REVIEW - DEAR NATHAN: THANK YOU SALMA
Rilis pada 2017, Dear Nathan memperoleh 700 ribu penonton. Setahun berselang, Hello Salma selaku sekuel disaksikan oleh 840 ribu orang. Pun peran Nathan melambungkan nama Jefri Nichol sebagai salah satu aktor muda paling bersinar. Menyebutnya "underrated" jelas kurang pas, tapi secara kualitas, nyatanya adaptasi novel karya Erisca Febriani ini memang belum mendapat pengakuan yang sesuai.
Coba sebutkan trilogi film Indonesia yang kualitasnya konsisten. Laskar Pelangi dan Jelangkung terjun bebas di installment ketiga, sementara kalau Kuntilanak yang muncul di kepala anda, percayalah itu lebih karena faktor nostalgia. Sehingga Thank You Salma merupakan produk langka. Sebuah penutup kuat nan segar, yang memantapkan status Dear Nathan sebagai salah satu trilogi terbaik negeri ini.
Kini Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) adalah mahasiswa. Salma aktif menulis puisi, percaya bahwa dunia dapat berubah melalui gagasan-gagasan modern media digital, sebaliknya Nathan, yang aktif demo bersama kelompok himpunan mahasiswa, menganggap aktivisme sebaiknya dilakukan langsung di jalan. Jurang perbedaan tersebut mulai memunculkan keraguan akan masa depan hubungan mereka.
Serupa dua film pertama, naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy masih tampil sederhana tetapi kuat dalam presentasi romansanya. Pasca kerusuhan di sebuah demo, Salma meminta Nathan berhenti. Perspektif Salma adalah, semestinya Nathan lebih mementingkan orang-orang terdekat yang memedulikan keselamatannya. Sedangkan Nathan tetap kukuh bahwa membela kaum tertindas melalui demonstrasi merupakan keharusan.
Soal siapa benar atau salah itu relatif. Tergantung pada kacamata mana yang dipakai. Terpenting, filmnya memastikan bahwa dua sudut pandang berlawanan itu masuk akal, serta didasari cinta masing-masing. Gesekan ini makin rumit lewat kehadiran Afkar (Ardhito Pramono), musisi yang menyembunyikan identitasnya memakai nama panggung Gema Senja. Salma mengidolakan Gema Sanja, dan keduanya bertemu di kelompok mahasiswa pecinta puisi yang diketuai Afkar.
Sama seperti Salma, Afkar meyakini perubahan bisa dibawa oleh gagasan dalam karya seni, alih-alih melalui demonstrasi. Thank You Salma punya romantika di fase yang tricky. Bukan lagi remaja SMA yang terpikat rayuan gombal atau (cuma) fisik, bukan pula cerita cinta dewasa yang penuh lika-liku kompleks. Karakternya berada di usia dewasa awal. Usia pencarian jati diri yang sesungguhnya, tatkala ideologi terbentuk dan dipuja, sehingga individu mencari "teman perjalanan" berdasarkan itu. Apa yang film ini hadirkan adalah proses pendewasaan, guna mencari titik tengah di antara dua ideologi, yang walau berbeda, namun menyimpan satu tujuan.
Tapi yang membuat Thank You Salma terasa segar (sekaligus ambisius, karena menggiring konklusi sebuah trilogi keluar dari pakem romansa) adalah selipan isu tentang pelecehan seksual di latar kampus. Korbannya Zanna (Indah Permatasari dalam satu lagi performa emosional), teman sekelas Nathan. Pelakunya Rio (Sani Fahreza), rekan Nathan di himpunan mahasiswa. Dibantu Rebecca (Susan Sameh), Zanna memperjuangkan keadilan, meski ditentang banyak pihak, termasuk kampus yang justru membela si pelaku.
Identitas pelaku adalah alasan urgensi isu milik Thank You Salma. Aktivis, berasal dari keluarga terpandang, pula berprestasi di kampus. Fenomena serupa belakangan makin marak, ketika aktivisme jadi kedok predator seksual menyembunyikan ketidakmampuan mengontrol kelamin busuk mereka. Apa yang terjadi saat si aktivis mesum hendak diperkarakan? Seperti respon teman-teman "seperjuangan" Nathan, terucaplah "Jangan merusak pergerakan".
Beberapa kalimat seputar pelecehan seksualnya acap kali terdengar preachy, terutama saat Rebecca "menceramahi" Nathan tentang cara menyikapi pengakuan para penyintas. Tapi itu wajar terjadi, karena masih luar biasa tololnya laki-laki Indonesia menyikapi isu tersebut. Melihat situasi sekarang, penyampaian secara lebih halus dan subtil takkan berdampak. Sudah sepantasnya edukasi itu diteriakkan dengan gamblang tepat di depan muka orang-orang.
Menjelang babak akhir, penceritaannya memang agak goyah. Bagaimana Salma ditarik memasuki lingkup konflik Zanna tampak canggung, baik dalam penulisan maupun pengadeganan Kuntz Agus selaku sutradara. Begitu juga resolusi percintaan Nathan-Salma, yang penempatannya kurang tepat, sehingga terkesan "mencuri panggung" dari isu pelecehan seksualnya.
Tapi saya mengapresiasi penggambaran karakter Nathan. Tentu pada akhirnya ia jadi figur pahlawan (a dependable and likeable one thanks to Jefri's usual charisma), namun di awal, ia gagal memahami penyintas. "Kalau Zanna jujur, kenapa dia nggak langsung lapor?", tanya Nathan. Bedanya, jika banyak masyarakat negeri ini menolak paham, Nathan mau belajar. Karena Nathan tahu cara menjadi manusia. Kita pun seharusnya demikian.
REVIEW - SOBAT AMBYAR
Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta
film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin
menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya,
mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga
hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang
karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada
pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.
Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat
Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak
pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan
sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang
sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.
Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah
bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai
berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia
dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu
terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya
malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya
berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan
Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani
kegalauan hati Jat.
Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea
Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi
dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras
memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia
sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali
bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang.
Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen
penunjang untuk melahirkan sosok likeable.
Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat
Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar
meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka
merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang
maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya
ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya.
Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek
termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam
hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal
yang ia lakukan setelah itu.
Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan
sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta,
termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi
di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau
berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat
sedang sayang-sayangnya”.
Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya
menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian
lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan
layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan
rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.
Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga
suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada
kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa
kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko,
yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang
orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.
Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan
logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding
Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu
menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan
sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu
diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak
cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali
berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan
atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati
penonton luas).
Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan,
komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan
ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya
amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan
bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota
mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak
kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat
Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The
Godfather of the Broken Hearted.
Available on NETFLIX
REVIEW - BENYAMIN BIANG KEROK 2
Terkait Benyamin Biang Kerok (2018), saya termasuk minoritas. Saya tidak
menentang, tidak membenci, meski harus diakui, hasilnya jauh dari kata “bagus”.
Sangat jauh. Setidaknya ada visi yang jelas, walau apakah visi tersebut cocok
diterapkan, patut dipertanyakan. Direncanakan sebagai trilogi, setelah film
pertama mendapat respon cenderung negatif, baik perihal ulasan, jumlah penonton
(730 ribu tidak sedikit, namun jelas bukan angka yang diharapkan), belum lagi
perseteruan hak cipta, kabar perilisan film kedua tak kunjung jelas, sebelum
akhirnya tayang di Disney+ Hotstar.
Berbeda dengan pendahulunya, Benyamin Biang Kerok 2 bak produk asal
jadi, tanpa arah, yang buru-buru diselesaikan guna mengejar tanggal tayang di streaming platform. Selepas rekap
beberapa menit yang tidak banyak membantu akibat kisah film pertamanya kurang meninggalkan
kesan, protagonis kita, Pengki (Reza Rahadian), berkata pada penonton, jika petualangannya
melawan sindikat mafia pimpinan Said (Qomar) demi menyelamatkan sang pujaan
hati, Aida (Delia Husein), bakal lebih seru dari film-film Amerika. Berarti,
Hanung bersama trio penulis naskahnya, Bagus Bramanti, Senoaji Julius, dan Hilman
Mutasi, masih berniat membuat blockbuster
mahal, sarat aksi berteknologi tinggi, juga bertabur CGI.
