REVIEW - SOBAT AMBYAR

5 komentar

Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya, mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.

Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.

Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani kegalauan hati Jat.

Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang. Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen penunjang untuk melahirkan sosok likeable.

Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya. Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal yang ia lakukan setelah itu.  

Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta, termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat sedang sayang-sayangnya”.

Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.

Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko, yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.

Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati penonton luas).

Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan, komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The Godfather of the Broken Hearted.


Available on NETFLIX

5 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Sisca disebut juga dong bang, di debutnya tampil bagus di sini. Jauh daripada member sebelah.

Anonim mengatakan...

Sependapat mas, sebagai salah satu sobat ambyar saya merasa bahwa melalui film ini Penonton (khususnya para sobat ambyar) diajak untuk merefleksikan kembali akan makna dari lagu-lagu sang maestro Alm pakde Didi yang membawa kesan bahwa walaupun perjuangan cinta memang unik bak rasa permen nano-nano namun kita harus mampu untuk berjuang dan bangkit kembali serta berdamai dengan diri sendiri ketika menghadapi konflik dalam kehidupan bercinta.

Unknown mengatakan...

Memang bukan film yang bagus. Tapi film yang asyik untuk di nikmati

Tommy mengatakan...

Nasiiii Goreeennggg......

Anonim mengatakan...

Awalnya gak mau nonton karena kukira cringe dan gak suka lagu2 Didi kempot tapi karena dapat ulasan bagus di blog ini, jadi mau nonton