REVIEW - ROBOT DREAMS
Robot Dreams menyembunyikan kompleksitas kisah soal kehidupan di balik gaya animasi sederhana miliknya. Sekilas terlihat seperti kartun anak-anak dengan karakter non-manusia, adaptasi komik berjudul sama karya Sara Varon ini nyatanya membawa kisah yang bakal lebih merasuk (dan menusuk) di hati penonton dewasa.
Latarnya adalah tahun 1984 di Manhattan, saat pernak-pernik bergambar Naranjito (maskot Piala Dunia 1982) masih jamak dikenakan, dan menyandingkan lagu September dengan menara World Trade Center takkan membangkitkan trauma. Di sisi lain, muncul berita mengenai Presiden Amerika Serikat mengendarai UFO, yang dianggap wajar oleh masyarakat, yang bukan terdiri atas manusia, melainkan para hewan.
Sungguh kaya dunia yang dihidupkan oleh Pablo Berger selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Realisme dan fantasi berpadu dengan apik. Seiring kita berjalan-jalan mengelilingi kota bersama karakternya, semakin kentara pula betapa dunianya sangat hidup. Beraneka ragam hewan dengan desain yang sama sekali tidak repetitif eksis bersama dengan rutinitas masing-masing yang juga berbeda-beda.
Hidup di antaranya adalah seekor anjing yang kesepian, dan kerap iri melihat hewan-hewan di sekitarnya menghabiskan waktu bersama teman atau pasangan. Dia pun memutuskan membeli sebuah robot untuk dijadikan sahabat. Seketika rasa sepi di hati Anjing lenyap selepas kedatangan Robot. Hari-hari tak lagi Anjing jalani sendiri.
Robot Dreams dipresentasikan tanpa dialog. Tapi sebagaimana Anjing dan Robot yang mampu saling mengerti tanpa tuturan verbal, kita pun demikian. Berger membuktikan bahwa gestur tubuh, ekspresi wajah, atau bahkan sebatas gerak-gerik mata dapat "berbicara" sekeras kata-kata. Kebahagiaan yang mereka rasakan tetap tersampaikan.
Anjing dan Robot berjalan-jalan ke berbagai tempat, di mana Berger membungkusnya dengan tempo cepat nan dinamis, sementara visualnya yang sederhana mulai menampakkan pesonanya lewat goresan garis-garis tegas yang memanjakan mata.
Apakah Anjing dan Robot menjalin hubungan persahabatan atau percintaan? Apabila yang kedua, apakah ini romansa straight atau queer? Robot Dreams tak memedulikan persoalan remeh tersebut. Penonton cukup memahami bahwa ada ikatan kuat terjalin di antara mereka berdua.
Awalnya semua berjalan ringan nan menyenangkan, hingga kunjungan Anjing dan Robot ke pantai mendatangkan rintangan besar dalam hubungan mereka. Kesempian kembali menghantui hati masing-masing, sedangkan judul filmnya mulai jadi kenyataan. Kita diajak menyaksikan mimpi-mimpi Robot, yang menggambarkan kerinduannya kepada "rumah", baik secara literal maupun figuratif.
Di fase ini alurnya cenderung stagnan bila dibandingkan dengan gerakan cepat di paruh sebelumnya. Terdapat titik di mana kedua karakter tidak banyak berproses dan sebatas diam menunggu bersama ketidakpastian. Untungnya Berger banyak menyuntikkan kreativitas dalam penceritaan visualnya, terutama terkait penggambaran mimpi-mimpi Robot. Adegan "Yellow Brick Road" adalah yang paling unik, sebab di situ Berger seolah menumpahkan hasratnya untuk mengobrak-abrik kotak-kotak pembatas dalam film.
