REVIEW - SHELBY OAKS
Shelby Oaks berpusat pada misteri hilangnya Riley Brennan (Sarah Durn) beserta tiga temannya, yang dikenal publik sebagai "Paranormal Paranoids" lewat konten penelusuran mistis di YouTube. Keempatnya lenyap tanpa jejak pasca menginjakkan kaki di kota mati bernama Shelby Oaks. Mia (Camille Sullivan), kakak Riley, jadi salah satu narasumber untuk dokumenter mengenai kasus tersebut yang dibuat 12 tahun kemudian.
Gaya mokumenter diterapkan oleh sang sutradara, Chris Stuckmann, yang melakoni debut setelah selama ini lebih dikenal sebagai kritikus film di kanal YouTube miliknya. Gaya, ditambah premis mengenai misteri orang hilang, bakal menciptakan komparasi dengan Lake Mungo (2008), yang dalam ulasannya, Stuckmann sebut sebagai "an underappreciated, underseen gem."
Sampai di tengah wawancara bersama Mia, seorang laki-laki tak dikenal mendadak muncul di depan pintu rumah, kemudian melakukan tindakan mencengangkan, yang turut memantik keputusan tak kalah mengejutkan dari sang sutradara: Mengakhiri format mokumenter filmnya. Shelby Oaks seketika berubah jadi horor bergaya konvensional, yang sayangnya, tak pernah memberi cengkeraman sekuat intronya.
Bagian terbaik dari mokumenter found footage adalah proses menyadari, bahwa di balik gambar berkualitas rendahnya, atau gumaman-gumaman tak jelas dari suaranya, tersimpan kunci memecahkan misteri, yang tak jarang mengundang rasa ngeri. Proses itu berlangsung menyenangkan karena secara aktif melibatkan penonton, mendorong kita menajamkan penglihatan serta pendengaran. Sedangkan horor konvensional cenderung hanya memposisikan kita sebagai penikmat pasif.
Sewaktu Mia (didasari ketidakpercayaan pada polisi) nekat melakukan penyelidikan sendiri, antusiasme atas kasusnya pelan-pelan meredup. Naskah buatan Stuckmann pun tak cukup solid melandasi perjalanan selama 91 menit, karena praktis sejak kunjungan Mia ke perpustakaan guna mengumpulkan petunjuk, hampir seluruh pertanyaan telah menemukan jawaban, setidaknya secara tersirat.
Stuckmann tahu betul cara melahirkan gambar-gambar mengerikan yang mengundang rasa tidak nyaman, piawai menentukan timing supaya jumpscare-nya memiliki daya kejut tinggi, pula menguasai trik memupuk intensitas melalui pergerakan kamera yang menyulut kecemasan penonton kala menantikan teror macam apa yang hendak dilemparkan ke layar.
Masalahnya semua itu tak kuasa menambal kekosongan di babak kedua, di mana Stuckmann, alih-alih menebalkan misteri, memilih mengirim Mia dalam penelusuran kosong nan berlarut-larut yang dipaksa bergulir lebih lama dari seharusnya. Setidaknya Stuckmann menyadari pentingnya penceritaan visual. Beberapa pengungkapan misterinya dipaparkan menggunakan bahasa visual ketimbang eksposisi malas yang mencekoki paksa penonton dengan setumpuk fakta.
Shelby Oaks adalah pembuktian bahwa sebagai seorang kritikus, Chris Stuckmann memang memahami hal apa saja yang dapat menguatkan presentasi sebuah film. Poin tersebut nampak dari pilihannya untuk menutup narasi di tengah peningkatan intensitas yang terjadi setelah kehadiran suatu twist, yang menegaskan bahwa cerita bakal lebih berdampak bila diakhiri di titik tertinggi. Hanya saja, "memahami" tidak selalu bersinonim dengan "menguasai".
REVIEW - RESURRECTION
Film dibuka dengan layar yang terbakar lalu pelan-pelan berlubang. Melalui lubang itu, dari sudut pandang orang pertama, kita mendapati orang-orang menatap balik ke arah layar. Seolah kali ini kita yang jadi objek tontonan...atau mungkin kita sedang menonton diri sendiri? Di Resurrection karya Bi Gan, film, pencipta, serta penikmatnya "mewujud" sebagai satu kesatuan.