Tapi itu tidak terlihat. Aksi bisa
dihitung jari, sementara CGI, selain
kuantitasnya menurun drastis, begitu pula kualitasnya. Ada satu momen yang
berpotensi melahirkan hiburan berupa pertarungan absurd, di mana Sabeni (Rano
Karno), ayah Pengki, memancarkan laser untuk menghajar habis anak buah Hengki (Hamka
Siregar) yang berniat membunuh Pengki, disusul tembakan gelombang dari gitar
elektrik Nurlela (Lydia Kandou). Tapi efek visualnya setengah (atau malah
seperempat?) matang, yang diperparah oleh kecanggungan pengadeganan Hanung.
Mau dibawa ke mana film ini?
Seberapa buru-buru penyelesaiannya? Jangankan pasca-produksi, saya pun
mempertanyakan, apakah proses produksi, termasuk pick-up, benar-benar sudah usai jauh-jauh hari? Alurnya sendiri
sudah dilukai oleh keputusan memecah cerita. Terasa betul kisah dimulai dari
tengah, sehingga tanpa struktur penceritaan layak. Belum lagi, perpindahan antar
adegan tidak dijembatani secara mulus, seolah tidak ada stok transisi yang
cukup.
Misalnya sewaktu Pengki, Somad (Adjis
Doaibu), dan Achie (Aci Resti) hendak pergi ke hutan di Kalimantan menggunakan
helikopter, untuk memecahkan misteri harta karun Soekarno, yang diduga jadi
incaran utama para mafia. Sayang, helikopter kepunyaan Nyak Mami (Meriam
Bellina) tiba-tiba mogok. Lalu Achie berkata, bahwa dia tahu harus berbuat apa.
Sejurus kemudian, kita melihat CGI shot
yang menampilkan sebuah pesawat di angkasa. Mendadak mereka telah tiba di
tujuan. Pesawat siapa itu? Mengapa efek visualnya tampak amat mentah? Bagaimana
pula Hengki beserta anak buahnya bisa tahu persis keberadaan ketiganya di
tengah hutan keramat?
Paling tidak saya menikmati
penampilan para pelakon senior, khususnya Rano Karno dan Lydia Kandou, yang
berusaha sekuat tenaga memaksimalkan porsi masing-masing. Reza, bermodalkan kejenakaan
gestur serta permainan logat dan warna suaranya pun masih nyaman disaksikan. Satu
yang benar-benar mengganggu, terlebih di third
act, hanya Aci Resi dengan gerutuan dan rengekan menyebalkan yang tak
kunjung berakhir.
Artinya jajaran cast berhasil menyelamatkan film ini bukan? Kata “menyelamatkan” rasanya berlebihan.
Paruh akhirnya membuat Benyamin Biang
Kerok 2 tidak terselamatkan. Antiklimaks, cuma menampilkan sekelumit aksi
singkat berisi serbuan beruang dengan CGI
menyedihkan, nomor musikal cringey nan
murahan diiringi lagu hip hop, pula konklusi dadakan yang menyisakan banyak
subplot tanpa resolusi.
Satu hal paling fatal: rambut
Pengki berubah! Itu bukan rambut Pengki, tapi rambut Reza. Pengki beralasan,
rambutnya dipotong oleh suku pedalaman. Saya curiga, konklusinya adalah pick-up yang diambil jauh setelah
produksi selesai, besar kemungkinan untuk menghapus jembatan menuju film
ketiga, yang konon merupakan adaptasi Tarsan
Kota (1974). Syukurlah bila memang demikian. Cukup. Berhenti sampai di
sini.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
SENIOR (2019)
YOWIS BEN 2 (2019)
LOVE REBORN: KOMIK, MUSIK & KISAH MASA LALU (2018)
Dari elemen estetika, sayangnya komik tak dipakai mempercantik tata visual sebagaimana musik kurang dimanfaatkan guna membangun emosi. Akad milik Payung Teduh membuat konklusinya manis, tapi itu lebih karena kekuatannya sebagai lagu yang berdiri sendiri ketimbang kejelian sutradara Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance) mengawinkan bahasa visual dengan audio. Tambahan kreativitas—yang lebih dari sekedar mengumpulkan para cosplayer dalam pengadeganan canggung—bakal amat berguna bagi Love Reborn. Komik, musik, dan kisah masa lalu. Ada usaha menjadikan ketiganya terikat, walau akhirnya ikatan itu cuma berakhir di permukaan, alih-alih satu kesatuan yang saling mengisi tanpa bisa dipisahkan.