1917 (2019)

44 komentar
1917 punya adegan di mana kedua protagonis diperintahkan oleh atasan untuk menembakkan suar selepas melewati no man’s land. Sang atasan, yang telah dikuasai keputusasaan setelah melalui perang tanpa henti yang memakan banyak nyawa, ragu keduanya bakal berhasil. Keraguan tersebut terbantah dan suar pun dilepaskan. Di film lain, reaksi si atasan pasti diperlihatkan, mungkin dibarengi kalimat “Those son of bithces made it” atau semacamnya. Tapi di sini kita bahkan tidak tahu apakah si atasan melihat suar tersebut, sebab sepanjang durasi, kamera tak sekalipun meninggalkan karakter utamanya.

Dikemas dengan trik yang mengesankan seolah filmnya diambil memakai teknik single take, karya terbaru sutradara Sam Mendes (American Beauty, Skyfall, Spectre) ini memang lebih mengedepankan “experience” ketimbang penceritaan beralur konvensional. Tepatnya pengalaman dua prajurit Inggris di tengah medan baku tembak Perang Dunia I. Tujuannya adalah membuat penonton merasakan apa yang keduanya rasakan.

Kedua prajurit itu adalah Kopral Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Kopral Will Schofield (Geroge MacKay), yang diperintahkan Jenderal Erinmore (Colin Firth) mengirimkan pesan kepada Resimen Devonshire agar menghentikan serangan. Resimen beranggotakan 1.600 orang tersebut awalnya bersiap menyerbu pasukan Jerman yang ditengarai telah mundur dari garis depan. Tapi hasil pengintaian udara menunjukkan bahwa bukannya terpukul mundur, Jerman justru tengah memasang perangkap, memancing pasukan Inggris agar menyerbu. Tom Blake diutus mengemban misi karena dalam resimen itu tergabung pula Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakaknya.

Blake dan Schofield harus menembus tempat-tempat berbahaya di garis depan peperangan, dan kamera Roger Deakins (yang saya yakin akan kembali memenangkan Oscar) selalu mengiringi perjalanan mereka tanpa putus. Setidaknya terksesan demikian, karea jika teliti, anda dapat menemukan beberapa jahitan rapi untuk menyatukan potongan-potongan adegan. Tapi bahkan tanpa penyuntingan pun, hanya dalam sekali pengambilan dan satu kamera, Deakins bisa melakukan apa yang biasanya dilakukan lebih dari sekali.

Contohnya ketika Erinmore memberi pengarahan. Begitu mulus kameranya bergerak guna memindahkan fokus dari Blake dan Schofield ke arah sang Jenderal. Padahal normalnya, adegan seperti ini membutuhkan minimal tiga shot: dua over-the-shoulder shot (sudut pandang tiap karakter yang berinteraksi) plus satu master shot (menangkap semua karakter). Tentu ini mampu dicapai juga berkat penataan mise-en-scène Sam Mendes, yang nantinya mencapai puncak pencapaian pada pertempuran klimaks epic penuh detail kompleks tatkala ratusan tentara beradu di peperangan sebagai latar belakang.

Apakah ini bentuk pamer? Ya, tapi bukan cuma itu. Di balik pencapaian teknis luar biasanya, pilihan gaya ini menyimpan maksud tersendiri. Pertama, 1917 merupakan eksplorasi ruang, baik yang terlihat maupun tak terlihat, yang semuanya bermuara ke satu tujuan: pengalaman nyata. Pada ruang terlihat (tentunya dibarengi konsistensi luar biasa soal kontinuiti), penonton bisa tahu, di sebelah titik A terdapat apa, ada di mana lokasi B, dan seterusnya. Kita pun memahami medan perangnya terdiri atas apa saja, yang otomatis menyulut kekaguman terkait besarnya cakupan set yang dibangun.

Desain produksinya tidak main-main. Di tiap lokasi, bila diperhatikan dengan cermat, anda akan menyadari bahwa Sam Mendes bersama tim artistiknya menaruh perhatian hingga detail terkecil. Mayat bergelimpangan di film perang itu biasa. Menjadi luar biasa ketika mayat yang nyaris sepenuhnya terkubur dan cuma terlihat sebagian kerap ditemui. Sementara eksplorasi ruang tak terlihatnya berfungsi membangun ketegangan.

