Tampilkan postingan dengan label Will Smith. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Will Smith. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KING RICHARD

Biopic inspiratif bertema from-zero-to-hero, kalimat bernada harapan yang kita tahu bakal terwujud ("They're gonna be great", "You're gonna be the greatest ever", dll.) karena alurnya diangkat dari kisah nyata, performa Oscar bait dari bintang ternama. King Richard adalah suguhan formulaik. 

Apakah itu kekurangan? Tentu bukan. Pertama, jika dieksekusi dengan baik, film formulaik punya kekuatannya sendiri (disebut "formula" karena racikan itu terbukti paten). Kedua, karya sutradara Reinaldo Marcus Green ini sejatinya tak seklise itu. Ada hal tricky yang berhasil diatasi tuturannya, terutama berkat kejelian Zach Baylin selaku penulis naskah.

Sesuai judulnya, King Richard menyoroti kehidupan Richard Williams (Will Smith), ayah sekaligus pelatih dua petenis tersohor, Venus Williams dan Serena Williams (masing-masing diperankan Saniyya Sidney dan Demi Singleton). Di sinilah bagian tricky-nya. Film ini mesti menyoroti peran Richard dalam kesuksesan karir Venus dan Serena, tanpa mengglorifikasi, sehingga terkesan mengerdilkan kehebatan dua puterinya tersebut. Dan King Richard berhasil.

Apa sebenarnya peran Richard? Dia menggembleng lewat latihan-latihan berat, mengajari dasar-dasar tenis, sembari aktif mempromosikan bakat Venus dan Serena kepada para pelatih. "Rencana". Itu yang selalu Richard tekankan. Dia punya rencana jangka panjang mendetail, dengan tujuan menjadikan kedua puterinya petenis nomor satu dunia di masa depan. 

Richard mengontrol segala jalur yang ditempuh, mulai dari teknik bermain sampai turnamen yang mesti diikuti. Dia tak gentar, bahkan di hadapan Rick Macci (Jon Bernthal), sosok kawakan yang selain melatih Venus dan Serena, juga berjasa memoles nama-nama besar seperti Jennifer Capriati dan Maria Sharapova. 

Terdengar seperti diktator? Ya, dan biarpun menekankan bahwa Richard adalah pemandu, bukan pemaksa layaknya banyak orang tua lain yang berambisi menjadikan anak mereka jawara tanpa memperhatikan kondisi mentalnya, King Richard tidak sepenuhnya menjusitifikasi perilaku sang protagonis. 

Fokus filmnya justru soal bagaimana Richard menemukan keseimbangan antara "pelatih hebat" dengan "ayah yang baik", kemudian menyadari kesalahan-kesalahannya. Dia dikenal kontroversial, seorang pemecah persepsi publik, dan demikianlah figurnya dipresentasikan. King Richard mengakui betapa protagonisnya dikuasai oleh male ego, lalu membawanya menuju proses mengatasi itu. 

Oracene Price (Aunjanue Ellis) selaku istri Richard, juga tak berlaku pasif. Pengaruhnya besar bagi keluarga. Ditegaskan pula bahwa alasan Oracene bertahan, meski harus menghadapi ketidaksempurnaan serta dosa-dosa Richard, bukanlah karena si suami, melainkan anak-anaknya. King Richard memang cerita seorang raja dunia tenis, namun sang raja bukan siapa-siapa, pula tak berdaya bila tanpa keluarga. 

Smith mereplikasi sosok Richard Williams dengan apik lewat performa yang kemungkinan besar bakal mengunci nominasi Oscar ketiganya. Tapi di antara penampilan showy Smith dan akting solid jajaran cast lain, sebagaimana peran Oracene di keluarga, Ellis ibarat tiang penyangga. Figur yang menopang serta menyatukan semuanya.

Narasi King Richard memang sempat berlubang kala melakukan lompatan waktu dari tahun 1991 ke 1994, di mana timbul transformasi ekstrim, saat Richard berubah dari "nobody", jadi figur yang ramai dibicarakan publik akibat perangainya. Transformasi ini terasa mendadak, sebab sebelumnya tak sedikitpun penonton dibawa mengamati "dunia luar", agar mendapat gambaran atas situasinya. 