Total ada enam cerita dalam 156 menit durasinya, masing-masing mewakili pancaindra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, peraba) plus pikiran. Setiap indra dipaparkan lewat gaya sinematik berbeda, tapi ini lebih dari sebatas surat cinta pada sinema yang jamak kita temui. Ambisi Bi Gan mendorongnya melahirkan kapsul waktu berisi ciri teknis dari masing-masing bentuk sinema (kasat mata), juga ragam rasa yang dihasilkannya (tak kasat mata).
Gagasan dasarnya membicarakan kondisi masa depan, di mana manusia berhasil memecahkan rahasia kehidupan abadi, yakni dengan berhenti bermimpi. Segelintir individu yang tetap mengidamkan bunga tidur dijuluki "Fantasmer" (secara literal punya arti "berfantasi"), dan mereka dianggap mengacaukan stabilitas sehingga mesti diburu. "Jika tak ingin kehabisan lilin, jangan nyalakan lilin itu!" Kurang lebih begitulah logika penghuni dunianya.
Miss Shu (Shu Qi), dengan kekuatannya membedakan realita dan ilusi, termasuk salah satu pemburunya. Targetnya adalah sesosok monster (Jackson Yee) dengan wujud bak gabungan Count Orlok dan Quasimodo, yang tetap ngotot bermimpi, biarpun harus mengorbankan sisa usianya. Dipresentasikan memakai gaya film bisu, pula dilengkapi desain produksi cantik ala sinema ekspresionisme Jerman, segmen inilah benang merah penghubung cerita lainnya.
Ada neo-noir tentang tersangka kasus pembunuhan (pendengaran), tuturan eksistensial beraroma cerita rakyat tentang lelaki yang bertemu Arwah Kepahitan (pengecap), drama keluarga soal pria yang mengajari trik sulap pada seorang bocah (penciuman), romansa berbumbu fantasi dengan estetika ala Wong Kar-wai seputar cinta sesosok pemuda pada perempuan yang baru dikenalnya di tengah isu akhir dunia jelang pergantian milenium (peraba), dan epilog yang membawa kita kembali ke awal (penglihatan).
Semua protagonisnya diperankan oleh Jackson Yee, dan mereka memiliki kesamaan: Bersedia menderita demi merasakan percikan kehidupan kendati cuma sesaat. "Illusion may bring pain, but they're incredibly real", ucap si monster dari segmen pembuka. Sebaliknya, bagi mereka yang menutup hati, perjuangan (bahkan penderitaan), yang mesti dialami kala merumuskan karya seni termasuk sinema mungkin hanya kesemuan konyol.
Resurrection turut membedah sifat ilusif milik sinema, di mana sineas mengakali kemustahilan, menciptakan keajaiban di layar perak dengan cara mengecoh persepsi penonton. Dibantu tim artistiknya yang luar biasa, terutama Dong Jingsong selaku sinematografer, Bi Gan menerapkan banyak trik sinematik dari permainan perspektif kamera, hingga efek visual macam reverse motion, untuk mengaburkan batasan ilusi dan realita.
Mungkin tidak seluruh segmennya patut disebut "mahakarya". Segmen pendengaran cenderung paling lemah tatkala Bi Gan sendiri bak terjerat dalam kerumitan labirin khas noir. Sebaliknya, kisah "romansa akhir zaman" yang menyimbolkan indra peraba jadi puncak pencapaian eksplorasi teknis sang sutradara. Bergerak sekitar 40 menit tanpa putus (single take), secara lincah berubah-ubah sudut pandang, cerdik pula mengolah pencahayaan, kisah sarat kejutan yang dimotori pesona enigmatik Li Gengxi sebagai Tai Zhaomei si perempuan misterius ini adalah ilusi yang menghipnotis.
Kemudian Resurrection ditutup oleh pemandangan puitis nan menggugah yang sekali lagi meleburkan "penonton", "yang ditonton", dan "menonton". Setelah adegan memudar seiring layar turut menghitam, karya Bi Gan ini tidak mati begitu saja. Dia hidup kembali, bangkit di dalam pikiran penontonnya, mengkreasi memori sebagai bahan perenungan maupun diskusi. Karena itulah sinema demikian indah.
