Tampilkan postingan dengan label Bagus Bramanti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagus Bramanti. Tampilkan semua postingan

REVIEW - DEAR NATHAN: THANK YOU SALMA

Rilis pada 2017, Dear Nathan memperoleh 700 ribu penonton. Setahun berselang, Hello Salma selaku sekuel disaksikan oleh 840 ribu orang. Pun peran Nathan melambungkan nama Jefri Nichol sebagai salah satu aktor muda paling bersinar. Menyebutnya "underrated" jelas kurang pas, tapi secara kualitas, nyatanya adaptasi novel karya Erisca Febriani ini memang belum mendapat pengakuan yang sesuai.

Coba sebutkan trilogi film Indonesia yang kualitasnya konsisten. Laskar Pelangi dan Jelangkung terjun bebas di installment ketiga, sementara kalau Kuntilanak yang muncul di kepala anda, percayalah itu lebih karena faktor nostalgia. Sehingga Thank You Salma merupakan produk langka. Sebuah penutup kuat nan segar, yang memantapkan status Dear Nathan sebagai salah satu trilogi terbaik negeri ini.

Kini Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) adalah mahasiswa. Salma aktif menulis puisi, percaya bahwa dunia dapat berubah melalui gagasan-gagasan modern media digital, sebaliknya Nathan, yang aktif demo bersama kelompok himpunan mahasiswa, menganggap aktivisme sebaiknya dilakukan langsung di jalan. Jurang perbedaan tersebut mulai memunculkan keraguan akan masa depan hubungan mereka.

Serupa dua film pertama, naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy masih tampil sederhana tetapi kuat dalam presentasi romansanya. Pasca kerusuhan di sebuah demo, Salma meminta Nathan berhenti. Perspektif Salma adalah, semestinya Nathan lebih mementingkan orang-orang terdekat yang memedulikan keselamatannya. Sedangkan Nathan tetap kukuh bahwa membela kaum tertindas melalui demonstrasi merupakan keharusan. 

Soal siapa benar atau salah itu relatif. Tergantung pada kacamata mana yang dipakai. Terpenting, filmnya memastikan bahwa dua sudut pandang berlawanan itu masuk akal, serta didasari cinta masing-masing. Gesekan ini makin rumit lewat kehadiran Afkar (Ardhito Pramono), musisi yang menyembunyikan identitasnya memakai nama panggung Gema Senja. Salma mengidolakan Gema Sanja, dan keduanya bertemu di kelompok mahasiswa pecinta puisi yang diketuai Afkar. 

Sama seperti Salma, Afkar meyakini perubahan bisa dibawa oleh gagasan dalam karya seni, alih-alih melalui demonstrasi. Thank You Salma punya romantika di fase yang tricky. Bukan lagi remaja SMA yang terpikat rayuan gombal atau (cuma) fisik, bukan pula cerita cinta dewasa yang penuh lika-liku kompleks. Karakternya berada di usia dewasa awal. Usia pencarian jati diri yang sesungguhnya, tatkala ideologi terbentuk dan dipuja, sehingga individu mencari "teman perjalanan" berdasarkan itu. Apa yang film ini hadirkan adalah proses pendewasaan, guna mencari titik tengah di antara dua ideologi, yang walau berbeda, namun menyimpan satu tujuan. 

Tapi yang membuat Thank You Salma terasa segar (sekaligus ambisius, karena menggiring konklusi sebuah trilogi keluar dari pakem romansa) adalah selipan isu tentang pelecehan seksual di latar kampus. Korbannya Zanna (Indah Permatasari dalam satu lagi performa emosional), teman sekelas Nathan. Pelakunya Rio (Sani Fahreza), rekan Nathan di himpunan mahasiswa. Dibantu Rebecca (Susan Sameh), Zanna memperjuangkan keadilan, meski ditentang banyak pihak, termasuk kampus yang justru membela si pelaku. 

Identitas pelaku adalah alasan urgensi isu milik Thank You Salma. Aktivis, berasal dari keluarga terpandang, pula berprestasi di kampus. Fenomena serupa belakangan makin marak, ketika aktivisme jadi kedok predator seksual menyembunyikan ketidakmampuan mengontrol kelamin busuk mereka. Apa yang terjadi saat si aktivis mesum hendak diperkarakan? Seperti respon teman-teman "seperjuangan" Nathan, terucaplah "Jangan merusak pergerakan".

Beberapa kalimat seputar pelecehan seksualnya acap kali terdengar preachy, terutama saat Rebecca "menceramahi" Nathan tentang cara menyikapi pengakuan para penyintas. Tapi itu wajar terjadi, karena masih luar biasa tololnya laki-laki Indonesia menyikapi isu tersebut. Melihat situasi sekarang, penyampaian secara lebih halus dan subtil takkan berdampak. Sudah sepantasnya edukasi itu diteriakkan dengan gamblang tepat di depan muka orang-orang. 

Menjelang babak akhir, penceritaannya memang agak goyah. Bagaimana Salma ditarik memasuki lingkup konflik Zanna tampak canggung, baik dalam penulisan maupun pengadeganan Kuntz Agus selaku sutradara. Begitu juga resolusi percintaan Nathan-Salma, yang penempatannya kurang tepat, sehingga terkesan "mencuri panggung" dari isu pelecehan seksualnya. 

Tapi saya mengapresiasi penggambaran karakter Nathan. Tentu pada akhirnya ia jadi figur pahlawan (a dependable and likeable one thanks to Jefri's usual charisma), namun di awal, ia gagal memahami penyintas. "Kalau Zanna jujur, kenapa dia nggak langsung lapor?", tanya Nathan. Bedanya, jika banyak masyarakat negeri ini menolak paham, Nathan mau belajar. Karena Nathan tahu cara menjadi manusia. Kita pun seharusnya demikian. 

REVIEW - SOBAT AMBYAR

Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya, mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.

Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.

Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani kegalauan hati Jat.

Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang. Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen penunjang untuk melahirkan sosok likeable.

Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya. Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal yang ia lakukan setelah itu.  

Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta, termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat sedang sayang-sayangnya”.

Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.

Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko, yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.

Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati penonton luas).

Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan, komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The Godfather of the Broken Hearted.


Available on NETFLIX

REVIEW - BENYAMIN BIANG KEROK 2

Terkait Benyamin Biang Kerok (2018), saya termasuk minoritas. Saya tidak menentang, tidak membenci, meski harus diakui, hasilnya jauh dari kata “bagus”. Sangat jauh. Setidaknya ada visi yang jelas, walau apakah visi tersebut cocok diterapkan, patut dipertanyakan. Direncanakan sebagai trilogi, setelah film pertama mendapat respon cenderung negatif, baik perihal ulasan, jumlah penonton (730 ribu tidak sedikit, namun jelas bukan angka yang diharapkan), belum lagi perseteruan hak cipta, kabar perilisan film kedua tak kunjung jelas, sebelum akhirnya tayang di Disney+ Hotstar.

Berbeda dengan pendahulunya, Benyamin Biang Kerok 2 bak produk asal jadi, tanpa arah, yang buru-buru diselesaikan guna mengejar tanggal tayang di streaming platform. Selepas rekap beberapa menit yang tidak banyak membantu akibat kisah film pertamanya kurang meninggalkan kesan, protagonis kita, Pengki (Reza Rahadian), berkata pada penonton, jika petualangannya melawan sindikat mafia pimpinan Said (Qomar) demi menyelamatkan sang pujaan hati, Aida (Delia Husein), bakal lebih seru dari film-film Amerika. Berarti, Hanung bersama trio penulis naskahnya, Bagus Bramanti, Senoaji Julius, dan Hilman Mutasi, masih berniat membuat blockbuster mahal, sarat aksi berteknologi tinggi, juga bertabur CGI.

Tapi itu tidak terlihat. Aksi bisa dihitung jari, sementara CGI, selain kuantitasnya menurun drastis, begitu pula kualitasnya. Ada satu momen yang berpotensi melahirkan hiburan berupa pertarungan absurd, di mana Sabeni (Rano Karno), ayah Pengki, memancarkan laser untuk menghajar habis anak buah Hengki (Hamka Siregar) yang berniat membunuh Pengki, disusul tembakan gelombang dari gitar elektrik Nurlela (Lydia Kandou). Tapi efek visualnya setengah (atau malah seperempat?) matang, yang diperparah oleh kecanggungan pengadeganan Hanung.

Mau dibawa ke mana film ini? Seberapa buru-buru penyelesaiannya? Jangankan pasca-produksi, saya pun mempertanyakan, apakah proses produksi, termasuk pick-up, benar-benar sudah usai jauh-jauh hari? Alurnya sendiri sudah dilukai oleh keputusan memecah cerita. Terasa betul kisah dimulai dari tengah, sehingga tanpa struktur penceritaan layak. Belum lagi, perpindahan antar adegan tidak dijembatani secara mulus, seolah tidak ada stok transisi yang cukup.

Misalnya sewaktu Pengki, Somad (Adjis Doaibu), dan Achie (Aci Resti) hendak pergi ke hutan di Kalimantan menggunakan helikopter, untuk memecahkan misteri harta karun Soekarno, yang diduga jadi incaran utama para mafia. Sayang, helikopter kepunyaan Nyak Mami (Meriam Bellina) tiba-tiba mogok. Lalu Achie berkata, bahwa dia tahu harus berbuat apa. Sejurus kemudian, kita melihat CGI shot yang menampilkan sebuah pesawat di angkasa. Mendadak mereka telah tiba di tujuan. Pesawat siapa itu? Mengapa efek visualnya tampak amat mentah? Bagaimana pula Hengki beserta anak buahnya bisa tahu persis keberadaan ketiganya di tengah hutan keramat?

Paling tidak saya menikmati penampilan para pelakon senior, khususnya Rano Karno dan Lydia Kandou, yang berusaha sekuat tenaga memaksimalkan porsi masing-masing. Reza, bermodalkan kejenakaan gestur serta permainan logat dan warna suaranya pun masih nyaman disaksikan. Satu yang benar-benar mengganggu, terlebih di third act, hanya Aci Resi dengan gerutuan dan rengekan menyebalkan yang tak kunjung berakhir.

Artinya jajaran cast berhasil menyelamatkan film ini bukan? Kata “menyelamatkan” rasanya berlebihan. Paruh akhirnya membuat Benyamin Biang Kerok 2 tidak terselamatkan. Antiklimaks, cuma menampilkan sekelumit aksi singkat berisi serbuan beruang dengan CGI menyedihkan, nomor musikal cringey nan murahan diiringi lagu hip hop, pula konklusi dadakan yang menyisakan banyak subplot tanpa resolusi.

Satu hal paling fatal: rambut Pengki berubah! Itu bukan rambut Pengki, tapi rambut Reza. Pengki beralasan, rambutnya dipotong oleh suku pedalaman. Saya curiga, konklusinya adalah pick-up yang diambil jauh setelah produksi selesai, besar kemungkinan untuk menghapus jembatan menuju film ketiga, yang konon merupakan adaptasi Tarsan Kota (1974). Syukurlah bila memang demikian. Cukup. Berhenti sampai di sini.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

SENIOR (2019)

Satu lagi romansa SMA adaptasi Wattpad, dan sekali lagi saya merasa semakin beranjak tua, tidak lagi “sedrama” tokoh-tokohnya, yang memandang pengunduran diri ketua MOS saat acara itu hamper berakhir sebagai peristiwa dramatis yang patut ditangisi. Tapi memang begini skena kisah remaja kita. Senior, yang mengadaptasi kisah berjudul sama karya Kata Kokoh, berpeluang memvariasikan problematikanya, hanya untuk kembali lagi bermain aman sesuai “tradisi”.

Aluna (Rebecca Klopper), bersama sahabat-sahabatnya yang menamakan diri geng Barudak Swag, baru saja memulai kehidupan mereka di SMA. Adegan pembukanya memperkenalkan satu per satu anggota geng beserta ciri masing-masing, seolah bakal memberi tiap karakteristik itu proporsi signifikan, hanya untuk kemudian meninggalkannya di luar gerbang sekolah. Siapa menjadi siapa dan seperti apa, sulit mengingatnya, bahkan sebelum film usai.

Selama MOS, sudah tentu Aluna mesti berurusan dengan para senior, khususnya Nakula (Jerome Kurnia) ketua panitia yang dikenal tegas, walau ia sendiri mengusulkan program orientasi yang tak menerapkan kekerasan fisik. Serupa urusan karakterisasi di atas, naskah garapan Bagus Bramanti (Kartini, Dear Nathan, Yowis Ben) berpotensi membahas isi penting terkait kekerasan dalam ospek, tapi memilih menjadikannya pernak-pernik sambil lalu belaka.

Aluna kerap jadi bulan-bulanan Nakula, membuatnya kesal pada si senior. Sial bagi Aluna, ia mesti tinggal seatap bersama Nakula selama beberapa hari. Alasannya, ibu Nakula (Karina Suwandi) harus terbang ke Sevilla bersama ibu Aluna (Aida Nurmala), yang rupanya adalah pengacaranya, guna menyelesaikan urusan darurat yang dirahasiakan. Bisa ditebak, berikutnya adalah proses benci jadi cinta, sewaktu Aluna menyadari bahwa Nakula tak seburuk perkiraannya.

Masalahnya, Barudak Swag membenci Nakula. Apalagi para cowok, yang mengancam cewek-cewek, termasuk Aluna, untuk mengeluarkan dari geng siapa saja yang menyukai Nakula. Konflik berlebihan begini wajar terjadi di individu usia remaja awal. Tapi seiring berjalannya durasi, sikap mereka makin keterlaluan, hingga menyentuh ranah toxic friendship. Barudak Swag membenci Nakula yang dianggap semena-mena, namun mereka berlaku serupa.

Ketika romansa SMA lain cenderung mengagungkan persahabatan, Senior bisa saja mengajak penonton menatap realita, bahwa terkadang, orang-orang mengatasnamakan pertemanan sebagai kedok egoisme. Walau sempat menyenggolnya lewat keluhan Nakula pada Aluna, naskahnya tidak cukup berani menyampaikan itu secara lantang, lalu memilih jalur aman di konklusi. Tapi bukankah itu memang bagian novel? Kalau ada pernyataan demikian, mari kita kembali pada teks yang ditampilkan sebelum film mulai, bahwa “Pasti ada perbedaan dari novel. Karena itu film adaptasi dibuat. Kalau sama, untuk apa diadaptasi?”. Jadi untuk apa adaptasi ini dibuat?

Di luar itu, sejatinya Senior bergulir cukup mulus. Indra Gunawan (dwilogi Dear Nathan) merupakan sutradara yang sekilas tidak menonjol karena urung menerapkan gaya-gaya unik, tapi mampu bercerita dengan rapi, pun jeli membungkus momen dramatis supaya tampil natural. Penampilan dua pemain utama turut menyokong penuturan romansanya. Jerome dan Rebecca adalah kombinasi yang pas. Ketika Jerome tampil kalem, melakoni peran remaja gentle tanpa harus terlihat kaku, Rebecca sebaliknya, bertenaga, cerah, ceria, pun sesekali berjasa memancing tawa geli.

Kelancaran bertutur itu sayangnya gagal dipertahankan sampai babak ketiga, ketika semua bergerak terburu-buru, seolah naskahnya kerepotan merangkum isi novel yang masih banyak tersisa dengan sisa durasi tak seberapa. Mendadak Nakula menyatakan cinta, mendadak konflik Barudak Swag mencapai puncak akibat suatu kebetulan, mendadak tercipta perdamaian setelah Nakula, di tengah kecemasannya mencari telepon genggam yang hilang, masih sempat membaca surat yang tersimpan di jaketnya, sebelum kisahnya ditutup lewat keputusan ekstrim salah satu protagonist, yang tiba-tiba berubah sikap.

Mungkin tetap bakal keluar pernyataan, “Tapi ini kan romansa SMA, wajar punya kekurangan-kekurangan di atas”. Tidak sepenuhnya keliru. Masalahnya, kita sudah mendengar pemakluman itu selama bertahun-tahun. Mau sampai kapan terus begini? Mau sampai kapan remaja kita terus dibiarkan terbuai oleh janji manis palsu sebuah toxic friendship?

YOWIS BEN 2 (2019)

Sebuah band merantau dari kampung halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak, karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita sedari nol.

Tapi apakah anda mengharapkan olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua, pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya diri.

Alkisah, setelah lulus SMA, para personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak) ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.

Lalu ada Yayan (Tutus Thomson), yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya (Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well, he’s just there.

Berangkat dari beberapa kegundahan itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer, karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim (Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.

Sesampainya di Bandung, semangat keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.

Seperti beberapa komedi yang juga ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu), jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi oleh third act yang menyelesaikan konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.

Walau menyoroti perjalanan sebuah band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain), melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya cukup berhasil menyampaikan pesan.

Pesan baik tersebut (dan elemen cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi, karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area drama, karakter yang sama mendadak bisa  bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang bepotensi membuat Yowis Ben 2 terdengar preachy bagi sebagian penonton.

Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.

LOVE REBORN: KOMIK, MUSIK & KISAH MASA LALU (2018)

Banyak film percintaan remaja kita menyamakan romantisme dengan kalimat puitis, momen cantik nan dramatis, maupun gabungan keduanya. Sebagaimana celetukan tokoh utama film ini, “kayak film-film Michelle Ziudith”. Semua soal momen dan buaian verbal maha dahsyat, tapi jarang yang mempedulikan satu unsur penting, yakni “kebersamaan”. Dalam Love Reborn: Komik, Musik & Kisah Masa Lalu, dua tokoh utama kerap, bahkan nyaris selalu menghabiskan waktu bersama, di mana tercipta interaksi yang awalnya terjadi di tatanan pikir (adu ideologi, pertukaran pendapat), baru kemudian lanjut ke hati. Pun agar peduli akan percintaannya, penonton mesti sering dibawa menyaksikan dinamika tersebut. Love Reborn, meski penuh kelemahan, memiliki elemen vital itu.

Mengingat menghidupkan lagi film (dan sinetron) lawas dengan embel-embel “Reborn” di judul sedang tren, wajar kalau anda sempat mengira film ini merupakan lanjutan atau remake dari Love (2008), yang juga remake film berjudul sama asal Malaysia. Tapi bukan. Kata “Reborn” di sini mewakili proses karakternya menemukan lagi rasa cinta, yang seperti tampak pada sub-judul, erait kaitannya dengan kisah masa lalu. Namanya Kirei (Nadya Arina), komikus muda bertalenta yang apatis terhadap cinta setelah mendapati ayahnya meninggalkan sang ibu (Ira Wibowo). Bagi Kirei, cinta sebatas soal “siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan”. Bahkan saat pria misterius bernama Wijaya (Donny Damara) mulai rutin datang, Kirei merasa takut andai sang ibu jatuh cinta lagi. Sebegitu buruk rupa cinta di matanya.
Wijaya rupanya adalah ayah Bagus (Ardit Erwanda), vokalis “Keras Kepala Band” yang memusuhi Kirei serta komunitas komiknya (atau cosplay?) di kampus. Selain Bagus, band ini terdiri dari Rindu (Rani Ramadhany), Jefry (Indra jegel), dan Sobirin (Jui Purwoto). Mereka membawakan lagu rock asyik berjudul “Freak” yang menyindir kegemaran Kira dan kawan-kawan kepada kultur populer Jepang dan mengesampingkan budaya lokal. Aneh sebenarnya, mengingat rock ‘n roll yang mereka anut pun bukan asli Indonesia, namun setidaknya personel “Keras Kepala Band” berjasa menghadirkan tawa. Jefry si playboy bertampang pas-pasan, Sobirin si anak mama, dan Rindu yang bak preman. Jika biasanya laki-laki berebut untuk berduaan dengan wanita cantik, di sini sebaliknya, karena mereka semua takut pada Rindu. Situasi yang lucu.
Kirei dan Bagus sepakat mengesampingkan perbedaan mereka, lalu bersama-sama menyelidiki ada hubungan apa antara orang tua keduanya. Berbagai tempat, bahkan sampai daerah pinggiran Bogor didatangi berdua, kemudian seperti bisa diduga, perlahan timbul asmara. Cinta itu terlahir kembali. Walau segala aral melintang dapat dihindari apabila mereka langsung menemui Wijaya di hotel yang selalu ia kunjungi, saya menikmati cara naskah garapan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini) dan Gea Rexy (Dear Nathan, Yowis Ben) menyusun perjalanan berbasis napak tilas romansa masa lalu yang diisi oleh beragam landmark. Ya, semua romansa indah memang harus memiliki berbagai landmark.
Dari elemen estetika, sayangnya komik tak dipakai mempercantik tata visual sebagaimana musik kurang dimanfaatkan guna membangun emosi. Akad milik Payung Teduh membuat konklusinya manis, tapi itu lebih karena kekuatannya sebagai lagu yang berdiri sendiri ketimbang kejelian sutradara Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance) mengawinkan bahasa visual dengan audio. Tambahan kreativitas—yang lebih dari sekedar mengumpulkan para cosplayer dalam pengadeganan canggung—bakal amat berguna bagi Love Reborn. Komik, musik, dan kisah masa lalu. Ada usaha menjadikan ketiganya terikat, walau akhirnya ikatan itu cuma berakhir di permukaan, alih-alih satu kesatuan yang saling mengisi tanpa bisa dipisahkan.
Setidaknya alasan Kirei dan Bagus jatuh cinta bisa diterima nalar dan hati. Kita menghabiskan cukup waktu bersama mereka, biarpun (lagi-lagi) pengadeganan canggung Jay Sukmo kerap melucuti romantisme. Ardit Erwanda masih kewalahan saat melakoni momen emosional. Belum lagi gabungan artikulasi berantakan plus sound mixing buruk membuat kalimat-kalimat dari mulutnya sulit didengar. Ditunjang penokohan yang juga lemah, karakter Bagus yang sering meletup-letup jadi kurang menarik simpati. Lain cerita dengan Nadya Arina pertengahan tahun nanti juga bakal tampil di Kafir. Cantik, jago mengolah emosi di takaran yang tepat, juga tak mati gaya ketika dituntut bicara tanpa kata, pemilihan arah karir yang sesuai berpotensi menjadikan gadis 20 tahun ini bintang di industri perfilman kita kelak.

YOWIS BEN (2018)


Saya—dan mungkin banyak dari kalian—pernah merasa jadi manusia paling kreatif ketika mencetuskan nama-nama nyeleneh seperti “Tambal Band”, “Elek Yo Band”, “KepriBand”, dan sebagainya untuk nama band, tanpa menyadari ribuan orang lain di seluruh penjuru Indonesia menyimpan ide serupa. Dalam prosesnya, dengan tujuan utama: a) Mengejar mimpi bermusik, dan b) Memikat hati wanita, studio-studio pun dijajah, panggung demi panggung dijamah. Sampai tujuan kedua terpenuhi dan salah seorang anggota membawa pacar barunya ke latihan selaku ajang pamer, di situ awal perpecahan bermula.

Yowis Ben, yang merupakan debut penyutradaraan Bayu Skak di mana ia berduet dengan Fajar Nugros (Cinta Selamanya, Moammar Emka’s Jakarta Undercover), berpotensi jadi gambaran akurat nan menggelitik soal lika-liku perjalanan band anak SMA kalau bukan karena fokus cerita yang melucuti spesifikasi tersebut. Naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero. Yowis Ben lebih menyoroti berbagai implikasi dari terciptanya band ketimbang seluk-beluk internal band tersebut, yang mana lebih menarik, unik, dan menggelitik.
Bayu (Bayu Skak) yang dijuluki “Pecel Boy” karena tiap hari membantu ibunya berjualan pecel di sekolah jengah dianggap remeh serta ingin memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman) tidak jauh berbeda, coba membuktikan pada orang tuanya bahwa dia mampu meraih kesuksesan. Akhirnya tercetus ide membuat band guna memenuhi mimpi keduanya. Yayan (Tutus Thomson) si penabuh beduk dan Nando (Brandon Salim) sang keyboardist yang berharap dikenal lewat karya daripada wajah ganteng belaka pun direkrut. Terciptalah Yowis Ben.

Panggung pertama Yowis Ben berujung kegagalan tatkala banyak film memilih langsung menonjolkan para tokoh utama sebagai rising star yang talentanya langsung mencuri perhatian publik di percobaan perdana. Pilihan realistis yang sayangnya ditinggalkan pada fase-fase berikutnya. Yowis Ben tiba-tiba sukses lewat YouTube berkat video klip ratusan ribu penonton yang menampilkan Yowis Ben bernyanyi di hadapan puluhan orang. Bagaimana band SMA melarat mampu merekrut talenta sebanyak itu? Bagaimana lagu-lagunya tercipta? Bagaimana latihan di studio yang tentunya penuh intrik sekaligus kejenakaan berlangsung? Film ini tak mempedulikan proses-proses itu, sehingga sulit pula mempedulikan perjuangan serta merayakan kesuskesan karakternya.
Hambar pula romantika Bayu dan Susan, meski pembawaan membumi, seringai naif, ditambah bakat alam Bayu Skak melucu, memudahkan kita tersenyum. Berstatus penulis cerita, entah seberapa banyak masukan yang Bayu berikan terkait penulisan naskah khususnya bumbu komedi, tapi memang humornya paling efektif tatkala Bahasa Jawa memainkan peranan besar khususnya sewaktu umpatan-umpatan dan selorohan menyeruak masuk. Ganti dengan Bahasa Indonesia, kelucuannya dipastikan menurun drastis. Unsur Jawa akhirnya lebih berperan menguatkan komedi ketimbang alur yang minim kekhasan dan bisa dipindah ke balahan dunia manapun tanpa menimbulkan perbedaan signifikan.

Yowis Ben menyasar banyak hal, mulai pembuktian orang-orang yang dipandang sebelah mata—termasuk Bahasa Jawa yang disebut kampungan oleh netizen—percintaan, persahabatan, hubungan anak dan orang tua, hingga band SMA, tanpa ada yang benar-benar tampil solid. Setidaknya keempat tokoh utamanya amat menghibur berkat ciri masing-masing, terlebih Yayan dengan kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai sedotan. Ya, menghibur. Jangan berharap lebih dari itu bagi sebuah film tentang band beraliran musik pop-punk “towat-towet” yang gemar melafalkan “t” sebagai “c”.

NAURA & GENK JUARA THE MOVIE (2017)

Adyla Rafa Naura Ayu. Baru berusia 12 tahun, puteri Nola Be3 ini telah merilis dua album sekaligus menjadi idola yang tepat di kalangan anak. Dikatakan tepat karena lagu-lagu Naura bukan bicara cinta, melainkan dunia masa kecil dari mimpi, persahabatan, sampai pesan penting soal anti-bullying. Jadi tepat pula ketika debut layar lebarnya ini diharapkan mampu mengobati kerinduan akan film musikal anak yang belum tentu setahun sekali menghiasi bioskop tanah air. Ditangani oleh Eugene Panji (Cita-citaku Setinggi Tanah), Naura & Genk Juara The Movie mengikuti pakem Petualangan Sherina, menghadapkan karakternya pada konflik pertemanan, adu kepintaran, juga ancaman para penjahat konyol.

Naura (Adyla Rafa Naura Ayu), Bimo (Vickram Abdul Faqih Priyono) dan Okky (Joshua Yorie Rundengan) terpilih mewakili sekolahnya mengikuti kompetisi sains pada acara Kemah Kreatif di Situ Gunung. Perselisihan timbul karena Bimo merasa modifikasi drone miliknya adalah yang terbaik sehingga lebih pantas memimpin tim daripada Naura. Tapi masalah lebih besar hadir dalam bentuk Trio Licik (Panjul Williams, Alfian, Dedy Ilyas) yang berniat mencuri hewan-hewan di penangkaran Situ Gunung. Bersama Kipli (Andryan Sulaiman Bima) si ranger cilik, Naura, Bimo, dan Okky mesti mengesampingkan perpecahan guna menggagalkan aksi Trio Licik.
Naura & Genk Juara The Movie bergerak sederhana sesuai formula, tapi serupa dinamika dunia anak, kompleksitas bukan bagian dari kebutuhan. Rasa riang gembira dibumbui beberapa nilai kehidupan mendasar. Skenario buatan Bagus Bramanti, Dendie Archenius Hutauruk, dan Asaf Antariksa memang menyisakan lubang problematika, semisal saat empat protagonis memilih menyerang Trio Licik alih-alih melapor pada ranger, yang dipaksa ada, semata demi peningkatan konflik utama sembari merampungkan konflik interpersonal. Di luar itu, naskahnya cerdik merangkum pesan-pesan guna membantu orang tua menyampaikan berbagai nilai bagi anak. 

Jika Naura-Bimo-Okky mewakili unsur persahabatan yang mengesampingkan ego sampai kecerdikan, maka Kipli, satu-satunya bocah di antara ranger mengajarkan perlunya kepedulian terhadap hewan. Rangkaian pembelajaran tersebut cukup jelas untuk diserap penonton anak, namun lembut tanpa kesan menggurui. Naura & Genk Juara The Movie adalah tentang proses belajar dari pengalaman nyata di dunia luar yang bersifat praktikal, menjadikannya penting mengingat kesempatan anak berinteraksi dengan alam menipis kala sistem pendidikan teoritis kurang aplikatif makin gencar dijejalkan. Klimaks berisi perlawanan bocah-bocah atas Trio Licik menggunakan karya mereka pun bisa dipakai memancing minat anak bekreasi dalam kegiatan belajar sambil bermain.
Di departemen musik, kolaborasi Andi Rianto bersama duo kakak-beradik, Mhala dan Tantra Numata berhasil mengkreasi deretan lagu yang takkan mudah hilang dari ingatan penonton seusai menonton. Dari keceriaan dalam Juara dan Mendengarkan Alam, Jangan Jangan yang bersemangat, sampai Bawakan Cerita Untukku yang hangat selaku ungkapan kasih seorang ibu berkat performa penuh rasa dari Nola Be3, semuanya catchy nan memorable. Walau eksekusi momen musikal tidak sepenuhnya mulus akibat kurang luasnya eksplorasi pengadeganan Eugene Panji. Karena semua nomor tarian didominasi anak kecil, patut dimaklumi saat tatanan koreografi tersaji belum begitu rapi, dan di sinilah kejelian sang sutradara mestinya lebih berperan, seperti saat menyelipkan satu sekuen animasi.

Harus berbagi porsi dengan para "Genk Juara" urung menghambat sinar Naura. Khususnya ketika melakoni nomor musikal, ia mengerahkan semua daya upaya, total baik dalam gerak maupun ekspresi. Bahkan kelemahan mixing suara yang tidak melebur natural, yang mana merupakan kekurangan terbesar film kita dalam mengemas adegan musik, tak kuasa menahan hentakan berenergi Naura. Bukanlah kejutan apabila suatu hari nanti, bocah ini bertransformasi dari bintang cilik menuju mega bintang, entah di industri musik, perfilman, atau keduanya. Naura & Genk Juara The Movie mungkin tidak akan menjadi fenomena layaknya Petualangan Sherina dulu, namun jelas salah satu musikal anak terbaik di masanya.