Di luar kelemahan tersebut, King Richard bergulir solid. Durasi 145 menit miliknya bisa dimaklumi, karena memang ada cerita berisi proses panjang untuk disampaikan. Naskahnya mengandung kelokan-kelokan dengan beberapa kejutan, sedangkan pengarahan Green konsisten menjaga tempo penceritaan. Sekuen-sekuen pertandingan tenis pun dieksekusi secara memadai. Tidak menggunakan gaya atau estetika yang spesial, tidak sampai benar-benar membuat penonton menahan napas, namun tampak meyakinkan, tanpa penyuntingan berlebih guna memalsukan aksi bertukar pukulan. Solid, sama seperti keseluruhan filmnya, yakni film biografi yang (cenderung) formulaik, tetapi tepat sasaran.

(HBO Max)

BAD BOYS FOR LIFE (2020)

Dirilis 17 tahun setelah film keduanya, Bad Boys for Life tidak berusaha merombak formula. Alurnya masih menganut pola klasik (kalau tidak mau disebut klise), pula menerapkan twist yang—biarpun tidak terduga—tergolong konyol ala film kelas B. Tapi sekali lagi, filmnya memang tak pernah berniat merevolusi. Ditangani duo sutradara Adil El Arbi dan Bilall Fallah yang juga ditunjuk mengarahkan Beverly Hills Cop 4, ini adalah bentuk modernisasi selaku penyempurnaan tanpa perlu merusak warisan yang ditinggalkan.

Semuanya masih seperti yang kita kenal. Mike Lowrey (Will Smith) masih si detektif playboy pembuat onar, sementara Marcus (Martin Lawrence) tetap detektif penakut yang selalu mengutarakan keinginan pensiun. Hanya saja kali ini ia serius. Setelah cucu pertamanya lahir, Marcus ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Walau sang partner berusaha membujuk, keputusannya sudah bulat. Sampai terjadi suatu insiden, dan bisa ditebak, Marcus bersedia kembali untuk “one last ride”.

Saya tak bisa mengungkap detailnya, tapi insiden tersebut berjasa melakukan dua aspek. Pertama, memberi suntikan emosi ke dalam persahabatan Marcus-Mike. Melalui dua film sebelumnya, kerekatan mereka sukses dibangun, namun baru kali ini hubungan itu benar-benar mempunyai hati. Bad Boys for Life sempat memisahkan keduanya, dan sewaktu kembali bersatu, reuni mereka terasa bermakna, apalagi setelah terjadinya insiden lain yang tak kalah mengejutkan. Reuni yang akan membuat penonton mendukung Marcus dan Mike menghabisi para penjahat.

Aspek nomor dua adalah mematenkan status pasangan ibu-anak keji, Isabel (Kate del Castillo) dan Armando (Jacob Scipio), sebagai ancaman besar. Kesan itu sudah mulai dibangun sejak menit-menit awal dalam sekuen keributan penjara, yang turut memperkenalkan wujud modernisasi macam apa yang dibawa El Arbi dan Fallah. Lebih banyak darah, sadisme, dan kekerasan eksplisit, yang selaras dengan sedikit sentuhan komedi hitamnya sekaligus membuat aksinya lebih berwarna, bukan berhenti pada ledakan bombastis semata. Kedua sutradara menguasai urusan timing, di mana beberapa momen brutal dapat memberi efek kejut.

Perihal aksi jarak dekat, El Arbi dan Fallah adalah jagonya, tetapi dalam skala set piece lebih besar, mereka (tentu saja) belum selihai Michael Bay, apalagi ditambah hadangan berupa keterbatasan biaya ($40 juta lebih rendah dari Bad Boys II). Kekurangan itu paling kentara saat Bad Boys for Life, serupa Bad Boys II, memperlihatkan penjahatnya melemparkan mobil ke arah protagonis kita di tengah kejar-kejaran, dengan hasil akhir yang terkesan lebih kerdil. Pun penyuntingan di beberapa adegan aksi bertempo tinggi kerap memunculkan disorientasi yang memusingkan (poin ini sesungguhnya juga sering jadi masalah Bay).

