JAFF 2018 - DAYSLEEPERS (2018)
Rasyidharry
Desember 03, 2018
Agnes Naomi
,
Dinda Kanya Dewi
,
Djenar Maesa Ayu
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Khiva Iskak
,
Lumayan
,
Nikita Dompas
,
Paul Agusta
,
REVIEW
,
Romance
,
Tadelesh Ilham
4 komentar
Bagian mana yang manis dari dua
manusia yang menyadari eksistensi satu sama lain dari jendela masing-masing?
Apabila pernah menetap di Jakarta, lalu mencicipi monotonitas hiruk pikuk rutinitasnya,
romantisme sederhana saat takdir menautkan dua sosok asing kemungkinan bakal
anda pahami. Sebab disadari atau tidak, manusia-manusia yang bergelut dengan artificial-nya ibu kota seringkali memimpikan
ikatan. Bahwa entah kapan dan bagaimana, di malam hari kala roda gigi industri
telah mati, ada jiwa bernasib sama yang bisa diajak berbagi hati.
Daysleepers mempunyai judul Bahasa Indonesia Kisah Dua Jendela, di mana dua jendela yang dimaksud adalah tempat
Leon (Khiva Iskak) dan Andrea (Dinda Kanyadewi) melongok keluar dari ruang kerja
mereka. Leon merupakan novelis sukses yang berusaha berkarya lagi pasca vakum
beberapa tahun setelah kematian istrinya. Selepas puteranya tidur, Leon duduk
di cafe milik Tito (Joko Anwar), berusaha menulis kembali. Andrea pun sama, seorang
daysleeper yang banting tulang di
malam hari karena pekerjaannya di dunia saham menuntut komunikasi internasional
yang terbentur perbedaan waktu.
Hidup keduanya terserap oleh layar
komputer demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Khususnya Andrea, yang selalu
berpesan pada adiknya, Dina (Agnes Naomi) agar giat belajar supaya mudah
mendapatkan uang. Paul Agusta (Parts of
the Heart, Semua Sudah Dimaafkan sebab Kita Pernah Bahagia) selaku
sutradara sekaligus penulis naskah mengajak kita mengamati repetisi kehidupan
membosankan milik Andrea: Terbangun oleh bunyi alarm yang sama, menyikat gigi,
tiba di kantor yang kosong, menonton Popeye
di televisi, membuat kopi dan camilan, memulai pekerjaan, lalu pulang setelah
fajar.
Pengulangan bertempo lambat yang
diterapkan Paul untuk mewakili monotonitas hidup Andrea kemungkinan bakal
melelahkan untuk sebagian besar penonton. Pilihan gaya tersebut mempunyai
maksud, meski pertanyaan “Perlukah diulang sebanyak itu?” sebenarnya patut
dilontarkan. Pun selaku alat bantu membangun suasana, Nikita Dompas (Cahaya dari Timur: Beta Maluku) membuat
musik elektronik untuk menyimbolkan betapa tokoh-tokohnya dikuasai benda
elektronik. Sayangnya, selain terdengar bagai royalty free music yang bertebaran di internet, penempatannya kerap
kurang tepat, sehingga di beberapa titik justru mendistraksi alih-alih
menyokong.
Tapi sebagai bahan observasi,
pemandangan di atas jadi menarik sewaktu lama-kelamaan, Andrea mulai tertarik
mengintip lewat jendela kantornya seiring munculnya kebosanan serta keraguan
atas tujuannya bekerja. Hampir sepanjang durasi tampil seorang diri, Dinda selalu punya cara agar kekosongan rutinitas Andrea tidak turut menciptakan adegan yang hampa.
Soal intip-mengintip, Leon (juga
nama mendiang ayah Paul Agusta) sudah melakukannya lebih dulu. Keanehan di mana
ruang kerja Andrea jadi satu-satunya jendela yang bercahaya memantik
inspirasinya. Leon mulai menulis tentang bayangan si wanita asing di jendela.
Ketika presentasi dunia Andrea sunyi nan sepi, Leon berbeda. Di cafe tempatnya
menulis, berlangsung lebih banyak dinamika berkat keberadaan manusia-manusia
lain, yang kebetulan, gemar berceloteh.
Tito si pemilik cafe merupakan
pengagum karya Leon, dan sewaktu sang penulis buntu, Tito senantiasa
melontarkan kata-kata penyemangat. Sebagai penulis, saya paham betul makna
senyum dan api semangat yang menyala lagi di mata Khiva Iskak begitu mendengar
dukungan Tito. Salah satu harta paling berharga bagi penulis memang ungkapan “cinta”
pembacanya. Bukan Tito saja yang meramaikan suasana, turut hadir Topan
(Tadelesh Ilham) si pelayan polos dan Niken (Djenar Maesa Ayu), pemilik bar yang
ceplas-ceplos dalam bicara.
Adegan cafe begitu hidup, bahkan
acap kali memancing tawa berkat kombinasi jajaran pemain yang di dunia nyata memang sudah lebih dari
saling mengenal. Paul membiarkan aktor-aktornya berimprovisasi (Menurut Paul,
hanya sekitar 30% dari keseluruhan pembicaraan di cafe yang bersumber dari
naskah). Joko dengan komentar-komentar bernada ajaib, Djenar lewat
ungkapan-ungkapan juju yang sesekali terdengar “nakal”, bukan saja meramaikan
malam Leon, pula filmnya. Diakhiri momen singkat namun manis, Daysleepers memberi payoff setimpal bagi kita yang sabar menanti terjalinnya sebuah
ikatan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Bakal tayang reguler di bioskop ga nih bang Rasyid?
I don't think so. Mainstream audience dikasih ini bakal banyak yang walk out atau ngorok 😅
Akan direlease bioskop kok. Thanks for your review :)
Glad to hear that, thanks for the movie too, Paul.
Posting Komentar