya di adegan minim pencahayaan saja Istri Orang tak mampu. Belum lagi membicarakan penyuntingan ala kadarnya hingga tata suara termasuk pemakaian musik berlisensi gratis di internet. Tapi sebelum mencaci dengan menyebutnya amatiran atau asal jadi, perlu diketahui, Istri Orang tercipta melalui lokakarya penciptaan bernama “Workshop Sinema Rakyat” yang digagas sang sutradara, Dirmawan Hatta (Toilet Blues, Optatissimus) bersama Tumbuh Sinema Rakyat bentukannya.

Ini merupakan proses berkarya sarat kesederhanaan, di mana menumbuhkan semangat mencipta dalam sinema jadi tujuan utama. Karena itu, mari kesampingkan kelemahan teknis dan berkonsentrasi meninjau presentasi gagasan. Ya, sebab di lingkup “akar rumput”, gagasan adalah inti. Mengambil latar desa kecil di Kangean, Istri Orang mengangkat kehidupan gadis remaja bernama Endah yang tengah gelisah akibat paksaan sang ayah agar segera menikah.

Voice over diterapkan sebagai media menyampaikan kata hati Endah. Dia pun menjabarkan lima pria dalam hidupnya (pacar, ayah, mertua, suami, pria pembawa air), yang menurutnya, memiliki kesamaan, yaitu selalu berujung meninggalkannya. Endah sadar betul jika dalam tatanan sosial-masyarakat negeri ini, yang didasari budaya ketimuran ditambah interpretasi nilai Islam, wanita hanya manusia tingkat dua, sedangkan pria berkuasa layaknya raja. Seburuk apa pun situasinya, kondisi pria bakal lebih baik berkat keistimewaan tersebut.

Melalui curahan hati Endah, Istri Orang mengingatkan betapa sempitnya ruang gerak wanita Indonesia akibat direcoki berbagai stigma. Contohnya saat tertarik pada seseorang, Endah merasa perlu menjaga diri, diam, cenderung malu-malu, karena ia wanita. Ruang itu semakin sempit kala telah dipersunting. Wanita mesti menjaga sikap, melayani suami, disibukkan urusan rumah tangga yang membuat status “istri” seolah cuma sebutan halus bagi “pembantu”.

Ketakutan Endah terjadi, saat ayahnya bertemu si calon mertua, membicarakan perjodohan anak mereka. Dirmawan mampu memancing kegeraman akan budaya patriarki melalui dua sosok ayah ini. Obrolan perihal perjodohan terdengar bak aksi tawa menawar jual-beli barang. Ya, status nomor dua wanita memang menjadikannya properti para pria. Sang mertua ingin agar pernikahan dengan Endah memunculkan rasa tanggung jawab dalam diri puteranya, sehingga bersedia meneruskan usaha peternakannya. Ayah Endah setuju. Menurutnya, pernikahan akan memberi tujuan untuk kedua anak.

Menyedihkan, mengesalkan, membingungkan, tapi nyatanya, memang demikian pemikiran banyak manusia negeri ini. Pernikahan dijadikan puncak pencapaian, dianggap cara instan menyelesaikan semua permasalahan. Ingin anakmu cepat dewasa? Nikahkan. Ingin hidup makmur? Menikahlah. Istri Orang melemparkan kritikan tepat sasaran soal “kultur beracun” itu dengan nuansa melankolis lembut, kontemplatif, namun efektif menyulut emosi.

Begitu pernikahan terlaksana, benar saja, hidup Endah makin terkekang. Tengok sewaktu ayah dan mertuanya makan bersama sambil mengobrol santai. Endah repot menyiapkan hidangan, sedangkan mereka bersantap santai, bahkan masih sempat mengeluhkan kelalaian si gadis muda menyediakan mangkuk cuci tangan. Dalam obrolan yang membawa satu kejutan menohok itu, Dirmawan turut menyentil kecenderungan membawa nama Tuhan dalam pelampiasan hawa nafsu pria.

Walau memiliki momen kuat di beberapa titik, sayangnya jembatan penghubung di antaranya tak seberapa solid, kerap tampil berlarut-larut dan penuh pengulangan, yang seiring waktu, bukan lagi wujud eksplorasi melainkan kebingungan menentukan arah melangkah. Ditambah ketiadaan akting mumpuni (saya tahu mereka bukan talenta profesional, tapi akting berbeda dengan teknis yang memerlukan sokongan finansial untuk hasil maksimal), jadilah film ini suatu perjalanan luar biasa terjal nan melelahkan menuju beberapa destinasi menarik.

Konklusinya sendiri mengundang pemikiran. Saya sempat kesal karena merasa filmnya memilih menyerah pada ketidakberdayaan meski kesempatan “melawan” telah terbuka lebar. Tapi kemudian saya menyadari, pilihan karakternya adalah dampak cuci otak dari kultur yang sudah terlanjur mengakar. Melalui Istri Orang, Dirmawan Hutta bukan coba menciptakan dunia ideal menurutnya, namun memaparkan realita pahit di mana didikan guna menuruti “hakikat wanita”, bisa jadi terlanjur mematikan api semangat untuk menggugat, apalagi di sudut-sudut desa yang jarang terpapar gerakan-gerakan pembebasan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: