BAD BOYS FOR LIFE (2020)

4 komentar
Dirilis 17 tahun setelah film keduanya, Bad Boys for Life tidak berusaha merombak formula. Alurnya masih menganut pola klasik (kalau tidak mau disebut klise), pula menerapkan twist yang—biarpun tidak terduga—tergolong konyol ala film kelas B. Tapi sekali lagi, filmnya memang tak pernah berniat merevolusi. Ditangani duo sutradara Adil El Arbi dan Bilall Fallah yang juga ditunjuk mengarahkan Beverly Hills Cop 4, ini adalah bentuk modernisasi selaku penyempurnaan tanpa perlu merusak warisan yang ditinggalkan.

Semuanya masih seperti yang kita kenal. Mike Lowrey (Will Smith) masih si detektif playboy pembuat onar, sementara Marcus (Martin Lawrence) tetap detektif penakut yang selalu mengutarakan keinginan pensiun. Hanya saja kali ini ia serius. Setelah cucu pertamanya lahir, Marcus ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Walau sang partner berusaha membujuk, keputusannya sudah bulat. Sampai terjadi suatu insiden, dan bisa ditebak, Marcus bersedia kembali untuk “one last ride”.

Saya tak bisa mengungkap detailnya, tapi insiden tersebut berjasa melakukan dua aspek. Pertama, memberi suntikan emosi ke dalam persahabatan Marcus-Mike. Melalui dua film sebelumnya, kerekatan mereka sukses dibangun, namun baru kali ini hubungan itu benar-benar mempunyai hati. Bad Boys for Life sempat memisahkan keduanya, dan sewaktu kembali bersatu, reuni mereka terasa bermakna, apalagi setelah terjadinya insiden lain yang tak kalah mengejutkan. Reuni yang akan membuat penonton mendukung Marcus dan Mike menghabisi para penjahat.

Aspek nomor dua adalah mematenkan status pasangan ibu-anak keji, Isabel (Kate del Castillo) dan Armando (Jacob Scipio), sebagai ancaman besar. Kesan itu sudah mulai dibangun sejak menit-menit awal dalam sekuen keributan penjara, yang turut memperkenalkan wujud modernisasi macam apa yang dibawa El Arbi dan Fallah. Lebih banyak darah, sadisme, dan kekerasan eksplisit, yang selaras dengan sedikit sentuhan komedi hitamnya sekaligus membuat aksinya lebih berwarna, bukan berhenti pada ledakan bombastis semata. Kedua sutradara menguasai urusan timing, di mana beberapa momen brutal dapat memberi efek kejut.

Perihal aksi jarak dekat, El Arbi dan Fallah adalah jagonya, tetapi dalam skala set piece lebih besar, mereka (tentu saja) belum selihai Michael Bay, apalagi ditambah hadangan berupa keterbatasan biaya ($40 juta lebih rendah dari Bad Boys II). Kekurangan itu paling kentara saat Bad Boys for Life, serupa Bad Boys II, memperlihatkan penjahatnya melemparkan mobil ke arah protagonis kita di tengah kejar-kejaran, dengan hasil akhir yang terkesan lebih kerdil. Pun penyuntingan di beberapa adegan aksi bertempo tinggi kerap memunculkan disorientasi yang memusingkan (poin ini sesungguhnya juga sering jadi masalah Bay).

Tapi sekali lagi, penggemar lama franchise-nya bakal tetap terpuaskan dan takkan terasingkan. Naskah garapan Chris Bremner (akan menulis Bad Boys 4), Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 & 2), dan Joe Carnahan (The A-Team, The Grey) menyelipkan beberapa referensi terkait dua installment sebelumnya, sedangkan El Arbi dan Fallah tak lupa mengulangi low-angle shot berbalut gerak lambat ikonik franchise-nya.

Nostalgia serupa juga muncul melalui jajaran pemainnya. Joe Pantoliano masih menghibur sebagai Conrad Howard si Kapten pemarah yang gemar melempar komentar sarkas, dan tentunya duet pemeran utamanya memproduksi kesolidan chemistry yang tak sedikit pun luntur setelah 25 tahun. Smith dengan kharisma yang kali ini dibarengi kerapuhan, dan Lawrence mempertahankan sisi spesial Marcus yang menggelitik, namun mampu menjadi polisi yang kapabel tiap kali dibutuhkan.

Semakin spesial kala jajaran wajah lama tersebut ditemani nama-nama baru yang tak berusaha mencuri spotlight, tapi memperkaya dinamika. Paola Núñez sebagai Rita, mantan kekasih Mike sekaligus pemimpin Advanced Miami Metro Operations (AMMO); Charles Melton sebagai Rafe si pemuda sok jago; Alexander Ludwig sebagai Dorn si teknisi berbadan kekar; dan Vanessa Hudgens sebagai Kelly yang tangguh. Tatkala tokoh-tokoh beda masa itu bersatu dalam pengarahan bertenaga kedua sutradaranya, klimaks Bad Boys for Life pun jadi perwujudan sempurna sebuah modernisasi.

4 komentar :

Comment Page:
Ilham Ramadhan mengatakan...

bad boys bad boys,
whatcha gonna do, whatcha gonna do,
When they come for you.

bahkan dari awal film, nuansa khas film bad boys ini tetap dipertahankan. masih ada kolerasi dengan film sebelumnya yang bikin senang pas nonton (bagi yang ngikutin, pasti langsung paham).

agoesinema mengatakan...

Semoga film2 legend seperti Rush Hour dan Die Hard dibuat lagi sekuelnya

Anonim mengatakan...

Bang rasyid bikin ulasan tentang oscar 2020 dong

aan mengatakan...

Humornya masih kurang nendang.belom bisa ngalahin obrolan mereka di toko elekrtronik...🤣🤣