Penggunaan “single take  yang memposisikan penonton di ruang yang sama dengan karakternya, membuat kita hanya bisa melihat apa yang mereka lihat. Seperti mereka, kita tidak tahu apakah ada jebakan terpasang, apakah ada musuh bersembunyi, dan sebagainya. Tapi penonton dan karakternya sama-sama tahu, di luar sana ada ancaman menanti, memancing sense of impending doom. Kecemasan meningkat, kesan atmosferik menguat. Apalagi sewaktu Mendes beberapa kali menghilangkan musik termasuk ambient.

Walau demikian, ada kalanya musik gubahan Thomas Newman berperan besar. Contohnya saat filmnya mencapai Écoust-Saint-Mein, desa yang telah luluh lantah dibombardir pasukan Jerman. Mengiringi malam kelam yang diterangi suar-suar di langit, mendadak musiknya memperdengarkan orkestra. Mendes menjadikan malam mencekam itu bak opera megah yang memainkan pertunjukan bertemakan garis batas tipis antara hidup dan mati.

Sebagai dua manusia di tengah neraka, MacKay dan Chapman mengerahkan segala daya upaya, menekankan realisme dalam melakoni peran dua prajurit yang tersiksa fisik dan batinnya, sehingga penonton dapat merasakan hal serupa. Di luar mereka berdua, 1917 memberi bonus berupa deretan cameo nama-nama besar. Hanya saja jangan berharap nama-nama tersebut diberi porsi signifikan, atau anda bakal kecewa.

Di permukaan, naskah yang ditulis Mendes bersama Krysty Wilson-Cairns terkesan tipis, karena memang seperti telah disebutkan, 1917 lebih mengarah kepada pengalaman ketimbang penuturan. Satu-satunya kelemahan muncul di sini. Terkadang sebuah ketiadaan diseret terlalu lama, jauh lebih lama dari yang dibutuhkan agar penonton merasakan apa yang Mendes ingin kita rasakan. Filmnya pun sempat melelahkan, namun bukan berarti terkait cerita, tak ada yang coba disampaikan.

1917 menuturkan drama kemanusiaan berlatar peperangan tanpa secara gamblang menyatakan itu. Ketimbang tentang menghilangkan nyawa, ini adalah tentang menyelamatkan nyawa. Dan untuk melakukan itu, para prajurit dituntut berjuang total termasuk mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Ending-nya menegaskan itu. Apabila anda menaruh perhatian lebih, konklusinya takkan mengejutkan. Tapi kejutan bukan poin utamanya, melainkan bagaimana satu momen singkat di penghujung durasi itu seketika menjadikan perjuangan protagonisnya semakin bermakna. 

44 komentar :

Comment Page:
susan mengatakan...

Ini ni, film yg bisa memanjakan mata, telinga, dan rasa sekaligus

susan mengatakan...

Jadi mau revisi 20 film terbaik 2019 atau dimasukin ke film 2020 min?

Anonim mengatakan...

SAG udah keluar bg
Tinggal nunggu prediksi dari abg.
Hehee

Nouvaleka mengatakan...

Ini tayangnya kapan dan dimana ya? Di semarang gaada yg nayangin 😭😭😭

rahmadamazing mengatakan...

XXI bakal nayangin gak??
Penasaran versi IMAX nya kalo ada.

Cg* kursinya bikin pantat sakit soalnya.gakuat duduk lama2 kalo nonton di cg*

Unknown mengatakan...

Cuma tayang di cgv Dan cinepolis gan setau saya

Rasyidharry mengatakan...

Karena di Indonesia resmi masuk 2020 jadi tetep ikut 2020

Rasyidharry mengatakan...

Reguler besok Rabu di non-xxi

Anonim mengatakan...

10 tahun blog movfreak bikin QnA bang

Skull mengatakan...

Yahh kecewa bgt film keren kaya gini gaada format imax nya..kalo di cgv yang setara kaya imax itu apa namanya gan?

Luqman mengatakan...

Kapan mau ngereview The Lighthouse kang Rasyid?

Anonim mengatakan...

Bang rasyid bikin prediksi pemenang oscar 2020 dong

hilpans mengatakan...

Kirain bakalan bintang lima bung kyk parasite..kan sama sama sekaliber oscar

Rasyidharry mengatakan...

Ada starium & spherex di cgv, tapi sound mereka kurang oke dan layarnya lebih gelap

Rasyidharry mengatakan...