Robot Dreams membicarakan tentang siklus kehidupan yang senantiasa diwarnai dua sisi. Orang datang dan pergi, terkadang meninggalkan rasa manis, namun tak jarang menyisakan pahit. Di tengah berputarnya siklus tersebut, merupakan kewajaran bagi individu untuk berbuat salah. Apa yang terlanjur terjadi mustahil diputar kembali, namun kita bisa belajar supaya tak mengulangi kesalahan itu lagi.
(Klik Film)
REVIEW - EMILIA PÉREZ
Di Emilia Pérez, elemen musikal bukan sebuah hiburan semata, atau upaya mempercantik tanpa makna. Sebaliknya, Jacques Audiard memakai nomor musikal untuk menyibak hal-hal yang jauh dari kesan cantik, lalu memposisikannya sebagai nyanyian orang-orang yang terpenjara di sebuah negeri yang terluka.
Audiard mengadaptasi naskahnya dari libreto opera buatannya sendiri, yang terinspirasi dari novel Écoute karya Boris Razon. Kisahnya berpusat pada Rita Mora Castro (Zoe Saldaña), seorang pengacara bertalenta dari Meksiko yang karirnya mengalami stagnasi, dan terpaksa mengambil kasus-kasus yang tak ia inginkan. Ditambah lagi, sebagai perempuan kulit hitam, sulit bagi Rita membuka firma sendiri.
Sewaktu pertama kali kita berkenalan dengan Rita, ia sedang menyiapkan materi persidangan mengenai pembunuhan seorang perempuan oleh suaminya, yang juga pemimpin organisasi kriminal. Rita harus membela si laki-laki, meskipun tahu kliennya memang bersalah.
Di tengah kegundahan Rita, tersajilah nomor musikal perdananya. Berlatar jalanan kumuh, pula diramaikan orang-orang tanpa kostum glamor, namun pengarahan Audiard yang didukung penataan koreografi mumpuni, tetap membuatnya terlihat memikat. Zoe Saldaña pun meledakkan segala dilema di benak Rita lewat gerak-gerik tarian bertenaga.
Kemudian datang kesempatan tak terduga. Pimpinan kartel paling ditakuti di Meksiko, Juan "Manitas" Del Monte (Karla Sofía Gascón) menyewa jasanya dengan bayaran tinggi. Manitas ingin Rita mengurus prosesnya bertransformasi menjadi perempuan. Lokasi operasi kelamin, tempat tinggal di luar negeri, sampai rumah baru bagi keluarga Manitas, semua ditangani oleh Rita.
Istri Manitas, Jessi (Selena Gomez), tak mengetahui niatan sang suami. Bersama dua anaknya, Jessi terpaksa menuruti arahan Rita untuk pindah ke Swiss, sementara di belahan dunia lain, Manitas memalsukan kematiannya dan memakai identitas baru, yakni seorang perempuan bernama Emilia Pérez. Sebagai Manitas, ia memiliki segala hal materiel. Sebagaimana lirik yang dia nyanyikan, Manitas bahkan tidak kekurangan langit, tapi ia "kurang bernyanyi". Kebahagiaan ada di luar jangkauan karena ia tak menjadi diri sendiri. Sebagai Emilia, kebahagiaan itu akhirnya mampu didapat.
Selama sekitar 132 menit, Audiard mengolah begitu banyak problematika, di mana Meksiko, selaku negara yang ada di bawah cengkeraman mematikan para kartel, jadi panggung sempurna. Rita yang mendapati sistem hukum sedemikian gampang diakali oleh para penguasa (baik pemerintah korup maupun pihak kartel), Emilia yang berupaya memulai hidup baru namun belum bisa lepas dari dosa-dosa masa lalu, juga Jessi dengan pergulatan sebagai istri pemimpin kartel merupakan tulang punggung cerita.
Emilia Pérez adalah kisah mengenai tiga perempuan yang terkurung dalam penjara masing-masing. Ketiganya sama-sama disokong oleh akting kuat, terutama Gascón yang seolah membawa kisah personalnya ke layar lebar (ini akting perdananya sejak resmi menjadi trans) memberi sensitivitas di momen-momen intim. Melihat sesosok bos kriminal menyeramkan bertransformasi menjadi perempuan murah hati membuat filmnya terasa seperti sedang menggugat maskulinitas dalam tindak kriminalitas.
Melewati pertengahan durasi, alurnya memang agak terlalu membengkak, khususnya karena Audiard menyelipkan poin-poin yang tak seberapa signifikan. Tapi kekurangan tersebut bukan masalah besar berkat kreativitas luar biasa sang sutradara dalam mengolah nomor musikal. Di pertemuan pertama Rita dan Manitas, Audiard menenggelamkan penonton dalam atmosfer mencekam yang cenderung sunyi. Hanya ada ambient malam dan deru mesin mobil. Kemudian tanpa kita sadari, suara-suara tersebut perlahan beralih jadi musik yang mengiringi sebuah lagu rap. Andai saja Todd Phillips terlebih dahulu menonton Emilia Pérez sebelum membuat Joker: Folie à Deux.
REVIEW - AKU JATI, AKU ASPERGER
Aku Jati, Aku Asperger yang merupakan remake dari film Swedia berjudul Simple Simon (2010) sejatinya cukup mengkhawatirkan. Apakah ia bakal terjebak stereotip? Apakah demi menarik perhatian penonton filmnya akan mengutamakan banjir air mata sembari mengemis rasa kasihan bagi karakternya? Berbagai pertanyaan tersebut memenuhi kepala saya sebelum memasuki studio.
Sampai akhirnya Jati (Jefri Nichol) alias si tokoh utama yang mengidap asperger diperkenalkan, lalu kredit pembukanya yang dikemas secara kreatif dengan memanfaatkan mainan model kereta api mulai bergulir, dan segala kekhawatiran di atas berangsur lenyap. Film garapan Fajar Bustomi ini tidak menggiring penonton untuk mengasihani Jati. Kita justru diajak menikmati warna-warni kehidupan bersamanya.
Alkisah Jati menumpang di rumah kakaknya, Daru (Pradikta Wicaksono). Kiara (Carissa Perusset), pacar Daru, juga tinggal bersama mereka. Hanya Daru yang mampu memahami Jati, dan bisa menangani situasi pelik tiap dia sedang tantrum. Tapi tidak dengan Kiara. Kedisiplinan Jati terhadap jadwal membuatnya tersiksa, dan akhirnya meninggalkan Daru.
Rutinitas Jati begitu teratur. Kapan ia bangun pagi, berangkat bekerja, hingga menyantap camilan, diatur sampai hitungan detik. Tapi naskah buatan Fikra Fadilla dan Rinapta Swasti Simson tidak menggampangkan kondisi Jati dengan semata berasalan, "Jati bertingkah demikian karena ia memiliki asperger". Sebaliknya, Jati mematuhi jadwal karena ia sama dengan kita yang normal.
Jati menyukai kereta api, sampai rela menabung guna membeli mainan model berharga mahal. Dia belajar bahwa ketaatan kereta api terhadap jadwal bakal melancarkan perjalanan, serta menghindarkannya dari kecelakaan. Jati menerapkan jadwal ketat bagi kesehariannya sebab ia tak ingin hidupnya kacau. Seperti kita, Jati mendambakan kehidupan yang lancar.
Tentu harapan Jati tak selalu terpenuhi. Termasuk pada saat ia berharap dapat mencarikan pacar baru bagi Daru, di mana Jenar (Hanggini), seorang pembuat konten yang penuh semangat, menjadi salah satu calon kuat. Hanggini tampil begitu berenergi, sampai setiap dia muncul, atmosfer film seketika terasa berkali-kali lipat lebih cerah.
Batu sandungan telah menanti Jati, pun banyak kegagalan bakal ia alami, tapi sekali lagi, filmnya enggan memohon belas kasihan penonton. Sebaliknya, Aku Jati, Aku Asperger dipenuhi aura positif, yang diwakili oleh warna-warni yang Fajar Bustomi terapkan di visualnya. Tata kostum dan artistiknya berpadu dengan apik, saling mempercantik tanpa harus terlihat berlebihan atau terlampau mencolok.
Di departemen akting, Jefri Nichol membawakan performa terbaik sepanjang karirnya, melalui performa yang menjauhi kesan karikatur berkat sensitivitasnya mengolah rasa. Setiap Jati tantrum, Jefri mencurahkan segalanya. Sayangnya Dikta belum selepas Jefri dalam menangani ledakan-ledakan emosi. Kemarahan yang beberapa kali coba ia perlihatkan masih berkutat pada teriakan-teriakan kosong tanpa dibarengi gestur yang mendukung.
Beberapa pilihan shot dan gaya penyuntingan pilihan sang sutradara mampu mempertahankan kesan quirky khas sinema Eropa yang dimiliki film aslinya. Menggelitik tanpa harus terlalu konyol, lucu tanpa perlu menjadikan kondisi karakternya sebagai bahan tertawaan. Sebaliknya, Aku Jati, Aku Asperger mengajak kita tertawa bersamanya.
REVIEW - HERE
Guliran waktu seringkali terasa menyeramkan akibat kemampuannya merenggut hal-hal berharga dalam hidup manusia. Tapi terkadang ia juga konsep romantis yang membawa seseorang mengenang baris-baris memori masa lalu, memutar kembali serangkaian cerita yang terekam oleh tempat-tempat sampai sang waktu pun tak kuasa membuatnya terlupakan.
Melalui Here yang mengadaptasi novel grafis buatan Richard McGuire, Robert Zemeckis berupaya memotret gagasan di atas. Gagasan yang cenderung abstrak, sehingga guna merealisasikannya, sang sutradara merasa perlu bereksperimen, yang mana sudah berulang kali ia lakukan sepanjang karirnya yang membentang lebih dari empat dekade.
Kali ini Zemeckis (juga menulis naskah bersama Eric Roth) meminta sang sinematografer, Don Burgess, untuk meniadakan gerak kamera. Selama 104 menit durasinya, Here cuma menampilkan satu titik. Penonton diajak mengobservasi bagaimana titik tersebut berevolusi seiring pergerakan waktu. Berawal dari sepetak tanah di era dinosaurus, sebelum kemudian menjadi tempat tinggal manusia dari beragam era. Dia pernah jadi hunian suku Indian, jalan menuju kediaman William Franklin, rumah seorang pilot di era pandemi influenza, tempat penemu dan istrinya bermesraan, hingga tempat berteduh bagi Keluarga Young.
Al Young (Paul Bettany) dan Rose Young (Kelly Reilly) membeli rumah tersebut pasca Perang Dunia II. Di sanalah keduanya melewati masa-masa sulit sembari membesarkan tiga anak mereka. Richard (Tom Hanks) si putra tertua kelak menikahi Margaret (Robin Wright) dan turut membangun keluarga di situ.
Kita pun menyaksikan dinamika kehidupan. Kelahiran, kematian, perubahan budaya, perkembangan teknologi, tumbuhnya harapan, hingga kandasnya impian. Era mana pun yang tengah kita saksikan, hal-hal tersebut senantiasa terjadi. Mungkin memang ada yang tidak pernah berubah dalam kehidupan.
Eksperimen yang Zemeckis lakukan rupanya tidak sebatas menghapus gerak kamera. Dia pun menguji coba teknik unik untuk departemen penyuntingan lewat transisi berbentuk (semacam) kolase, yang membuat lebih dari satu era bisa muncul secara bersamaan. Ada kalanya pilihan itu melahirkan adegan unik. Misal momen pernikahan Richard dan Margaret yang diiringi oleh penampilan The Beatles di televisi, atau ketika Zemeckis mencetuskan cara baru untuk memvisualkan adegan mimpi.
