1917 (2019)
Rasyidharry
Januari 20, 2020
Colin Firth
,
Dean-Charles Chapman
,
George MacKay
,
Krysty Wilson-Cairns
,
REVIEW
,
Roger Deakins
,
Sam Mendes
,
Sangat Bagus
,
War
44 komentar
1917 punya adegan di mana kedua protagonis diperintahkan oleh
atasan untuk menembakkan suar selepas melewati no man’s land. Sang atasan, yang telah dikuasai keputusasaan
setelah melalui perang tanpa henti yang memakan banyak nyawa, ragu keduanya
bakal berhasil. Keraguan tersebut terbantah dan suar pun dilepaskan. Di film
lain, reaksi si atasan pasti diperlihatkan, mungkin dibarengi kalimat “Those son of bithces made it” atau
semacamnya. Tapi di sini kita bahkan tidak tahu apakah si atasan melihat suar tersebut,
sebab sepanjang durasi, kamera tak sekalipun meninggalkan karakter utamanya.
Dikemas dengan trik yang
mengesankan seolah filmnya diambil memakai teknik single take, karya terbaru sutradara Sam Mendes (American Beauty, Skyfall, Spectre) ini
memang lebih mengedepankan “experience”
ketimbang penceritaan beralur konvensional. Tepatnya pengalaman dua prajurit
Inggris di tengah medan baku tembak Perang Dunia I. Tujuannya adalah membuat
penonton merasakan apa yang keduanya rasakan.
Kedua prajurit itu adalah Kopral
Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Kopral Will Schofield (Geroge MacKay),
yang diperintahkan Jenderal Erinmore (Colin Firth) mengirimkan pesan kepada
Resimen Devonshire agar menghentikan serangan. Resimen beranggotakan 1.600
orang tersebut awalnya bersiap menyerbu pasukan Jerman yang ditengarai telah
mundur dari garis depan. Tapi hasil pengintaian udara menunjukkan bahwa
bukannya terpukul mundur, Jerman justru tengah memasang perangkap, memancing
pasukan Inggris agar menyerbu. Tom Blake diutus mengemban misi karena dalam
resimen itu tergabung pula Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakaknya.
Blake dan Schofield harus menembus
tempat-tempat berbahaya di garis depan peperangan, dan kamera Roger Deakins
(yang saya yakin akan kembali memenangkan Oscar) selalu mengiringi perjalanan
mereka tanpa putus. Setidaknya terksesan demikian, karea jika teliti, anda
dapat menemukan beberapa jahitan rapi untuk menyatukan potongan-potongan
adegan. Tapi bahkan tanpa penyuntingan pun, hanya dalam sekali pengambilan dan
satu kamera, Deakins bisa melakukan apa yang biasanya dilakukan lebih dari
sekali.
Contohnya ketika Erinmore memberi
pengarahan. Begitu mulus kameranya bergerak guna memindahkan fokus dari Blake
dan Schofield ke arah sang Jenderal. Padahal normalnya, adegan seperti ini
membutuhkan minimal tiga shot: dua over-the-shoulder shot (sudut pandang
tiap karakter yang berinteraksi) plus satu master
shot (menangkap semua karakter). Tentu ini mampu dicapai juga berkat
penataan mise-en-scรจne Sam Mendes,
yang nantinya mencapai puncak pencapaian pada pertempuran klimaks epic penuh detail kompleks tatkala
ratusan tentara beradu di peperangan sebagai latar belakang.
Apakah ini bentuk pamer? Ya, tapi
bukan cuma itu. Di balik pencapaian teknis luar biasanya, pilihan gaya ini
menyimpan maksud tersendiri. Pertama, 1917
merupakan eksplorasi ruang, baik yang terlihat maupun tak terlihat, yang
semuanya bermuara ke satu tujuan: pengalaman nyata. Pada ruang terlihat
(tentunya dibarengi konsistensi luar biasa soal kontinuiti), penonton bisa
tahu, di sebelah titik A terdapat apa, ada di mana lokasi B, dan seterusnya. Kita
pun memahami medan perangnya terdiri atas apa saja, yang otomatis menyulut
kekaguman terkait besarnya cakupan set yang dibangun.
