Tampilkan postingan dengan label Erick Estrada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Erick Estrada. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL - BABAK PERTAMA

Status sebagai "babak pertama" memang melukai narasi milik Srimulat: Hil yang Mustahal. Naskah buatan Fajar Nugros tampil bak prolog yang diulur-ulur, kemudian usai sebelum memberi payoff sepadan (masalah khas film yang kisahnya dipecah). Secara penceritaan, filmnya lemah. 

Tapi di menit awal, ketika dalam gerak lambat, satu demi satu anggota Srimulat turun dari mobil yang dikerumuni para penggemar, sementara Whiskey and Soda kepunyaan Roberto Delgado yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai "lagu tema Srimulat" terdengar, saya bisa merasakan kekaguman Fajar pada kelompok komedi legendaris itu. Srimulat: Hil yang Mustahal mungkin kurang lihai bercerita, namun ia jelas dibuat memakai cinta. 

Alurnya sederhana. Popularitas Srimulat sebagai grup lawak di Jawa telah tersebar, dan mereka pun diundang ke Jakarta guna tampil di televisi nasional. Teguh (Rukman Rosadi), selaku pemimpin Srimulat, mengutus Asmuni (Teuku Rifnu Wikana) untuk mengepalai rombongan yang terdiri dari Timbul (Dimas Anggara), Tarsan (Ibnu Jamil), Tessy (Erick Estrada), Basuki (Elang El Gibran), Nunung (Zulfa Maharani), Paul (Morgan Oey), Anna (Naima Al Jufri), serta istri Teguh, Djudjuk (Erika Carlina).

Muncul satu nama baru, yaitu Gepeng (Bio One), pemain kendang yang justru lebih lucu dari mereka semua. Teguh mengizinkannya bergabung, meski beberapa pihak keberatan, khususnya Tarsan. Penggambaran Tarsan di sini cukup menarik. Penggambarannya tak dipaksakan "sempurna", walau "Tarsan asli" tampil sebagai cameo. Bahkan di salah satu bagian, meski tersirat, filmnya menyebut Tarsan "tidak lucu", karena tugasnya adalah membuat anggota lain terlihat lucu. 

Ada juga bumbu romansa antara Gepeng dan Royani (Indah Permatasari), puteri Babe Makmur (Rano Karno) si pemilik kontrakan tempat Srimulat tinggal selama di Jakarta. Tapi fokus utama tetap tentang para anggota Srimulat, terutama proses mereka mencari kekhasan masing-masing, seperti Tarsan dengan seragam tentara, atau Tessy yang mendapat ide memakai batu akik serta pakaian wanita. 

Penuturannya memang kurang rapi. Kadang tampak ingin bercerita, tetapi bentuknya tidak jarang seperti kumpulan sketsa. Untungnya, kumpulan sketsa yang lucu. Selain humor toilet yang cenderung menjijikkan alih-alih menggelitik, sisanya efektif memancing tawa. Seperti sudah saya sebut, kekaguman Fajar terhadap Srimulat amat kentara. Dia tahu letak "daya bunuh" tiap lawakan, lalu mempresentasikannya berbekal timing serta semangat yang tepat. Ini karya terbaik seorang Fajar Nugros.

Ensemble cast-nya juga berjasa besar. Salah satu ensemble cast terbaik di film kita. Saking bagusnya, sulit memilih sosok favorit. Merujuk pada kemiripan tampang dan gerak-gerik, Ibnu Jamil cukup menonjol. Apalagi ia berhasil "lulus ujian" tatkala muncul di satu frame bersama Tarsan. Tapi bukan berarti nama lain kalah bagus. Bio One di performa terbaik, Teuku Rifnu mengolah citra intimidatifnya selaku penguat komedi, Zulfa Maharani sempurna memotret ke-lebay-an Nunung, sedangkan Elang El Gibran sempat memamerkan kekuatan dramatik di sebuah momen non-verbal.

Momen favorit saya adalah sewaktu anggota Srimulat berkumpul di teras bersama Ki Sapari (Whani Darmawan), kemudian melempar satu per satu lawakan klasik yang sudah kita kenal betul. Saya tertawa, tapi anehnya, juga terharu. Aneh, karena sebagai anak 90an, kenangan saya akan Srimulat yang bubar pada 1989 jelas sedikit. Hanya lewat acara Aneka Ria Srimulat (1995-2003), itu pun sebatas tahu, bukan menggemari. 

Sampai saya sadar, rasa haru tersebut bukan dipicu nostalgia tentang Srimulat, melainkan memori-memori indah yang dibawa lawakannya. Kaki terinjak, melorot dari kursi, dan lain-lain, adalah lawakan yang senantiasa muncul di tongkrongan. Lakukan itu, maka orang-orang yang tumbuh pasca era kejayaan Srimulat pun tetap bakal berkata, "Waah Srimulat". Srimulat telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita. Srimulat lebih dari salah satu bagian kultur, melainkan kultur itu sendiri. 

Lawakan Srimulat memang "lawakan tongkrongan". "Gayeng" kalau kata kami orang Jawa. Itulah mengapa pemakaian teras sebagai latar menjadi penting. Tempat yang identik dengan kesantaian, tawa, kehangatan, kebersamaan. Sama seperti nilai-nilai usungan Srimulat.

REVIEW - BABY BLUES

Baby Blues punya salah satu naskah dengan perspektif paling memuakkan yang pernah saya tonton. Penyutradaraan memadai, departemen akting memuaskan, tapi naskah buatan Imam Darto (Pretty Boys, Selesai) bagai pembelaan tidak tahu malu dari laki-laki, saat disebut "kurang memahami kesulitan wanita pasca melahirkan". Ini bukan ketidakpekaan yang polos, melainkan seperti acungan jari tengah pada isu peran gender. 

Dinda (Aurelie Moeremans) dan Dika (Vino G. Bastian) baru menyambut kelahiran bayi mereka. Dinda berhenti bekerja, guna mencurahkan seluruh waktunya untuk si buah hati. Tentu prakteknya tidak mudah. Apalagi ia mesti menghadapi kecerewetan ibu mertua (Ratna Riantiarno). Minimal ayah mertuanya (Mathias Muchus) selalu bersikap bijak, dan beberapa kali mengingatkan agar jangan mencampuri urusan keluarga anak mereka. 

Sedangkan Dika, yang bekerja sebagai pelayan kafe, tak meringankan beban istri. Dia enggan bangun tengah malam tiap anaknya menangis, pula lebih memilih bermain PlayStation bersama teman-teman daripada membantu Dinda. 

Lewat sekitar 30 menit, barulah elemen body-swap yang jadi jualan utama diperkenalkan. Tubuh Dinda dan Dika tertukar, selepas keduanya terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran yang cukup mengguncang berkat akting Vino dan Aurelie, yang sama-sama piawai meluapkan emosi. Pasca body-swap pun akting mereka masih jadi elemen terbaik Baby Blues. Aurelie lebih serampangan, sementara Vino berlaku feminin secara menggelitik tanpa harus menjadi karikatur murahan. 

Film body-swap biasanya menukar tubuh dua tokoh agar mereka saling memahami perspektif masing-masing. Tapi naskah Baby Blues bukan berusaha menyamakan frekuensi karakternya, namun wujud pembelaan seperti telah disebut sebelumnya. 

Dika bukan suami yang terhimpit keadaan. Menyadari kebutuhan finansial keluarganya meningkat sedangkan pemasukan menurun, bukannya lebih keras membanting tulang, ia cuma pasrah bekerja di cafe sepi konsumen. Dika jarang pulang bukan karena lembur, tapi untuk bermain PlayStation bersama temannya. Alias, Dika memiliki eskapisme. Dinda tidak. Seharian ia merawat anak, mendengarkan ocehan mertua, tanpa berkesempatan membahagiakan diri walau hanya sejenak. 

Bagaimana mungkin, dengan kondisi di atas, naskahnya berani berkata, "Tolong pahami juga situasi suami"? Apa yang perlu Dinda pahami saat Dika enggan melakukan pengorbanan setara? Pernah mendengar laki-laki tidak mau kalah dengan membandingkan menstruasi dengan sunat? Kira-kira demikian film ini. 

Pertukaran tubuhnya lebih ke arah ucapan, "Lihat? Berat kan kerja kayak suami?" ketimbang menghadirkan proses seimbang. Sebelum melahirkan, Dinda pernah bekerja. Tapi saat berada di tubuh Dika, ia digambarkan bak sama sekali buta soal mencari nafkah. Sebaliknya, Dika menjalani hari dengan lancar sebagai ibu, cepat belajar, tanpa melewati tekanan-tekanan layaknya sang istri. Di sini laki-laki digambarkan superior. Sangat superior, sampai bisa menjadi "ibu yang lebih baik" daripada wanita. 

Bahkan tanpa menyinggung soal seksisme pun, naskahnya tetap kacau. Apa perlunya menambahkan konflik tentang mama Dinda (Aida Nurmala)? Saya rasa itu sebatas kebingungan penulis mencari cara guna mengakhiri kisah, hingga merasa butuh menyelipkan masalah baru sebagai jembatan penghubung. 

Untunglah humornya cukup efektif memancing tawa. Selaku sutradara, Andibachtiar Yusuf punya sense serta energi yang menguatkan presentasi komedi yang membawa semangat over-the-top. Momen "kunjungan ke orang pintar" jadi contoh terbaik. Kemunculan karakter pria misterius memang inkonsisten, di mana kedatangannya tanpa pola sehingga kurang pas jika disebut "narator", tapi seperti biasa, Erick Estrada piawai melakoni keabsurdan semacam ini. Kejanggalan diubahnya jadi kelucuan. 

Sampai lagi-lagi tabiat buruk Imam Darto kumat. Salah satu komedinya yang mengeksploitasi tubuh wanita bak berasal dari zaman kegelapan. Entah bagaimana adegan tersebut dituliskan, tapi kali ini Andibachtiar turut bertanggung jawab, saat menaruh fokus kamera ke tubuh wanita memakai male gaze murahan. Studio tempat saya menonton diisi cukup banyak orang, dan tak satu pun tertawa. Perasaan tidak nyaman kentara menyelimuti ruangan. 

Di jalan pulang, saya melewati tempat sampah yang terisi penuh, dan anehnya hidung saya tak terganggu. Mungkin karena baru saja mencium aroma yang jauh lebih menjijikkan. Aroma insekuritas laki-laki. 

REVIEW - YOWIS BEN 3

Seri Yowis Ben, dari judul pertama hingga ketiga, tidak pernah mengalami peningkatan berarti. Baik kekurangan maupun kelebihannya selalu sama. Tapi kelebihannya terkait identitas. Ada identitas kuat yang dipahami betul oleh para penggemarnya, sehingga wajar bila jumlah penontonnya stabil di kisaran yang tinggi (film pertama 935 ribu, film kedua satu jutaan). Itu juga alasan saya terus kembali, termasuk untuk Yowis Ben Finale di akhir tahun nanti, biarpun tak pernah menyebut diri sebagai "penggemar". 

Identitas tersebut berupa candaan. Gojek kere. Menontonnya bak sedang duduk santai di warung kopi sederhana sembari ngobrol ngalor ngidul bersama teman-teman hingga tengah malam. Adakah obrolan berbobot? Mungkin tidak. Bisa jadi esok pagi detail obrolannya sudah terlupakan, tapi kita ingat, bahwa saat itu kita bersenang-senang.

Alkisah, Yowis Ben kini semakin tenar. Tur keliling Jawa tengah dilakoni Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), dan Yayan (Tutus Thomson). Apalagi selain Doni, masing-masing mempunyai pasangan suportif. Bayu dengan Asih (Anya Geraldine), Nando dengan Stevia (Devina Aureel), sedangkan Yayan dan Mia (Anggika Bolsterli) bahagia berkat keberadaan putera mereka, Singo (tentu nama unik si bayi dijadikan running joke menggelitik sepanjang durasi). 

Sayangnya, rentetan masalah segera menghampiri. Nando terjebak dilema karena ingin berkuliah di luar negeri, sementara keluarga Bayu dan Doni sama-sama terlilit kesulitan finansial. Masalah terpelik dihasilkan Cak Jon (Arief Didu), yang belakangan sulit fokus pada pekerjaannya. Terlebih saat mantannya, Rini (Putri Ayudya), mendadak muncul, dalam posisi telah bertunangan dengan Arjuna (Denny Sumargo), seorang tentara.

Seperti saya sebutkan di atas, Yowis Ben terasa seperti obrolan ngalur ngidul, sebab memang demikian alurnya dikemas. Tidak tertata. Misalnya first act yang tampil layaknya road movie, namun tanpa destinasi pasti. Sebatas kedok agar naskah buatan Fajar Nugros dan Bayu Skak bisa melempar lelucon-lelucon secara acak. 

Pun memasuki menit-menit berikutnya, penceritaan semakin sulit fokus akibat jumlah konflik yang turut bertambah. Apalagi Yowis Ben 3 adalah bagian pertama dari dua bagian babak final, sehingga jangankan resolusi, beberapa konflik bahkan belum terurai secara memadai. Alurnya tampak seperti keping-keping puzzle yang berserakan di lantai. 

Tapi bukankah Yowis Ben memang senantiasa begitu? Poin-poin di atas dituliskan karena tetap merupakan kelemahan, tetapi sejak sebelum film dimulai, saya sudah mengantisipasinya, memilih untuk menerimanya, dan tidak lagi ambil pusing. Saya datang untuk menertawakan gojek kere para anggota Yowis Ben, Cak Jon, dan Kamidi (Erick Estrada). 

Biarpun cenderung hit-and-miss (juga masalah lama), secara keseluruhan, saya menikmatinya. Saya yakin target pasarnya bakal berpikiran serupa. Saya tertawa setiap ada yang terkejut mendengar nama "Singo". Saya tertawa ketika lelucon "batuk dan batik" dilontarkan, walau telah berkali-kali menyaksikannya di trailer. Saya tertawa membaca papan bertuliskan "Band Liyo". Imajinasi liar cenderung ngawur, pelesetan receh, hingga pisuhan-pisuhan, semua itu adalah wujud hiburan yang dekat.

Ada satu keunggulan di luar komedinya. Di babak akhir, Arief Didu dan Bayu Skak memamerkan kemampuan akting drama mereka. Saya cukup terkejut melihat Bayu. Ini penampilan terbaiknya. Penonton Jawa mungkin juga merasakan, bagaimana menusuknya kata-kata yang Bayu ucapkan. Kata bernada penyesalan akibat bersikap "durhaka" terhadap keluarga, yang rasanya takkan sekuat itu dampaknya bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Itulah yang disebut identitas.

REVIEW - SOBAT AMBYAR

Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya, mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.

Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.

Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani kegalauan hati Jat.

Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang. Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen penunjang untuk melahirkan sosok likeable.

Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya. Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal yang ia lakukan setelah itu.  

Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta, termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat sedang sayang-sayangnya”.

Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.

Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko, yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.

Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati penonton luas).

Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan, komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The Godfather of the Broken Hearted.


Available on NETFLIX

DIGNITATE (2020)

Dignitate jelas bukan persembahan terbaik seorang Fajar Nugros, tapi film ini membuktikan bahwa sang sutradara/penulis naskah telah memantapkan cirinya, terutama perihal mengocok perut penonton lewat “gojek kere”. Bahkan dalam karya terbarunya yang dipenuhi keklisean dramatisasi khas adaptasi cerita Wattpad remaja ini, gaya tersebut tetap Fajar pertahankan dan berujung mengangkat kualitas Dignitate, walau akhirnya tidak banyak yang dapat dilakukan, sebab ia mendapat materi sumber yang terlanjur sukar diperbaiki.

Dikisahkan, Alana (Caitlin Halderman) terpaksa pindah ke sekolah baru akibat suatu alasan yang baru diungkap belakangan. Karena alasan itu pula mamanya (Izabel Jahja) bersikap (terlalu) protektif. Di kelas, Alana duduk sebangku dengan Alfi (Al Ghazali), siswa idola para siswi yang bukan cuma ganteng, juga berotak encer. Walau demikian, sososk Alfi jauh dari kata ramah. Dia hanya fokus pada pelajaran, juga kerap berlaku kasar kepada wanita, biarpun sahabatnya, Keenan (Teuku Ryzki), berulang kali memintanya berubah.