Tapi sekali lagi, penggemar lama franchise-nya bakal tetap terpuaskan dan takkan terasingkan. Naskah garapan Chris Bremner (akan menulis Bad Boys 4), Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 & 2), dan Joe Carnahan (The A-Team, The Grey) menyelipkan beberapa referensi terkait dua installment sebelumnya, sedangkan El Arbi dan Fallah tak lupa mengulangi low-angle shot berbalut gerak lambat ikonik franchise-nya.

Nostalgia serupa juga muncul melalui jajaran pemainnya. Joe Pantoliano masih menghibur sebagai Conrad Howard si Kapten pemarah yang gemar melempar komentar sarkas, dan tentunya duet pemeran utamanya memproduksi kesolidan chemistry yang tak sedikit pun luntur setelah 25 tahun. Smith dengan kharisma yang kali ini dibarengi kerapuhan, dan Lawrence mempertahankan sisi spesial Marcus yang menggelitik, namun mampu menjadi polisi yang kapabel tiap kali dibutuhkan.

Semakin spesial kala jajaran wajah lama tersebut ditemani nama-nama baru yang tak berusaha mencuri spotlight, tapi memperkaya dinamika. Paola Núñez sebagai Rita, mantan kekasih Mike sekaligus pemimpin Advanced Miami Metro Operations (AMMO); Charles Melton sebagai Rafe si pemuda sok jago; Alexander Ludwig sebagai Dorn si teknisi berbadan kekar; dan Vanessa Hudgens sebagai Kelly yang tangguh. Tatkala tokoh-tokoh beda masa itu bersatu dalam pengarahan bertenaga kedua sutradaranya, klimaks Bad Boys for Life pun jadi perwujudan sempurna sebuah modernisasi.

SPIES IN DISGUISE (2019)

Spies in Disguise mengusung tema anti-kekerasan yang terlalu naif jika diterapkan di realita. Menurutnya, guna menumpas teroris, sebaiknya kita tidak menyakiti mereka. Tapi mengingat filmnya ditujukan bagi penonton usia muda, nilai berbunyi “jangan membalas kekerasan dengan kekerasan” memang perlu diajarkan. Sedangkan bagi kalangan dewasa, secara filmis, animasi yang menandai kembalinya Will Smith mengisi suara sejak Shark Tale 15 tahun lalu ini, di luar dugaan menawarkan lebih dari sekadar tontonan kekanak-kanakkan sebagaimana disiratkan trailer-nya.

Selepas sekuen animasi pembuka ala seri James Bond, film yang kisahnya bersifat adaptasi lepas dari film pendek Pigeon: Impossible (2009) ini memperkenalkan kita pada dua tokoh utamanya: Lance Sterling (Will Smith) si agen rahasia terbaik dan Walter Beckett (Tom Holland) si jenius yang kerap dianggap aneh. Kehebatan Lance menjadikannya begitu dipuja. Saat tiba di markas, orang-orang menyambutnya bak megabintang. Hingga dalam suatu misi, ia dijebak oleh  teroris bernama Killian (Ben Mendelsohn), kemudian dituduh membelot dan jadi buronan.

Jika Lance merupakan James Bond, maka Walter adalah Q yang bertugas mendesain peralatan-peralatan canggih. Tapi prinsip anti-kekerasan Walter, yang kerap melahirkan senjata aneh (ia mengganti peledak dengan pelontar glitter berisi endorphin), sehingga dipandang remeh juga dijauhi. Sikap tersebut bukan tanpa sebab. Ibu Walter yang berprofesi sebagai polisi tewas di tengah tugas kala ia masih kecil. Sekarang Walter muncul bersama penemuan yang mampu menghilangkan tubuh seseorang, dan itulah harapan Lance untuk menghentikan rencana Killian sekaligus membersihkan namanya.