REVIEW - SENTIMENTAL VALUE
Sewaktu kecil, sebelum tidur saya sering berimajinasi, apakah barang-barang di rumah bakal kesepian bila disendirikan, dan sebaliknya, bisakah mereka merasa hangat jika terkumpul di satu lokasi. Sentimental Value dibuka oleh narasi yang mengangkat sudut pandang serupa mengenai rumah. Apakah rumah lebih menyukai keheningan atau kebisingan yang penghuninya timbulkan?
Rumah tersebut dihuni oleh kakak-beradik, Nora (Renate Reinsve) dan Agnes Borg (Inga Ibsdotter Lilleaas) sewaktu kecil. Orang tua mereka sering bertengkar, dan berujung pada keputusan sang ayah yang merupakan sutradara ternama, Gustav Borg (Stellan Skarsgård), untuk pergi.
Rumahnya tak megah walau cukup besar, dengan perpaduan warna merah dan hitam yang membuatnya nampak agak intimidatif. Rumah itu sering muncul di establishing shot, seolah Joachim Trier selaku sutradara ingin membangun kesan familiar di hati penontonnya. Terdapat retak di salah satu sisi tembok yang dijadikan latar kala judul film ditampilkan.
Ada keretakan pula dalam hubungan karakternya, terutama terkait cara Nora memandang buruk sang ayah yang dianggap membuang putrinya. Gustav sendiri hendak membuat film lagi selepas vakum belasan tahun. Peran utama ditawarkan pada si putri sulung yang seorang aktris teater, namun Nora segera menolak tanpa mau membaca naskah terlebih dahulu. Sekilas kita tahu, Gustav menulis tentang mendiang ibunya yang meninggal gantung diri di rumah tadi.
Lalu terjadilah perkenalan antara Gustav dan Rachel Kemp (Elle Fanning), aktris ternama Hollywood yang mengagumi karya-karyanya, pula mau berakting di film terbarunya. Rachel mengambil peran yang awalnya ingin Gustav berikan pada Nora, bahkan memungkinkannya mencapai kesepakatan dengan Netflix.
Pemilihan Elle Fanning adalah keputusan brilian. Selain akting kuat, penampilan fisik (rambut pirang, kulit putih, dandanan glamor, aura "Amerika") yang amat berbeda dibanding individu lain di film ini, membuat kedatangannya menonjol bak pengguncang status quo.
Joachim Trier banyak membenturkan dua kutub berlawanan di sini: Amerika vs Eropa, modern vs konservatif, Netflix vs bioskop, dll. Intinya, ragam benturan yang menantang kenyamanan individu, yang gemar menyimpan nilai sentimental perihal sesuatu atau seseorang. Gustav merasakan nilai sentimental dengan rumahnya, hingga berhasrat melahirkan karya tentangnya, juga kehidupan-kehidupan yang pernah terekam di sana.
Tapi Sentimental Value bukan kisah "art imitates life" biasa. Trier menggagas tuturan yang jauh lebih kompleks mengenai pencarian keseimbangan antara ekspresi artistik dan hal personal. Menyelipkan kisah pribadi dalam karya dapat terasa membebaskan, tapi bisa juga menyiksa karena saking dekatnya cerita tersebut. Nora sempat menyampaikan bahwa ia menyukai akting, sebab seni peran memfasilitasinya bertransformasi menjadi sosok lain. Benarkah Nora takut pada keintiman dan dirinya sendiri?
Banyak keresahan yang enggan disederhanakan oleh naskah yang Joachim Trier tulis bersama Eskil Vogt. Keresahan-keresahan kompleks yang mustahil diterjemahkan lewat kata-kata banal atau spektrum emosi tunggal. Bukan mustahil seorang individu menghabiskan seumur hidup untuk mengartikan keresahan yang ia rasakan. Pada proses bedah naskah, setiap Rachel mempertanyakan motivasi karakternya, Gustav selalu bertanya balik, "Menurutmu apa?" Gustav sendiri masih berkutat dalam pencarian.