Menarik juga. Bisa tuh di ig/twitter

Rasyidharry mengatakan...

Nggak review karena filmnya nggak tayang di platform legal

Satria wibawa mengatakan...

Scene favorit pas si Mackay sampai di ecoust
Kayak panggung drama banget indah dan menegangkan

Arya mengatakan...

Mas kok tumben ya film kaya gini gaada di xxi...kenapa ya?

Gary Lucass mengatakan...

Berarti baNg rasyid lebih suka ini ya daripada Dunkirk, apakah filmnya lebih bombastis karena kan dunkirk katanya kurang mledak sebagai film perang tapi kalo terkait filmaking bagusan mana

Anonim mengatakan...

Dunkirk? Perang kok gak berdarah :v

Arul mengatakan...

Haha kan ceritanya hanya survival broh

Cesar mengatakan...

Teknik sinematografinya mirip yg dipake Lubezki di film Birdman, Bang?

Anonim mengatakan...

mas salam nggo bonaventura denk kipli nggih

Willy mengatakan...

Jadi yang dapet oscar untuk directing lebih ke sam mendes apa bong joon ho bang?

Rasyidharry mengatakan...

Faktor distributornya itu

Rasyidharry mengatakan...

Jauh lebih suka 1917. Pilihan teknisnya jauh lebih substansial dan tetep punya hati

Rasyidharry mengatakan...

Prinsip dasarnya sama, eksplorasi detail-detail yang agak beda

Rasyidharry mengatakan...

Hahaha wuasyem

Rasyidharry mengatakan...

Kemungkinan besar Mendes

Hugo mengatakan...

Bales dendamnya sam mendes, gara2 spectre yang agak kurang

Soleha Rahma Junia mengatakan...

Ngga' pernah tertarik nonton film perang, tapi buat 1917 salut sih bagus bangett terutama bangun atmosfernya 😭👍 Ga sia2 ke cgv di luar kota, ambil jam pertama tayang

Bong mengatakan...

Sayang Geroge MacKay ga masuk oscar

Mahfuzd Ahmady mengatakan...

Sial! Aku nangis 3 kali.

Pramiestha mengatakan...

Ada yg tau apa maksud ucapan Mark Strong ke Mackay waktu perpisahan dan MacKay mau nyebrang jembatan. Mark Strong bilang kalo mau nyampein pesan ke Benedict “harus ada saksinya” ???

Rasyidharry mengatakan...

Karena tanpa saksi, bisa aja instruksi itu nggak digubris. Some people just want the battle

Reh. mengatakan...

lain dari lain, menonton ini seperti merasakan gabungan dari Full Metal Jacket-Come and See-Hacksaw Ridge, i don't know what exactly is. Especially for the whole of scene on city, looks like familiar with FMJ. Overall, Mendes (bersama dengan kolega) sangat berhasil dalam mempresentasikannya.

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Sayang banget editor film ini gak masuk nominasi Oscar, padahal editingnya rapi, bahkan membiarkan adanya plot hole sehingga terlihat nyata.

Sam Mendes juga gak ragu ngasih sedikit komedi hitam di film ini.

Saya pernah nyari film-film apa saja yang bersetting perang dunia 1, tapi belum pernah seseru ini karena kebanyakan bagian perangnya hanya tempelan, sisanya drama flashback

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Adegan di reruntuhan kota jadi ingat Skyfall, aura tegangnya kental banget

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Saya pribadi lebih memilih "bukti" ketimbang "saksi", karna jika tidak ada surat, maka McKenzie tidak akan berubah pikiran.

Anonim mengatakan...

Jadi pengen pantatnya leutienant Blake. Montok parah . Ganteng juga . Pas di gendong sexy banget ahhh


Ilham Qodri mengatakan...

Plot hole bagian mana?

Ilham Qodri mengatakan...

1917 sangat pas dirilis saat ini ketika maniak jadi presiden AS

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Blake dan Schofield tidak membawa persediaan makanan, kecuali sepotong roti.
Supply yang diberikan hanya peta, senter dan granat. Tujuan awal mereka ke parit adalah berharap makanan.

Tapi ketika Schofield bertemu wanita Prancis, lihat yang dia bawa..

Rasyidharry mengatakan...

Bawa kok. Sebelum berangkat dikasih makanan kaleng