Hanya saja temuan itu belum sempurna, dan alih-alih tak terlihat, tubuh Lance berubah jadi seekor merpati. Pengembangan dari premis “merpati dalam koper agen rahasia” milik film pendeknya ke arah “agen rahasia yang menjadi merpati” menjanjikan keunikan. Tantangan berikutnya tinggal sejauh mana naskahnya kreatif bereksplorasi. Setidaknya di konteks hiburan, duo penulis Brad Copeland dan Lloyd Taylor mampu memproduksi komedi yang efektif. Memanfaatkan karkateristik fisik merpati (mata kosong, tampang bodoh), layaknya ayam (ingat Heihei di Moana?), hewan satu ini terbukti ampuh sebagai amunisi humor absurd, yang menyuntikkan banyak warna di tengah perjuangan Lance beradaptasi melangsungkan misi dengan tubuh barunya.

Terkait alur, Spies in Disguise tidaklah spesial, tetap berpijak pada formula. Ada potensi misteri seputar “Benarkah Killian yang menjebak Lance? Bagaimana caranya?”, namun para penulis memilih mengesampingkannya. Keputusan itu sebenarnya dapat dipahami, karena jika tak dibarengi modifikasi, lalu memaksa menyimpan rahasia yang jawabannya bisa penonton raba sejak awal, hasilnya bakal mengecewakan. Sedangkan pesan selaku pondasi kisahnya disampaikan secara solid. Walter dan Killian sama-sama menyimpan alasan atas pilihan mereka, yang tertaut pada pemikiran “kekerasan menyebabkan kematian, kematian melahirkan dendam, dendam memicu kematian lain”. Penonton jadi bisa melihat dua kutub berlawanan mengenai proses menyikapi kekerasan, di mana Lance berada di tengah-tengah.

Jajaran pengisi suara merupakan kekuatan lain Spies in Disguise. Sesosok pria tampan, necis, berkarisma, penuh kepercayaan diri, idola banyak orang. Sulit dipastikan bukan, apakah saya sedang mendeskripsikan Will Smith atau Lance Sterling? Itulah alasan The Fresh Prince sempurna menyuarakan sang agen rahasia. Demikian pula jika saya menyebut “pemuda canggung banyak omong”. Tom Holland atau Walter Beckett? Ditambah kesan intimidatif yang dibawakan oleh Ben Mendelsohn, tampak betul ketepatan filmnya dalam menentukan pengisi suara.

Spies in Disguise sekadar animasi layak tonton sebelum klimaks tiba. Apakah perspektif Walter bisa menciptakan perdamaian dunia? Entahlah. Pastinya itu membuat sekuen aksi puncaknya jauh lebih menarik tatkala senjata-senjata tidak lazim miliknya menggantikan senapan konvensional dan granat. Ketimbang ledakan api bombastis, semburan asap warni-warni justru menghiasi layar. Pun di kursi penyutradaraan, duet Troy Quane-Nick Bruno tidak asal menjalin aksi bertempo cepat, tapi turut memperhatikan intensitas dan urgensi. Cukup menegangkan bagi penonton dewasa melihat nyawa ratusan orang terancam sementara para jagoan didesak sampai ke batas kemampuan mereka, namun tak sampai terlalu kelam apalagi menakutkan untuk anak sebab selipan humor masih setia menemani. Presisi yang tidak selalu ada di film animasi semua umur.

GEMINI MAN (2019)

Gemini Man membuat saya makin menghormati Ang Lee. Tidak banyak sutradara berstatus “auteur” menjajal blockbuster, gagal total, lalu kembali untuk kedua kali. Hulk 16 tahun lalu adalah bencana, kala Lee enggan mengalah pada hasrat membuat blockbuster kontemplatif ala arthouse. Dan di percobaan keduanya, Ang Lee berhasil. Bukan berarti ia mengorbankan ideologi. Justru ini bukti kematangan, ketika sineas mampu beradaptasi sesuai kebutuhan.

Film ini terjebak dalam development hell selama hampir 20 tahun, diawali proses di bawah naungan Walt Disney, namun berujung pembatalan akibat teknologi dianggap belum memadai. Teknologi tersebut diperlukan untuk memudakan wajah aktor, sebab di Gemini Man, ada dua Will Smith, di mana salah satunya merupakan versi sang aktor di usia 20an.

Sang aktor memerankan Henry Brogan, pembunuh bayaran yang dipekerjakan pemerintah untuk menghabisi nyawa para teroris berbahaya. Henry disebut sebagai pembunuh tanpa tanding. Bukan sebutan omong kosong, sebab ia sanggup menembak mati seseorang di dalam kereta yang sedang melacu dengan kecepatan maksimal. Tapi pilihan karir itu membuatnya kesepian, didera mimpi buruk, serta rasa bersalah telah merenggut 72 nyawa manusia. Henry memutuskan pensiun.

Tapi serupa protagonis film aksi lain, masa pensiun Henry takkan berlangsung mulus. Pemerintah mengirimkan seorang agen, Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) guna memata-matainya. Bahkan setelah Henry mengetahui rahasia di balik misi terakhirnya, pihak pemerintah mulai memburunya. Sampai Clay Varris (Clive Owen), kepala proyek GEMINI, mengutus kloning Henry yang berusia 30 tahun lebih muda, yang selama ini diam-diam ia rawat bak anak sendiri.

Naskahnya—ditulis pertama kali oleh Darren Lemke (Shrek Forever After, Goosebumps) sebelum ditulis ulang oleh banyak nama termasuk David Benioff (Troy, X-Men Origins: Wolverine) dan Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips, Overlord) , di mana ketiganya mendapatkan kredit penulisan—tampil sederhana, dibumbui drama soal kemelut batin melalui sederet obrolan antar tokoh, yang jadi sarana Ang Lee menerapkan nuansa kontemplatif khasnya.

Kali ini penempatannya tepat guna. Di tangan Ang Lee, obrolan di tengah film aksi yang biasanya sekadar obligasi, jadi mengandung bobot. Henry mengaku tak mampu menatap sosoknya di cermin, tapi ironisnya, dia malah bertatap muka dengan sosoknya sendiri secara nyata. Kalimat yang Henry lontarkan kepada versi mudanya di katakomba terdengar bak luapan katarsis. Kelemahan naskah yang juga gagal diperbaiki Ang Lee adalah soal humor, yang seperti ditulis kemudian divisualisasikan oleh orang-orang kaku. Dingin, garing. Bahkan Benedict Wong pun tak kuasa menyelamatkannya.

Walau versi HFR (High Frame Rate) urung dirilis di Indonesia, permainan visual bergaya Ang Lee dan sinematografer Dion Beebe (Chicago, Memoirs of a Geisha, Mary Poppins Returns) masih terasa, baik yang (agak) substansial seperti lanskap-lanskap cantik, hingga yang patut dipertanyakan (penggunaan fisheye beberapa detik untuk menangkap gerakan kereta). Setidaknya, kolaborasi mereka berhasil melahirkan barisan aksi seru.

Awalnya saya ragu. Perkelahian tangan kosong di paruh awal kala Gemini Man menerapkan teknik quick cuts layaknya suguhan laga medioker kebanyakan. Bahkan lebih buruk, akibat buruknya detail kontinuitas pada potongan-potongan singkat baku hantamnya, yang menciptakan disorientasi. Sampai tiba saatnya dua Will Smith beradu, dan sepeda motor pun disulap bukan saja sebagai sarana kebut-kebutan, pula senjata untuk menghajar seseorang. Klimaksnya pun sukses memaksimalkan konsep “double team”, melalui threesome memukau dibungkus pergerakan kamera dinamis, meski di beberapa titik, lemahnya CGI agak mengganggu.

Kualitas CGI Gemini Man memang inkonsisten, termasuk perihal wajah muda Will Smith, yang sepenuhnya hasil kreasi CGI, bukan teknologi de-aging sebagaimana mulai menjamur belakangan ini. Pencapaian terbaiknya adalah saat Junior (begitu versi muda Henry dipanggil) terlibat perdebatan dengan Clay. Akting emosional Will Smith mampu tersaji sepenuhnya, tanpa berkurang dampaknya akibat polesan digital. Tapi jelang film usai, saat Ang Lee memakai close-up di siang bolong, efeknya mencapai titik nadir. Wajah Junior bagai karakter kartun. Ejekan Junior mengenai wajah Henry jadi terdengar seperti self-mocking. Beruntung kekurangan itu dapat termaafkan, karena sebelumnya Gemini Man tampil memuaskan lewat banyak aksi yang memfasilitasi kharisma Smith, serta memberi kesempatan Mary Elizabeth Winstead agar tidak berakhir sebagai pemanis belaka.

