THE SPECIALS (2019)

6 komentar
Berangkat dari kisah nyata Stephane Benhamou dan Daoud Tatou yang mendedikasikan hidup mereka guna membantu anak-anak kurang beruntung yang ditelantarkan sistem, The Specials menuturkan kisah orang-orang spesial dengan layak, solid, walau tidak secara spesial. Diarahkan sekaligus ditulis oleh Olivier Nakache dan Éric Toledano, serupa karya terbesar mereka, The Intouchables (2011), The Specials juga tampil ringan, cukup informatif, meski kualitas naskah masih jadi permasalahan terbesar.

Tokoh sentralnya adalah Bruno (Vincent Cassel) yang menjalankan organisasi Voice of the Righteous, selaku suaka bagi para penderita autis yang ditolak oleh masyarakat. Bahkan sistem pun tak bersahabat pada mereka. Selama 15 tahun, Voice of the Righteous beroperasi tanpa sertifikat resmi. Pemegang otoritas mulai melakukan investigasi yang kemungkinan besar bakal berujung pembubaran organisasi itu. Kalau benar demikian, bagaimana nasib anak-anak asuh Bruno?

Padahal pihak rumah sakit, yang mengakui bahwa keharusan mereka mematuhi protokol acap kali menghalangi penderita autis menerima bantuan, sering merujuk pasien ke organisasi milik Bruno yang tak segan menerapkan metode “out of the box”. Pemerintah berusaha menegakkan peraturan tanpa menyediakan solusi alternatif. Berbeda dengan Bruno yang selalu berkata “I will find a solution”, bahkan tatkala sebenarnya ia sangat kerepotan.

The Specials menggambarkan betapa chaotic keseharian Bruno. Biarpun mendapat bantuan dari sahabatnya, Malik (Reda Kateb), yang mengelola organisasi bernama The Hatch yang berfungsi mendidik anak-anak jalanan, segalanya tidak terasa mudah bagi Bruno. Teleponnya selalu berbunyi, menghalanginya menikmati hal-hal personal termasuk berkencan. Kekacauan tersebut diwakili momen menggelitik saat seorang tetangga protes karena suara berisik dari apartemen tempat Voice of the Righteous merawat bocah-bocah autis.

Kekacauan yang sayangnya turut menular ke cara naskahnya bercerita. Kata “specials” di judulnya tidak hanya merujuk pada penderita autis, pula Bruno, Malik, dan remaja-remaja pengasuh lain, yang kebanyakan juga memiliki latar belakang kurang beruntung. The Specials berusaha menyoroti semua figur tersebut, yang malah menjadikan fokusnya berserakan. Tidak ada karakter yang benar-benar digali mendalam.

Dylan (Bryan Mialoundama) si anak didik Malik yang paling bermasalah sesungguhnya cukup menarik dalam prosesnya memahami autism sembari memperbaiki diri sendiri, tapi ia ibarat teman yang hanya kita temui di kantor. Tidak sedikit pun kita tahu kehidupan personalnya. Bruno otomatis mendapat porsi lebih, tapi nasibnya tidak jauh beda. Sebagaimana sang karakter yang tidak sempat memperhatikan urusan personal, penonton juga akan kesulitan membangun keintiman dengannya. Kelemahan film ini terkait fokus sebenarnya sudah tercium sejak adegan pembuka yang memperlihatkan seorang gadis penderita autis berlari histeris di tengah kota. Beberapa pekerja sosial berusaha mengejarnya. Setelahnya si gadis tak pernah tampak lagi.

Jajaran cast-nya bermain baik, khususnya mengingat fakta karakter mereka tidak diberikan pondasi memadai oleh naskahnya. Cassell merupakan protagonis yang mudah menarik simpati lewat kepedulian dan kasih sayangnya, lewat bagaimana ia berusaha memendam perasaan tertekan demi anak-anak asuh, lewat kecanggungannya di depan wanita. The Specials turut menampilkan aktor dengan autisme, yaitu Benjamin Lesieur sebagai Joseph, bocah yang menginspirasi Bruno mendirikan Voice of the Righteous. Nominasi Most Promising Actor di ajang César Awards Februari lalu memang pantas didapatkannya.

The Specials sempat membahas beberapa isu, sebutlah ketakutan publik kepada penderita autis, persepsi keliru tentang gangguan perkembangan itu (seorang ibu meyakini puteranya dikutuk), dan seperti telah disebut, perihal sistem yang kurang mendukung. Kebanyakan sebatas pernak-pernik sambil lalu, tapi bila dipandang selaku wadah informasi baru untuk penonton awam, film ini telah menjalankan fungsinya.  Dan serupa The Intouchables, Olivier Nakache dan Éric Toledano mampu menghangatkan hati penonton lewat beberapa montage yang dibarengi music garapan Grandbrothers, juga konklusi uplifting yang memberi ganjaran atas kesediaan kita menghabiskan waktu bersama tokoh-tokohnya selama hampir dua jam.


Available on KLIK FILM

6 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Bang, Mau nanya, kalau misalnya film tersebut Udah tersedia di legal, atau au mau tahu film itu tersedia di aplikasi apa, itu gimana ya Mas cara mudah nya. Kalau misalnya buka Facebook atau Instagram situs terkait, biasanya film-film baru aja yang dia informasikan bakal tayang. Kalau film lama, banyaknya infonya malah di situs ilegal.

Rasyidharry mengatakan...

Cara paling gampang sih cek akun medsos streamingnya. Beberapa rutin update. Kalau nggak ya rutin buka apps mereka.

Minul mengatakan...

Salam untuk bonaventura denk ya bang

Mukhlis mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Mukhlis mengatakan...

Lalu Mas, kalau film Hollywood kan selalu merilis blu-ray & DVD, itu saat rilis itu, langsung di beberapa negara, atau hanya di AS? Dan kpn DVD dan blu-ray nya rilis di Indonesia?

Rasyidharry mengatakan...

Tergantung distributornya. Sekarang distributor dvd/bluray di Indonesia mayoritas udah pada bangkrut, jadi kebanyakan kolektor ya pilih import. Banyak kok jasa penyalurnya