REVIEW - PIECES OF A WOMAN
Pieces of a Woman dibuka oleh
adegan home birth dalam long take sepanjang kurang lebih 22
menit yang sudah ramai dibicarakan, selaku ajang unjuk gigi hampir tiap
departemen. Pertama, tentu saja sinematografi Benjamin Loeb, di mana kamera
sanggup mengikuti seluruh detail Mise-en-scène
yang dibangun sang sutradara, Kornél Mundruczó, guna melahirkan momen
senyata mungkin. Realisme yang mencengkeram atensi juga emosi penonton. Pun
efek spesial untuk membuat Vanessa Kirby tampak meyakinkan sebagai wanita yang
tengah menjalani persalinan, patut diberi pujian.
Momen tersebut
turut memperkenalkan kita pada performa kelas wahid Kirby, yang bakal membuat
penonton menahan napas, sembari merasakan sakit serta penderitaan karakternya.
Nantinya sang aktris memberi lebih banyak lagi. Tapi selain adegan persalinan
dan akting Kirby, apa lagi yang orang bicarakan tentang film ini? Saya rasa
tidak banyak, kalau bukan tidak ada. Selain karena dua elemen itu teramat
menonjol, dalam sisa durasinya, Pieces of
a Woman memang tak menawarkan hal spesial lain.
Bukan spoiler bila saya menyebut persalinan
itu tidak diakhiri dengan perayaan penuh suka cita. Hampir semua materi promosi
sudah mengungkap, bahwa Martha (Vanessa Kirby) dan Sean (Shia LaBeouf)
kehilangan bayi mereka. Kesalahan dilimpahkan kepada Eva (Molly Parker) selaku
bidan pengganti dadakan. Ibu Martha, Elizabeth (Ellen Burstyn), ngotot ingin
menjebloskan Eva ke penjara. Menurut Elizabeth, seseorang mesti disalahkan dan
menerima ganjaran. Martha tidak berpikiran sama.
Martha pun
melanjutkan hidup, kembali ke kantor walau orang-orang memberinya tatapan yang
berbeda. Naskahnya, yang ditulis oleh istri Mundruczó , Kata Wéber, berdasarkan
tragedi personal yang mereka alami, memaparkan luka si protagonis, yang
diperparah oleh banyaknya tekanan dari orang-orang di sekitarnya. Berkata ingin
membantu, sejatinya mereka cuma berniat memenuhi ego masing-masing. Keinginan
agar Martha membaik bukan sepenuhnya didasari kepedulian tulus, melainkan
karena cara Martha menangani duka membuat mereka tidak nyaman.
Mereka lupa (atau
malah tidak peduli?) kalau Martha-lah yang kehilangan kepingan-kepingan
dirinya. Luar biasa bagaimana Kirby mewujudkan duka karakternya. Duka yang
kerap membuat Martha nampak kosong, namun itu bukan wujud kelemahan. Dia rapuh,
tapi tetap berusaha bertahan dengan kokoh. Dia rapuh, tapi menolak hancur.
Bahkan, bisa dibilang, biarpun Martha yang paling menderita, ia juga yang
paling bisa menata diri. She’s a woman
with dignity. Mundruczó paham betul sebagus apa performa aktrisnya. Tidak
jarang latar musik maupun suara dihilangkan, guna membiarkan akting Kirby “berbicara
paling keras” di tengah kesunyian menyakitkan.
Bertolak belakang
dengan pendekatan realis Kirby, ada Shia LaBeouf, yang seperti biasa, punya
tendensi meledak-ledak. Menyaksikannya terasa melelahkan. Saya selalu
menganggap LaBeouf bak rekan seperguruan Nicolas Cage. Keduanya sama-sama gemar
tampil berlebihan. Bedanya, gaya hiperbola Cage cenderung menghibur, sementara
melihat LaBeouf menyiksa diri sendiri juga terasa menyiksa. The world where his characters live must be
a world where the sun don’t shine.
Kali ini bukan
seutuhnya kesalahan LaBeouf. Naskahnya berusaha terlalu keras menampilkan
situasi ekstrim. Tidak hanya Sean, nyaris semua tokoh pendukung di sekitar Martha
digambarkan bak villain. Apa pun yang
mereka lakukan selalu menyakiti Martha sekaligus memancing amarah penonton.
Metode itu efektif membuat kita mendukung Martha, tapi terlalu manipulatif,
untuk film yang dibuka melalui adegan yang dibuat dengan semangat menampilkan
realisme sekuat mungkin.
Anehnya, di saat
bersamaan Wéber seolah juga berusaha memanusiakan mereka, bahkan sempat
terkesan mendorong penonton menaruh simpati. Akhirnya saya malah tidak pernah
yakin harus merasakan apa, dan harus bersikap bagaimana terhadap mereka. Bisa
jadi Pieces of a Woman ingin bersikap
adil. Masalahnya, jika benar demikian, keputusan memanipulasi emosi penonton
sebagaimana saya sebut di atas, justru menjadi bumerang.
Selain emotionally confusing, juga membuang
waktu. Contohnya, daripada menaruh fokus pada Sean (yang terkesan ingin
menjustifikasi perbuatannya), kenapa tidak mengajak penonton menghabiskan waktu
lebih sering bersama Martha demi memperkuat keintiman cerita? Pieces of a Woman sejatinya dibuat berdasarkan
niat baik, namun sayang, keping-kepingnya gagal tersusun dengan baik. Tetap
saja, filmnya pantas disimak, semata demi akting Vanessa Kirby dan adegan persalinannya.
Available on NETFLIX
3 komentar :
Comment Page:Mas, dengan semakin banyaknya serial di Disney+, WeTV, Netflix, dan semacamnya, apakah ada kemungkinan website ini juga akan review serial ke depannya?
Bang, review wandavision dong, tiap episodenya, biar greget..��
Nggak mau bilang mustahil, tapi rada kecil kemungkinannya. Masalah waktu
Posting Komentar