Kompleksitas tuturannya diperkuat oleh akting para pemain yang mengedepankan kesubtilan. Renate Reinsve sebagai putri sekaligus aktris dengan gangguan kecemasan, memungkinkan penonton membaca setumpuk gejolak perasaan rumit yang menyulut keresahan karakternya. Begitu pun Stellan Skarsgård, terutama lewat reaksinya kala Gustav mendengar Rachel membaca naskah, yang menimbulkan tanya mengenai makna di balik matanya yang berkaca-kaca.
Sentimental Value mungkin kurang bersahabat bagi penonton yang terlalu akrab dengan dramaturgi tiga babak sederhana ala Hollywood. Trier tidak tertarik pada struktur narasi konvensional yang memudahkan penerimaan penikmat karyanya. Alurnya melempar peristiwa demi peristiwa yang sekilas tak saling menyokong, namun eksistensinya substansial guna mengupas lapisan-lapisan cerita yang tidak hanya bertujuan membuat penonton "merasakan", tapi juga mengenali suatu emosi.
Daripada memancing tangis, Sentimental Value, selaku film dengan kecerdasan emosional tinggi, dibuat untuk mendorong kita supaya bisa mendefinisikan makna tangisan tersebut. Setelah film berakhir pun masih tersisa riak-riak perasaan yang sukar diartikan, dan mungkin takkan sanggup saya interpretasikan sekalipun hingga akhir kehidupan. Hati manusia lebih rumit dari alam semesta.
REVIEW - ABADI NAN JAYA
Sebuah mobil melaju tak terkendali, menerobos tarup acara pernikahan yang berdiri di depan rumah si pemilik hajatan. Seorang warga datang menghampiri mobil yang baru berhenti selepas menabrak alat pengeras suara itu, hanya untuk mendapati sang sopir adalah sesosok zombi. Begitulah Abadi Nan Jaya membuka presentasinya, yang biarpun tak mendobrak pakem klasik horor zombi, terasa unik berkat asimilasi antara formula genrenya dengan budaya Indonesia.
Bukan cuma soal hajatan selaku pengganti pesta kebun ala dunia barat. Penyulut wabahnya pun "sangat Indonesia". Semua berawal dari ambisi Sadimin (Donny Damara) memproduksi jamu yang bisa membuat peminumnya awet muda. Efek jamu yang diberi nama "Abadi Nan jaya" itu langsung terasa, sebab hanya dalam hitungan menit, uban serta kerut di wajah Sadimin telah lenyap. Sayang, kemanusiaan Sadimin pun ikut lenyap. Abadi Nan Jaya mengubahnya jadi zombi.
Sadimin ingin melawan kenaturalan lewat upayanya menghadang penuaan. Natur dijadikan bak pasir tempatnya bermain-main sebagai Tuhan. Naskah hasil tulisan sang sutradara, Kimo Stamboel, bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi, memposisikan serbuan zombi selaku dampak kenekatan manusia melawan kehendak alam. Nantinya, zombi pun diberi kelemahan unik, yakni suatu fenomena alam yang melambangkan penyucian atas kebusukan-kebusukan ciptaan manusia.
Pasca bertransformasi, Sadimin pun menyerang keluarganya sendiri: Putri sulungnya, Kenes (Mikha Tambayong), yang siap bercerai setelah mengetahui perselingkuhan suaminya, Rudi (Dimas Anggara); Karina (Eva Celia) si istri kedua yang tetap Sadimin nikahi kendati merupakan sahabat putrinya; dan Bambang (Marthino Lio) si bungsu yang alih-alih mencari pekerjaan, lebih memilih menghabiskan waktu bermain gim di kamar. Sederhananya, keluarga disfungsional.
Seluruh karakternya problematik, dan itu jadi keunggulan. Apalagi jajaran ensambelnya tampil kuat, yang berjasa memoles dinamika cerita sebelum teror zombi mengambil alih sorotan utama. Rahman (Ardit Erwandha) si polisi muda, beserta Ningsih (Claresta Taufan), pacarnya yang berharap segera dinikahi, kelak turut jadi sorotan, sembari membuka jalan bagi filmnya untuk menyentil ketidakbecusan aparat menangani situasi darurat. Kejengahan para penulis akan kinerja polisi seolah diluapkan lewat suatu ledakan yang diposisikan sebagai puncak penceritaan.
Skenario serangan zombi yang ditawarkan tidaklah baru. Karakter yang terkurung di sebuah bangunan, pasukan mayat hidup yang mengepung sumber suara, semuanya adalah pakem familiar yang bertanggung jawab membuat subgenre satu ini dianggap sudah usang. Menjadi lebih segar tatkala keklisean tersebut dikawinkan dengan pemandangan khas budaya Indonesia, sebutlah zombi yang menyerang rombongan tamu acara pernikahan di atas truk, spekulasi salah satu karakter bahwa kemunculan mayat hidup diakibatkan oleh kerasukan makhluk halus, dan lain-lain.
Unsur kekerasan yang ditawarkan pun tidak seberapa ekstrim, namun kejelian Kimo memainkan tempo guna menjaga keseruan selama sekitar 117 menit membuat "kejinakan" tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Belum lagi tambahan daya hibur dari selipan kalimat-kalimat komedik yang memperkaya warna filmnya tanpa menimbulkan inkonsistensi tone, sebab beberapa di antaranya berbentuk celotehan yang wajar bila secara spontan terlontar dari mulut seseorang kala didera kepanikan, daripada usaha melawak tanpa kenal waktu.
Abadi Nan Jaya masuk dalam golongan film zombi, di mana tokoh-tokohnya tak mengenali mayat hidup tersebut sebelum terjadinya serangan. Kata "zombi" tak sekalipun diucapkan, bahkan oleh Bambang yang senantiasa menghabiskan waktu di depan komputer. Kondisi itu dipakai guna melogiskan tindakan-tindakan karakternya yang (di mata penonton dengan segala pengetahuan kita mengenai zombi) terkesan bodoh. Membunyikan klakson mobil di area terbuka misalnya. Tapi, mengetahui seluk-beluk masyarakat Indonesia, saya rasa ketidaktahuan dan kebodohan tersebut memang mungkin terjadi.
(Netflix)
REVIEW - YOUR LETTER
Mengadaptasi manhwa berjudul sama karya Hyeon A Cho, Your Letter adalah film yang memotret aktivitas sederhana seperti meminum teh bunga gemitir (marigold) dan mencari jejak di hutan sebagai fenomena spesial. Dunia, kendati diselimuti ragam keburukan, digambarkan bak semesta magis, dengan kehidupan manusia selaku keajaiban terbesarnya. Indah.
Tapi keindahan tidak sedang dialami protagonisnya, So-ri (Lee Su-hyun), yang terpaksa pindah sekolah dari Seoul ke desa tempat tinggal neneknya, akibat mengalami perundungan. Berawal dari keberanian So-ri menegur para pelaku yang selalu menyiksa teman sekelasnya, ia justru berbalik jadi korban baru.
Berharap membuka lembaran anyar, So-ri justru kesulitan beradaptasi gara-gara trauma yang enggan meninggalkannya. Sampai ia menemukan surat dari siswa misterius bernama Ho-yeon (Min Seung-woo) di laci mejanya, yang menyediakan setumpuk data untuk So-ri mengenai lingkungan sekolah barunya. Semangatnya pun perlahan kembali tersulut.
Surat Ho-yeon bukan cuma satu. Sebuah surat mencantumkan petunjuk soal keberadaan surat berikutnya. Terciptalah misteri menarik bak pencarian harta karun di tengah upaya So-ri menemukan surat-surat itu. Sempat pula So-ri berkenalan dengan Dong-soon (Kim Min-joo), yang diyakini menyimpan informasi mengenai jati diri Ho-yeon.
Di salah satu momen paling berkesan sepanjang filmnya, So-ri mendapati surat Ho-yeon terkubur di bawah batu yang telah terendam dalam kolam. Si gadis tak patah arang, lalu nekat menyelami kolam tersebut. Mungkin bukan surat dari Ho-yeon yang susah payah So-ri cari, melainkan kebahagiaan. Di kursi sutradara, Kim Yong-hwan memang tahu betul cara memupuk rasa secara elegan. Simak saja adegan penutupnya, yang membawa dampak emosi lantang biarpun dihiasi keheningan.