SETERU (2017)

Dari sekian banyak "gejolak kawula muda" khususnya siswa SMA, tawuran termasuk tindakan paling bodoh. Kalau ditelusuri, fenomena tersebut bakal memancing studi menarik, sebutlah tumbuh kembang remaja, tendensi kekerasan, budaya konformitas, bullying, bahkan bisa ditarik sampai ke lingkup keluarga. Banyak poin dapat diamati, tapi jangan harap Seteru menghasilkan observasi hingga sedalam itu, sebab karya teranyar Hanung Bramantyo bersama co-director Seno Aji (dirilis seminggu pasca Kartini mungkin demi tertular momentumnya) sekaligus produk kampanye kebhinekaan dan anti tawuran dari Kementrian Pertahanan (Kemhan) ini hanya berniat menyerukan "tawuran itu keliru".

Bukan masalah. Sejak dulu film telah sering dipakai untuk media propaganda, promosi, atau iklan layanan masyarakat versi panjang. Lagipula pesan yang diusung baik. Terpenting, pesan itu tersampaikan, bahkan kalau bisa memberi dampak. Pelaku tawuran dalam Seteru adalah pelajar dua SMA di Yogyakarta, yakni Kesatuan Bangsa (berisi siswa kaya) dan Budi Pekerti (berisi siswa miskin). Permusuhan dipicu kematian siswa Budi Pekerti yang konon disebabkan oleh Kesatuan Bangsa. Sulitnya upaya perdamaian memaksa kedua sekolah menyerahkan pentolan tawuran masing-masing pada Letkol Rahmat (Mathias Muchus), Komandan Kodim setempat yang kemudian menyerahkan pembinaan pada Lettu Makbul (Alfie Alfandy). 
"Sasaran tembak" Seteru tentu para pelajar SMA yang terbagi jadi dua golongan: pelaku tawuran dan bukan pelaku tawuran. Golongan kedua akan mudah mengamini tuturan filmnya, tapi lain cerita dengan golongan pertama yang notabene target utama filmnya. Masalahnya, naskah karya Bagus Bramanti sekedar bertindak selaku pemberi nasihat eksternal, bagai orang tua atau guru tengah berpetuah tanpa coba memposisikan diri di frekuensi serupa lawan bicaranya. Terkesan dangkal pula menggampangkan resolusi, sehingga mudah membayangkan bila seorang siswa "berandalan" penyuka tawuran disuguhi film ini, dia seketika menjawab "tidak semudah itu, bro". 

Bukan berarti sama sekali nihil usaha mengetuk hati mereka. Konflik internal keluarga Martin (Bio One) dan Ridwan (Yusuf Mahardika) diharapkan mewakili masalah personal remaja. Namun presentasi soal harapan membanggakan orang tua berhenti di tatanan permukaan, sebab lagi-lagi mengubah pola pikir individu tak sesederhana itu. Sebelum ditawari gambaran ideal, seseorang perlu direnggut dahulu hatinya supaya ikhlas menerima arahan. Upaya menarik hati dilakukan melalui pemakaian futsal, yang mana kegiatan favorit mayoritas remaja, sebagai pemersatu. 
Hanung (selaku penggemar sepakbola) cukup piawai merangkai pertandingan menghibur. Tapi turnamen futsal justru memantik persoalan baru ketika Seteru jadi condong ke arah film olahraga hiburan. Praktis paruh kedua menenggelamkan usungan pesan akibat sequence futsal menekankan hiburan berupa gol demi gol ketimbang suguhan kerja sama tim. Ditambah lagi cuma Bio One dan Yusuf Mahardika yang tampak meyakinkan di atas lapangan, merenggangkan jarak keduanya dengan kawan-kawannya yang minim ciri pembeda. Paling hanya Dito (Dhemi Purwanto) lewat sisi komikalnya yang menonjol. Kalau ditelusuri lebih jauh pun, sulit menjabarkan detail penokohan keenam protagonis. Unsur perbedaan etnis siswa Budi Pekerti dan Kesatuan Bangsa pun berujung tempelan tak substansial. 

Seteru memang tidak subtil bertutur. Segala wejangan disampaikan gamblang, namun bisa diterima berkat penempatan tepat. Setting militernya memfasilitasi cara bertutur tersebut. Adalah wajar tatkala seorang Letkol berceramah panjang lebar seputar moral dan nilai persatuan bangsa. Awalnya saya pesimis akan pemilihan tempaan berat militer sebagai jalan pembentuk disiplin, sebelum filmnya menunjukkan kalau hal terpenting bukan fisik atau bentakan yang selalu diteriakkan Lettu Makbul semata, pula hati dan rasa. Alfie Alfandy sendiri meyakinkan sebagai sosok tentara keras meski kala tokohnya melunak, transformasinya berjalan kurang mulus, sebagaimana transformasi terlalu instan dua kubu protagonis dari lawan menjadi kawan. Setidaknya kematangan Hanung berhasil menjaga jalannya alur tetap nyaman diikuti. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