Tidak perlu menonton ribuan film atau membaca setumpuk novel remaja untuk tahu, walau awalnya selalu bertengkar, Alana dan Alfi nantinya akan saling cinta. Masalahnya adalah, mereka berdua sama-sama menyimpan masa lalu kelam. Dan bukan cerita Wattpad populer namanya, kalau tidak ada twist berupa keterkaitan-keterkaitan yang didasari kebetulan-kebetulan menggelikan. Ditambah jajaran pemain berparas cantik dan tampan, bagi sebagian besar target pasarnya, Dignitate punya amunisi lengkap untuk membuat mereka berteriak histeris bahkan menangis.

Penonton di luar golongan tersebut mungkin juga bakal menangis. Menangis meratapi mengapa remaja sekarang menggilai kisah semacam ini, yang seolah tidak lengkap jika ceritanya belum berlarut-larut guna memfasilitasi semua jenis penderitaan dan kesialan, yang memancing respon “Ya ampun kasihan banget!” atau “Ya Tuhan, bisa-bisanya....”. Apabila filmnya ditutup sekitar 10 menit lebih cepat, niscaya hasilnya jauh lebih baik.

“Berlebihan” adalah kata yang paling pas menggambarkan alur Dignitate. Sangat berlebihan, niat baik menyampaikan pesan tentang “harga diri wanita” tenggelam dan berhenti sebagai kalimat-kalimat kosong yang keluar dari mulut karakternya saja. Tapi selaku penulis naskah, Fajar Nugros memang tidak bisa berbuat banyak. Tuntutan setia terhadap materi adaptasi karya Hana Margaretha demi memuaskan penggemar tak bisa dikesampingkan, meski beberapa kebodohan semestinya bisa diperbaiki.

Hasil pencarian gambar di Google untuk kata "Alana" yang seluruhnya memperlihatkan wajah si karakter; mama Alana yang dengan mudah melunak walau baru sekali bertemu Alfi; bagaimana Alana bisa mendadak muncul di parkiran pada sebuah peristiwa dramatis jelang akhir. Berbagai kejanggalan di atas bukanlah keabsolutan yang mustahil dibenahi.

Tapi seperti telah disampaikan, untungnya Fajar melakukan satu “pertolongan darurat” dengan cara menginjeksi humor-humor ringan andalannya, yang setia menyegarkan suasana di tengah tuturan dramanya. Tahun lalu Fajar juga sempat menggarap adaptasi cerita Wattpad lewat MeloDylan, tapi keliarannya bagai tertahan. Sedangkan dalam Dignitate, tiap ada kesempatan, komedi selalu ditampilkan. Dan uniknya, ini termasuk salah satu presentasi komedi terbaik yang pernah Fajar lakukan. Materinya segar, timing penghantarannya tepat, dan jajaran pemainnya, termasuk Teuku Ryzki, Dinda Kanya Dewi, hingga dua langganan sang sutradara, yakni Arief Didu dan Erick Estrada, mampu memanfaatkan kesempatan sesingkat apa pun.

Sedangkan pada dua pemeran utama, terjadi ketimpangan. Sewaktu penampilan Caitlin Halderman dapat dijabarkan memakai kata-kata yang mendeskripsikan “protagonis lovable” (lucu, bertenaga, menggemaskan, dan lain-lain), Al Ghazali belum berubah sejak debutnya di Runaway enam tahun lalu. Gestur, mimik wajah, maupun luapan emosinya masih kaku. Mungkin ada unsur kesengajaan mengingat penokohan Alfi yang juga “kaku”, tapi itu bukan berarti sang aktor harus bertingkah layaknya robot sepanjang durasi.

MELODYLAN (2019)

Diangkat dari cerita Wattpad berjudul sama yang kemudian dijadikan novel, MeloDylan mungkin mewakili anggapan muda-mudi usia remaja awal mengenai definisi “cerita kompleks”. Mengangkat tema “move on” selaku kegemaran target pasarnya, kita dijejali “lingkaran setan” di mana tokoh-tokohnya mencintai seseorang, yang sayangnya menaruh hati pada pihak lain. A mencintai B, B mencintai C, C mencintai D, D mencintai A.