Desain produksinya tidak main-main.
Di tiap lokasi, bila diperhatikan dengan cermat, anda akan menyadari bahwa Sam
Mendes bersama tim artistiknya menaruh perhatian hingga detail terkecil. Mayat
bergelimpangan di film perang itu biasa. Menjadi luar biasa ketika mayat yang
nyaris sepenuhnya terkubur dan cuma terlihat sebagian kerap ditemui. Sementara
eksplorasi ruang tak terlihatnya berfungsi membangun ketegangan.
Penggunaan “single take” yang
memposisikan penonton di ruang yang sama dengan karakternya, membuat kita hanya
bisa melihat apa yang mereka lihat. Seperti mereka, kita tidak tahu apakah ada
jebakan terpasang, apakah ada musuh bersembunyi, dan sebagainya. Tapi penonton
dan karakternya sama-sama tahu, di luar sana ada ancaman menanti, memancing sense of impending doom. Kecemasan meningkat,
kesan atmosferik menguat. Apalagi sewaktu Mendes beberapa kali menghilangkan
musik termasuk ambient.
Walau demikian, ada kalanya musik
gubahan Thomas Newman berperan besar. Contohnya saat filmnya mencapai รcoust-Saint-Mein,
desa yang telah luluh lantah dibombardir pasukan Jerman. Mengiringi malam kelam
yang diterangi suar-suar di langit, mendadak musiknya memperdengarkan orkestra.
Mendes menjadikan malam mencekam itu bak opera megah yang memainkan pertunjukan
bertemakan garis batas tipis antara hidup dan mati.
Sebagai dua manusia di tengah
neraka, MacKay dan Chapman mengerahkan segala daya upaya, menekankan realisme
dalam melakoni peran dua prajurit yang tersiksa fisik dan batinnya, sehingga
penonton dapat merasakan hal serupa. Di luar mereka berdua, 1917 memberi bonus berupa deretan cameo nama-nama besar. Hanya saja jangan
berharap nama-nama tersebut diberi porsi signifikan, atau anda bakal kecewa.
Di permukaan, naskah yang ditulis
Mendes bersama Krysty Wilson-Cairns terkesan tipis, karena memang seperti telah
disebutkan, 1917 lebih mengarah
kepada pengalaman ketimbang penuturan. Satu-satunya kelemahan muncul di sini.
Terkadang sebuah ketiadaan diseret terlalu lama, jauh lebih lama dari yang
dibutuhkan agar penonton merasakan apa yang Mendes ingin kita rasakan. Filmnya
pun sempat melelahkan, namun bukan berarti terkait cerita, tak ada yang coba
disampaikan.
1917 menuturkan drama kemanusiaan berlatar peperangan tanpa secara
gamblang menyatakan itu. Ketimbang tentang menghilangkan nyawa, ini adalah
tentang menyelamatkan nyawa. Dan untuk melakukan itu, para prajurit dituntut
berjuang total termasuk mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Ending-nya menegaskan itu. Apabila anda
menaruh perhatian lebih, konklusinya takkan mengejutkan. Tapi kejutan bukan
poin utamanya, melainkan bagaimana satu momen singkat di penghujung durasi itu
seketika menjadikan perjuangan protagonisnya semakin bermakna.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
44 komentar :
Comment Page:Ini ni, film yg bisa memanjakan mata, telinga, dan rasa sekaligus
Jadi mau revisi 20 film terbaik 2019 atau dimasukin ke film 2020 min?
SAG udah keluar bg
Tinggal nunggu prediksi dari abg.
Hehee
Ini tayangnya kapan dan dimana ya? Di semarang gaada yg nayangin ๐ญ๐ญ๐ญ
XXI bakal nayangin gak??
Penasaran versi IMAX nya kalo ada.