Presentasi Kim Yong-hwan turut diperkuat oleh kecantikan animasi 2D filmnya, yang mengingatkan pada karya-karya Makoto Shinkai. Tentu jangan mengharapkan level setara, tapi perspektif Kim Yong-hwan yang menaruh kekaguman terhadap bentangan alam cukup mengingatkan pada ciri khas sineas Jepang tersebut. Menarik pula menyaksikan kala sesekali animasinya berganti gaya secara ekspresif guna mewakili suasana hati si tokoh utama.
"Berbuatlah baik pada orang lain, maka orang tersebut bakal memberi kebaikan serupa untuk orang berikutnya, begitu seterusnya, hingga tercipta dunia yang lebih baik." Begitulah kurang lebih pesan yang Your Letter harapkan dapat dibaca oleh penontonnya, yang turut menciptakan koneksi dengan isu perundungan yang kondisinya sudah sedemikian gawat di Korea Selatan.
Di luar persoalan surat misteriusnya yang unik, Your Letter, (tanpa mengerdilkan urgensinya yang tetap tinggi), sejatinya belum membawa gebrakan untuk formula cerita bertema perundungan. Caranya membungkus dorongan supaya berani melawan para pelaku pun terkesan naif dan menyederhanakan permasalahan.
Sebagaimana disinggung di awal, alasan So-ri menjadi korban adalah karena perlawanan yang ia berikan. Kala itu, teman-teman sekelasnya enggan membela. Tapi nantinya, karakter lain di latar waktu dan tempat berbeda, melakukan perlawanan serupa namun mendapat dukungan dari teman-temannya. Apa penyebab perbedaan itu? Your Letter luput mengolahnya lebih jauh, seolah menyuruh para korban melawan sembari mengharapkan keberuntungan.
Seiring waktu, semakin banyak problematika yang filmnya kupas, hingga di titik alurnya terasa penuh sesak. Setidaknya kekurangan tersebut didasari oleh niat baik untuk memberi latar belakang yang layak kepada tiga karakter utama, yang untungnya tetap dibiarkan berdinamika dalam lingkup persahabatan tanpa pernah terjatuh dalam keklisean romansa.
REVIEW - GOOD FORTUNE
"Dulu aku sesosok makhluk surgawi, sekarang aku hanya perokok berat." Kalimat tersebut diucapkan oleh "malaikat ekonomis" yang dihukum menjadi manusia biasa, dan diperankan oleh Keanu Reeves. Saya rasa deskripsi di atas sudah memberi cukup gambaran mengenai absurditas menyenangkan yang Good Fortune tawarkan.
Aziz Ansari akhirnya melakoni debut sebagai sutradara sekaligus penulis naskah yang sempat tertunda akibat dibatalkannya proyek Being Mortal pasca kasus pelecehan oleh Bill Murray. Di sini Ansari turut berakting memerankan Arj, pembuat dokumenter yang terpaksa banting setir melakukan banyak pekerjaan serabutan demi menyambung hidup. Salah satunya menjadi asisten Jeff (Seth Rogen), si investor perusahaan teknologi kaya raya.
Di sinilah kejelian naskah buatan Ansari menampakkan diri. Jeff tidak diposisikan sebagai si kaya tanpa nurani. Sewaktu Arj hendak berkencan dengan mantan rekan sekantornya, Elena (Keke Palmer), Jeff bersedia meminjamkan jaket mahalnya. Masalahnya, kebaikan kecil itu berujung percuma, karena sebagai pemilik privilese sejak lahir, Jeff hidup dalam menara gading yang menjulang tanpa jendela sehingga tak pernah mengintip realita akar rumput di bawah.
Jeff pun merekomendasikan sebuah restoran mahal sebagai lokasi kencan, yang disetujui begitu saja oleh Arj dengan segala kepolosannya. Alhasil, Arj tak mampu membayar, lalu terpaksa memakai kartu kredit kepunyaan Jeff. Esoknya ia langsung dipecat. Arj pun makin terpuruk dan merasa hidupnya tak berarti.