Seperti judulnya telah sampaikan, dua tokoh utamanya adalah Melody (Aisyah Aqilah) dan Dylan (Devano Danendra). Sebagai siswi baru, Melody sudah menyulut kehebohan selepas kabar  ia diantar pulang Dylan diketahui seisi sekolah. Dylan memang sosok idola wanita. Tapi si cowok populer sendiri hanya menyukai Bella (Zoe Abbas Jackson), teman masa kecilnya yang sakit-sakitan. Di sisi lain, Bella sudah lama menyimpan perasaan kepada Fathur (Angga Aldi Yunanda), yang rupanya mencintai Melody.

Selanjutnya adalah paparan mengenai usaha tokoh-tokoh menghadapi kondisi di mana cinta bertepuk sebelah tangan, berusaha melangkah ke luar dari sakit hati tersebut, yang dipresentasikan melalui jalinan alur episodik. MeloDylan tampil bagai kumpulan bab-bab novel, yang satu dan lainnya nyaris tanpa jembatan penghubung. Akibatnya, narasi bergerak kasar, penuh keterburu-buruann dalam menyajikan proses yang dilalui karakternya.

Padahal move on butuh proses. Apalagi jika membahas Dylan, yang telah sejak dahulu mencintai Bella. Bagaimana mungkin semudah itu Dylan mengaku di depan Bella, kalau ia mulai menyukai Melody? Apa pula yang membuatnya terpikat pada sang siswi baru? Baik Dylan maupun Melody tak memiliki kualitas menonjol (selain paras rupawan) supaya penonton setidaknya bisa mempercayai ketertarikan di antara mereka.

Aisyah Aqilah melalui gaya manja ditambah sisi keras kepala mempunyai kapasitas serupa Shandy Aulia di Eiffel...I’m In Love. Penampilan menghibur yang tak mampu ditandingi lawan mainnya, Devano Danendra, yang tanpa kharisma, nampak tersiksa memerankan pemuda cuek idola remaja. Alhasil, hubungan Melody-Dylan jauh dari menarik. Saya lebih tertarik menyaksikan kekonyolan pasangan Anna (Yasmin Napper) dan little prince-nya, Angga (Indra Jegel).

Ya, MeloDylan cukup terselamatkan berkat sentuhan humornya. Dilandasi naskah buatan Endik Koeswoyo (Me & You vs The World, Erau Kota Raja), sutradara Fajar Nugros menularkan gaya “gojek receh” yang belakangan makin ia patenkan pasca kesuksesan dua film Yowis Ben. Membawa dua pelakon andalannya, Arief Didu dan Erick Estrada (yang kembali memerankan tokoh bernama Mukidi), banyolan-banyolan “murah” yang sering memadukan kebodohan dan absurditas mampu melahirkan kesegaran yang jarang ditemui dalam film setipe.

Seolah Fajar tahu, apabila digarap sebagaimana romansa putih abu-abu kebanyakan, MeloDylan bakal minim dinamika. Terbukti, begitu menyentuh paruh akhir tatkala komedi mulai dikesampingkan, filmnya pun tampil menjemukan. Rentetan konflik dramatik dengan urgensi yang sesungguhnya tinggi namun terkesan dipaksakan guna menyulut pertikaian mulai mengisi. Apa susahnya bagi Dylan berpamitan pada Melody (bahkan kalau perlu mengajak kekasihnya itu) untuk membesuk Bella yang kondisinya anjlok? Momen penutupnya berpotensi menghadirkan romantika manis, andai saja kita diajak lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas bersama dua protagonisnya.

GENERASI MICIN (2018)

Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian, film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus Langit) ini mengincar lebih.

Sekuen yang dimaksud menampilkan Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih berkutat dengan gadget dan video game di kamarnya.

Komparasi lain datang dari Trisno (Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama, ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik, saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.

Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir) kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat berondongan senapan mesin. Karena, well, sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.

Sedangkan di kesempatan lain, filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea (Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending, yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.

Dua tuturan kontradiktif di atas saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno, romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.

Namun sekali lagi, bila anda sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri, misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.

Seperti Kevin dengan penjabaran super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran. Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.