Sayangnya ada efek negatif yang juga diperoleh. Ketika dikombinasikan dengan penuturan non-linear yang bisa tiba-tiba melompat secara acak dari satu zaman ke zaman lain, teknik penyuntingan itu mengganggu aliran waktu yang semestinya bisa penonton resapi (padahal bukankah itu tujuan awal Zemeckis bereksperimen dengan kameranya?). Ditambah peralihan yang begitu cepat, Here tampil bak kolase yang kacau.
Presentasinya enak dipandang, namun sulit dirasakan. Kisah yang terus menyediakan varian berbeda membuat pengalaman menontonnya tidak terasa membosankan, tetapi melelahkan. Pengolahan tempo Zemeckis yang tak mengenal kesabaran mungkin bertujuan untuk mewakili kelakar "time flies". Poin itu mampu diwakili, tapi kita jadi kehilangan kesempatan meresapi momen.
Tapi keberanian eksperimen Zemeckis tetap patut dipuji. Tanpa eksperimen, sinema akan mengalami stagnasi. Apalagi sang sineas nampak tak terbatasi oleh sudut kamera yang tak pernah beranjak, layaknya seorang sutradara teater handal yang piawai mengatur blocking dan membuat aktor-aktornya berdinamika dengan ruang serta benda mati di atas panggung.
Teknologi de-aging yang dipakai untuk memudakan para aktor, juga tata rias yang membuat mereka tampak lebih tua, memang tidak selalu terlihat meyakinkan, namun kekuatan akting mampu menutupi sedikit kelemahan itu. Khususnya Tom Hanks yang secara gradual membuat gestur karakternya bertransformasi, dari remaja canggung menjadi pria paruh baya yang lelah dihantam oleh kehidupan.
Menyebut Here sama sekali tidak pernah menggerakkan kamera sejatinya kurang tepat. Kelak pergerakan itu bakal terjadi pada waktu yang tepat. Sangat tepat sampai mampu memberi dampak emosi signifikan. Rumah memang indah. Sebuah bangunan yang meskipun kecil, nyatanya bisa menampung segunung peristiwa, juga kenangan milik manusia-manusia yang mendambakan kata "bahagia".
REVIEW - HIS THREE DAUGHTERS
His Three Daughters karya Azazel Jacobs (menjadi sutradara, produser, penulis naskah, juga editor) adalah salah satu film terhangat tahun ini. Sebuah potret kesatuan yang tak melupakan individualitas. Suatu pengingat bahwa keluarga diisi oleh manusia-manusia dengan segala perbedaan masing-masing.
Kepekaan sang sineas segera nampak sedari momen pembuka, ketika tiga anak perempuan yang disebut di judulnya tengah terlibat obrolan. Katie (Carrie Coon), Christina (Elizabeth Olsen), dan Rachel (Natasha Lyonne) berkumpul lagi setelah sekian lama, ketika sang ayah yang sakit keras divonis bakal segera meninggal. Hal-hal seperti rencana pemakaman pun mulai dibicarakan.
Tata kamera arahan Sam Levy membantu sang sutradara untuk mengenalkan penonton kepada tiga saudari tersebut. Setiap karakter mendapat jatah shot individual, seolah diberi ruang personal khusus. Karena sekali lagi, Jacobs hendak mengingatkan bahwa meski ketiganya merupakan kakak-beradik, mereka tetaplah individu yang berbeda-beda.
Masalah muncul tatkala Katie, yang nampak memimpin semua obrolan, merasa Rachel terlalu egois. Dia merokok ganja di dalam rumah, menyimpan apel busuk di kulkas, dan ditengarai hanya tertarik pada apartemen sang ayah yang akan diwariskan untuknya. Mereka berdua memang bukan saudara kandung. Jika Katie dan Christina adalah putri dari istri pertama, Rachel merupakan anak bawaan dari istri kedua.