Apakah perbuatan Arj salah? Tentu. Mencuri tetaplah mencuri. Tapi Good Fortune menyoroti problematika sosial ekonomi pada isu jurang kelas yang lebih kompleks daripada hitam/putih moralitas. Jeff menerapkan standar serupa bagi semua kalangan, termasuk Arj selaku penghuni kelas sosial di bawahnya, tanpa bersedia menaruh empati dengan memahami perbedaan perspektif keduanya.
Kemudian datanglah Gabriel (Keanu Reeves), malaikat berpangkat rendah (ditandai oleh sayapnya yang kecil) yang punya tugas spesifik: Melindungi manusia dari kecelakaan akibat memakai smartphone kala mengemudi. Kespesifikan itu merupakan sentuhan absurd kecil namun berdampak besar pada kelucuan film.
Sebagaimana Arj, Gabriel dengan tugas remehnya menginginkan hidup yang lebih bermakna. Tercetuslah ide yang (menurutnya) brilian. Gabriel berusaha menyadarkan si protagonis bahwa hidupnya berharga, dengan cara menukar takdir Arj dan Jeff. Harapannya, Arj sadar bahwa dunia Jeff yang bergelimang harta jauh dari kata sempurna dan tidak lebih baik dari hidupnya. Gabriel tinggal di menara gading yang jauh lebih tinggi dibanding Jeff. Tentu saja. Dia makhluk surgawi.
Awal dari serangkaian twist mengenai jalan takdir tokoh-tokohnya, yang membuat 97 menit Good Fortune tersaji menyenangkan, pun dimulai. Ansari enggan membuai penonton dengan pesan-pesan moral naif ala tuturan arus utama Hollywood, yang menyebut "uang tidaklah penting." Uang memang bukan segalanya, tapi jelas bisa menyelesaikan setumpuk permasalahan Arj.
Di tengah premis fantastisnya, Good Fortune memperlakukan isunya secara realistis. Si protagonis tidak kemudian dibuat jengah bermandi uang. Gabriel yang menyadari kesalahannya berniat membujuk Arj kembali bertukar takdir. Rumitnya, Arj harus benar-benar menginginkan kehidupan lamanya yang penuh derita. Mendengar itu, bahkan Jeff pun berujar, "Buat apa dia melakukan itu?!"
Ketidakadilan sistem sosial pun tak ketinggalan disentil. Semakin tebal dompet seseorang, ia justru semakin diperlakukan istimewa. Setelah mendapat kekayaan Jeff, Arj kembali ke restoran mahal yang dulu tak kuasa ia bayar, guna mengulang kencannya dengan Elena. Arj kini mampu membayar. Tapi pihak restoran malah memperbolehkannya makan gratis. Dunia berbasis materiel yang menafikan kemanusiaan memang serba terbalik.
Sayang, selepas barisan kritiknya yang setia berpijak pada realisme, Good Fortune, seolah kembali ke "setelan pabrik" selaku produk Hollywood, memilih konklusi yang cenderung memberi simplifikasi bagi fenomena sosial kisahnya demi akhir bahagia nan (maunya) inspiratif. Kehangatan yang coba dimunculkan pun terkesan semu.
Setidaknya daya hibur dari sindiran-sindiran yang dihantarkan dengan amat menyenangkan tidak sampai terkikis. Good Fortune bukan komedi yang akan membuat penontonnya tertawa sampai sakit perut, tapi kualitas komedinya merata, hingga tak menyisakan ruang bagi rasa bosan. Sedikit disayangkan, Keke Palmer luput diberi peluang memamerkan aset terbesarnya: Mulut tanpa "saringan" yang begitu efektif memancing tawa di film-filmnya yang lain.
Aziz Ansari dan Seth Rogen tampil menggelitik, namun tidak berlebihan rasanya menyebut Good Fortune sebagai "panggungnya Keanu Reeves". Mungkin inilah film yang paling berhasil memaksimalkan persona sang aktor yang serba canggung di tiap tutur kata maupun bahasa tubuhnya. Kecanggungan deadpan Reeves membawa satu kesan: Dia tidak manusiawi. Dan ya, dia memang malaikat.

%20(1).png)



.png)

%20(1).png)

%20(1).png)

%20(1).png)