ALADDIN (2019)

Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya, sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar memperjuangkan kebebasan sekaligus live action remake terlucu milik Disney.

Cerita soal kebebasan memang sudah menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi, kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.

Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut. Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya pada paruh awal.

Beberapa fase pengembangan dipotong dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap. Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas suruhan Jafar (Marwan Kenzari).

Guy Ritchie—yang gemar memamerkan gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen aksi Aladdin (juga merupakan daya tarik gimnya di PlayStation) ke media live action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.

Tapi selepas Aladdin bertemu Genie yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang menyulitkan live action mencapai level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum film dirilis, sukses menebar banyak tawa.

Tentu ia tidak seberwarna Robin Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi situasi cringey, tapi Smith punya cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu kelebihan live action yang sukar ditandingi animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.

Sedangkan Mena Massoud, sebagai sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.

Selaku adaptasi, naskah buatan Guy Ritchie bersama John August (Charlie’s Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan. Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.

Di satu titik, Jafar menyebut bahwa Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar. Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor musikal Speechless.

Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang lebih cocok terdengar dari film seperti High School Musical ketimbang dongeng macam Aladdin. Pengadeganannya pun tak kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie, termasuk lantunan ikonik A Whole new World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine

Mayoritas aspek yang awalnya dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding “saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan ekspresi lebih luas.

Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination from an exhausting nowadays reality.

STUDENT OF THE YEAR 2 (2019)

Saya menyukai Student of the Year (2012) walau tetap meyakini bahwa karya Karan Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi Kabhie Gham, My Name is Khan) tersebut menyasar target yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Sedangkan Student of the Year 2 tampil lebih sederhana, tanpa penggabungan narasi masa lalu-masa kini, pula mengesampingkan kisah persahabatan demi menampilkan romansa dan drama olahraga klise dibumbui sekuen aksi over-the-top. Dan itu bekerja dengan baik.

Pendekatan tersebut cukup menjustifikasi pemilihan Tiger Shroff sebagai aktor utama. Kapasitas aktingnya jauh di bawah Siddharth Malhotra atau Varun Dhawan, dengan ekspresi datar yang cuma sesekali digantikan senyum cringey. Tiger pun tampak terlalu tua untuk pantas disebut “student”. Tapi ia merupakan penari hebat sekaligus jagoan aksi mumpuni, yang sanggup melakukan banyak stunts rumit, suatu hal yang jadi salah satu senjata film ini selaku hiburan ringan.

Latarnya masih di kampus St. Teresa, pun Jeet (Sahil Anand) dan Dimpy (Manjot Singh) melakoni penampilan spesial sebagai duo komentator pertandingan Kabaddi, sedangkan Alia Bhatt muncul di nomor musikal sebelum kredit (The Hook Up Song), namun plotnya tak punya keterkaitan dengan film pertama. Bentuk kompetisi memperbutkan gelar “Student of the Year” pun diubah, dari ujian otak plus otot berlingkup internal menjadi acara olahraga antar kampus bernama Dignity Cup.

Serupa karakter peranan Varun Dhawan di film pertama, protagonis Student of the Year 2 bernama Rohan (Tiger Shroff), mahasiswa Pishorilal Chamandas, suatu universitas kelas bawah yang rutin mengisi posisi juru kunci pada Dignity Cup. Rohan ingin pindah ke St. Teresa yang prestisius, tapi bukan demi mengejar masa depan cerah, melainkan untuk pujaan hatinya, Mridula (Tara Sutaria). Meski bagi Rohan, rasanya Mridula adalah masa depan itu sendiri.