DEAR NATHAN (2017)

Dilihat dari sampul luarnya, mudah menghakimi "Dear Nathan" sebagai kisah cinta remaja dangkal yang sekedar mengandalkan paras rupawan para pemeran dan baris kalimat sok puitis. Tapi siapa sangka, adaptasi adaptasi novel berjudul sama karya Erisca Febriani ini merupakan salah satu romansa putih abu-abu paling manis dalam beberapa tahun terakhir. Tidak perlu setting luar negeri megah, wardrobe serba mahal, atau kemewahan-kemewahan lain yang belakangan kerap dipakai film cinta dalam negeri guna membuai penonton supaya melupakan setumpuk kelemahannya. "Dear Nathan" sanggup membuai karena dua sejoli tokoh utamanya likeable serta believable.

Salma (Amanda Rawles) dan Nathan (Jefri Nichol) pertama bertemu saat mereka terlambat mengikuti upacara bendera di sekolah. Nathan membantu Salma masuk lewat jalan rahasia, kemudian menghilang. Rupanya Nathan dikenal bandel, hampir tiap hari berkelahi walau satu-satunya yang dia jadikan target pukulan adalah para bully atau preman. Rupanya pertemuan pertama itu langsung membuat Nathan jatuh hati, dan dibantu oleh Rahma (Diandra Agatha), ia mulai mendekati Salma, yang meski menyimpan perasaan sama, ragu untuk langsung menerima cinta Nathan. Tanpa diketahui banyak orang, Nathan sendiri menyimpan masalah terkait masa lalu tragis keluarganya.
Mengambil setting SMA, "Dear Nathan" menghadirkan pernak-pernik dunia tersebut. Bagus Bramanti dan Gea Rexy paham benar seperti apa asmara yang pernah dialami mayoritas orang ketika SMA, lalu menuangkannya ke naskah dalam takaran tepat. Curi-curi pandang saat pelajaran olahraga, duduk berdua di sudut belakang sekolah, sampai jadi pusat perhatian sewaktu kali pertama berangkat berboncengan berdua. Memori saya dilemparkan ke masa itu dan dibuat tersenyum mengingatnya. SMA adalah tempat cinta monyet penuh romantisme gombal mulai bersemi. "Dear Nathan" sanggup merangkum poin itu sembari menyelipkan keping lain seperti teman egois yang gemar mengatur, tata tertib menyebalkan, hingga selintas gesekan siswa akademisi (nan sok suci) dengan mereka yang dianggap nakal.

Nathan mewakili korban prejudice yang dipandang buruk bahkan sampah karena menolak mengikuti jalur lurus yang dianggap sesuai kaidah moralitas. Namun di balik tingkah kasar, ada kebaikan yang enggan diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Nathan bukan manusia penghasil quote "ajaib" macam Dimas Anggara di film-film produksi Screenplay. Daripada berkata-kata mesra, ia langsung bertindak untuk hal kecil sekalipun macam membelikan Salma cilok di jam istirahat. Jefri Nichol punya pesona yang bakal memancing jeritan penonton wanita (dan beberapa pria) tanpa perlu kaku bertutur akibat berusaha tampak keren. Nichol tak coba mendramatisir penuturan kalimatnya. Terdengar manis berkat pelafalan natural, asyik, mudah menggaet simpati penonton bagi Nathan. Bagi para pria emosional, Nathan akan terasa relatable
Cinta pada Salma ditambah usaha mengambil kembali kasih sayang ibu (Ayu Dyah Pasha) mendorong perubahan Nathan. Konsisten dengan perlawanannya terhadap prejudice, film ini tak berniat mengubah Nathan menjadi sosok lain yang oleh konsensus publik dianggap lebih baik seperti Aldo (Rayn Wijaya) si ketua OSIS berprestasi misal. Serupa yang diungkapkan Salma, Nathan mesti menjadi versi lebih baik dari dirinya sendiri. Tetap easy going namun lebih teratur, pula bersedia memulai babak baru hidup khususnya bersama sang ayah (Surya Saputra). Patut disayangkan, mencapai titik ini penceritaan kurang mulus. Proses perubahan Nathan terkesan mendadak, tidak bertahap. Lubang pun sempat hadir terkait timeline membingungkan suatu adegan. Saya tidak bisa menuliskan adegan apa, tapi melibatkan momen penting salah satu tokoh.

Daripada orkestra menggelegar, sutradara Indra Gunawan ("Hijrah Cinta") memilih lagu-lagu pop ringan guna menemani perjalanan cinta Nathan dan Salma. Pilihan tepat, karena momen-momen mereka berdua terasa manis tanpa harus didramatisasi berlebihan (penyakit banyak romansa Indonesia). Balutan komedi segar hasil interaksi malu-malu kucing dua remaja sukses pula hidupkan suasana. Amanda Rawles berjasa di sini, dengan baik menangani kecanggungan dan salah tingkahnya Salma yang efektif memancing senyum. Ditutup oleh kebahagiaan manis di bawah guyuran hujan, lengkaplah "Dear Nathan", romantika remaja dengan penekanan pada penokohan, suatu hal yang kini semakin jarang ditemui tatkala puisi-puisi hampa nihil rasa jadi andalan.