Cg* kursinya bikin pantat sakit soalnya.gakuat duduk lama2 kalo nonton di cg*
Cuma tayang di cgv Dan cinepolis gan setau saya
Karena di Indonesia resmi masuk 2020 jadi tetep ikut 2020
Reguler besok Rabu di non-xxi
10 tahun blog movfreak bikin QnA bang
Yahh kecewa bgt film keren kaya gini gaada format imax nya..kalo di cgv yang setara kaya imax itu apa namanya gan?
Kapan mau ngereview The Lighthouse kang Rasyid?
Bang rasyid bikin prediksi pemenang oscar 2020 dong
Kirain bakalan bintang lima bung kyk parasite..kan sama sama sekaliber oscar
Ada starium & spherex di cgv, tapi sound mereka kurang oke dan layarnya lebih gelap
Menarik juga. Bisa tuh di ig/twitter
Nggak review karena filmnya nggak tayang di platform legal
Scene favorit pas si Mackay sampai di ecoust
Kayak panggung drama banget indah dan menegangkan
Mas kok tumben ya film kaya gini gaada di xxi...kenapa ya?
Berarti baNg rasyid lebih suka ini ya daripada Dunkirk, apakah filmnya lebih bombastis karena kan dunkirk katanya kurang mledak sebagai film perang tapi kalo terkait filmaking bagusan mana
Dunkirk? Perang kok gak berdarah :v
Haha kan ceritanya hanya survival broh
Teknik sinematografinya mirip yg dipake Lubezki di film Birdman, Bang?
mas salam nggo bonaventura denk kipli nggih
Jadi yang dapet oscar untuk directing lebih ke sam mendes apa bong joon ho bang?
Faktor distributornya itu
Jauh lebih suka 1917. Pilihan teknisnya jauh lebih substansial dan tetep punya hati
Prinsip dasarnya sama, eksplorasi detail-detail yang agak beda
Hahaha wuasyem
Kemungkinan besar Mendes
Bales dendamnya sam mendes, gara2 spectre yang agak kurang
Ngga' pernah tertarik nonton film perang, tapi buat 1917 salut sih bagus bangett terutama bangun atmosfernya ๐ญ๐ Ga sia2 ke cgv di luar kota, ambil jam pertama tayang
Sayang Geroge MacKay ga masuk oscar
Sial! Aku nangis 3 kali.
Ada yg tau apa maksud ucapan Mark Strong ke Mackay waktu perpisahan dan MacKay mau nyebrang jembatan. Mark Strong bilang kalo mau nyampein pesan ke Benedict “harus ada saksinya” ???
Karena tanpa saksi, bisa aja instruksi itu nggak digubris. Some people just want the battle
lain dari lain, menonton ini seperti merasakan gabungan dari Full Metal Jacket-Come and See-Hacksaw Ridge, i don't know what exactly is. Especially for the whole of scene on city, looks like familiar with FMJ. Overall, Mendes (bersama dengan kolega) sangat berhasil dalam mempresentasikannya.
Sayang banget editor film ini gak masuk nominasi Oscar, padahal editingnya rapi, bahkan membiarkan adanya plot hole sehingga terlihat nyata.
Sam Mendes juga gak ragu ngasih sedikit komedi hitam di film ini.
Saya pernah nyari film-film apa saja yang bersetting perang dunia 1, tapi belum pernah seseru ini karena kebanyakan bagian perangnya hanya tempelan, sisanya drama flashback
Adegan di reruntuhan kota jadi ingat Skyfall, aura tegangnya kental banget
Saya pribadi lebih memilih "bukti" ketimbang "saksi", karna jika tidak ada surat, maka McKenzie tidak akan berubah pikiran.
Jadi pengen pantatnya leutienant Blake. Montok parah . Ganteng juga . Pas di gendong sexy banget ahhh
Plot hole bagian mana?
1917 sangat pas dirilis saat ini ketika maniak jadi presiden AS
Blake dan Schofield tidak membawa persediaan makanan, kecuali sepotong roti.
Supply yang diberikan hanya peta, senter dan granat. Tujuan awal mereka ke parit adalah berharap makanan.
Tapi ketika Schofield bertemu wanita Prancis, lihat yang dia bawa..
Bawa kok. Sebelum berangkat dikasih makanan kaleng
Posting Komentar