Berkat beasiswa olahraga, Rohan berhasil diterima, namun Mridula kini telah berbeda. Dia mengubah namanya menjadi Mia sebagai usaha membaur di antara para mahasiswa borjuis, pula ragu untuk melanjutkan hubungan bersama Rohan. Mengutip kalimatnya, “Daripada melihat dunia, Mia ingin dunia melihatnya”.

Bukan itu saja penghalang impian Rohan. Ada Manav (Aditya Seal), putera ketua komite universitas sekaligus peraih Student of the Year dua thaun terakhir dan adiknya, Shreya (Ananya Panday), pembuat onar yang langsung bertengkar dengan Rohan di hari pertama. Biarpun baru menjalani layar lebar, Ananya justru penampil terbaik film ini, melemparkan deretan olok-olok dari lidah tajamnya, yang alih-alih membuatnya mudah dibenci, malah ampuh meramaikan situasi dan memancing tawa. Saya berani bertaruh, serupa Alia Bhatt yang tampil perdana di Student of the Year, karir Ananya akan segera melesat.

Seiring waktu, Shreya terus mengganggu Rohan, sebaliknya, Manav membuka jalan pertemanan. Tapi kita tahu, dua bentuk hubungan di atas bakal berbalik, sebab seperti telah disebutkan, Story of the Year 2 memang klise. Tapi sungguh keklisean menyenangkan, sampai saya berharap kisahnya berakhir seusai prediksi. Alasannya, Rohan dan Shreya merupakan karakter (dan nantinya pasangan) likeable. Rohan jadi simbol perlawanan kalangan menengah ke bawah, sementara Shreya adalah gadis kesepian yang rindu kasih sayang.

Berlangsung selama 145 menit, naskah tulisan Arshad Sayed (Dasvidaniya, Chalo Dilli) menuturkan plot yang tak luar biasa, diisi elemen-elemen sederhana namun relatable, dari kisah cinta penuh perjuangan dan pengkhianatan, sampai underdog story formulaik. Kompleksitas urung ditemukan di permukaan, melainkan dalam perasaan tokoh-tokohnya. Film ini adalah soal menghadapi realita tatkala sesuatu (atau seseorang) yang kita kejar sekian lama mungkin saja takkan kita dapatkan, atau malah tidak layak diperjuangkan. Dan mudah bersimpati kepada Rohan, karena banyak dari kita pasti pernah merasakan kondisi demikian.

Kata “sederhana” layak pula disematkan di konsep turnamennya. Meski saya tetap mempertanyakan signifikansi disertakannya olahraga lain tatkala Kabaddi bagai satu-satunya cabang yang menentukan, karena Dignity Cup murni acara olahraga biasa,tidak ada lagi aturan-aturan problematik nan memusingkan milik pertama. Alhasil, lebih mudah membiarkan diri kita terhanyut dalam pertandingan demi pertandingan tanpa memusingkan lubang-lubang logika.

Student of the Year 2 menyimpan daya hibur tinggi berkat tenaga yang disuntikkan penyutradaraan Punit Malhotra (I Hate Luv Storys, Gori Tere Pyaar Mein). Termasuk di dalamnya yaitu sekuen tarian yang salah satunya memperlihatkan kemeriahan aneka set, dari panggung berhiaskan kilauan bohlam, hingga dinding berlukiskan rumus-rumus sains (dilengkapi cameo Will Smith).

Dan memanfaatkan talenta terbesar (atau satu-satunya?) Tiger, Student of the Year 2 mengandalkan lebih banyak sekuen aksi ketimbang pendahulunya. Ada beberapa perkelahian hard-hitting, tapi momen-momen terbaik dihadirkan pertandingan Kabaddi selaku klimaks film, yang melibatkan berbagai gerak akrobatik mengesankan. Saya dibuat terpukau (bahkan sebagian penonton berulang kali bertepuk tangan) setiap stunts rumit—yang tampak mudah berkat kemampuan fisik Tiger—sukses dilakukan. Jadi, lupakan kedangkalan ceritanya, cukup nikmati keseruan dan ke-cheesy-an crowd-pleaser ringan ini.