Tapi seiring makin dalam naskah buatan Jacobs melakukan penelusuran, semakin kentara bahwa kita belum mengetahui segala hal mengenai tiga tokoh utamanya. Mereka pun sama, sehingga tak semestinya penghakiman dilakukan sedemikian instan. Katie bukan bersikap keras tanpa alasan, Rachel tidaklah seegois kelihatannya, sedangkan hidup Christina tidak sesempurna anggapan orang.
Jacobs mengemas dinamika mereka dengan sangat elegan. Rangkaian peristiwa yang di film lain bakal dieksploitasi demi banjir air mata, di sini justru tak dimunculkan. Di sisi lain, musik gubahan Rodrigo Amarante yang mengutamakan denting piano minimalis hanya terdengar lembut sesekali, bak dijaga supaya tidak mencuri fokus dari para manusianya, yang dihidupkan secara luar biasa oleh Coon, Olsen, dan Lyonne. Begitu hebat ketiga aktrisnya mengolah rasa, mereka bisa mengubah emosi secepat menjentikkan jari.
Ada kalanya pendekatan Jacobs yang menjauh dari dramatisasi tersebut mengingatkan pada karya-karya Yazujirō Ozu. Termasuk soal caranya menerapkan visual storytelling. Di satu titik, selepas menjadikan manusia sebagai sentral di mayoritas durasi, Jacobs menempatkan kameranya untuk menangkap ruang-ruang kosong dalam apartemen, dari sofa yang tak diduduki, hingga sudut ruangan yang tak dijamah manusia.
Hadirlah komparasi yang berfungsi untuk mengajak penonton memahami, bahwa seringkali kita baru benar-benar mengenali eksistensi seseorang selepas ia tiada. Saat itu terjadi, yang tersisa tinggal benda-benda atau lokasi yang merekam setumpuk kenangan tentang seseorang itu dalam diam.
(Netflix)
REVIEW - MY ANNOYING BROTHER
Adakah urgensi yang dapat menjustifikasi penciptaan remake ini? Mungkin tidak, tapi jika kita ubah perspektifnya menjadi "menghadirkan tontonan crowd-pleaser ringan", maka My Annoying Brother telah mencapai tujuannya. Sebuah contoh tentang bagaimana cara membuat ulang sesuatu yang telah memiliki pondasi solid.
My Annoying Brother versi orisinal (rilis 2016) adalah film yang "aman" sekaligus universal, sehingga remake-nya tidak memerlukan banyak modifikasi bersifat kultural. Ditangani naskahnya oleh Deliesza Tamara, Tumpal Tampubolon, dan Sheila Timothy, alurnya masih menggunakan templat serupa.
Alkisah ada dua kakak-beradik dengan perangai serta kehidupan bertolak belakang. Kemal (Angga Yunanda) merupakan atlet judo muda harapan bangsa, sementara kakaknya, Jaya (Vino G. Bastian) justru mendekam di penjara. Sudah bertahun-tahun mereka berpisah sejak Jaya kabur dari rumah, yang membuat Kemal, di usia 15 tahun, mesti menguburkan kedua orang tuanya sendiri.
Ketika cedera di suatu pertandingan merenggut penglihatan Kemal, Jaya mengajukan pembebasan bersyarat dengan alasan ingin merawat sang adik. Tapi Jaya, sebagai si "annoying brother" justru memakai kebebasan itu untuk bersenang-senang semaunya, sedangkan Kemal terjerumus dalam depresi akibat kehancuran karirnya. Amanda (Caitlin Halderman) selaku pelatihnya pun kesulitan mendorong Kemal supaya bangkit dan berpartisipasi di ajang Paralimpiade.
Satu yang langsung mencuri perhatian saya sejak reuni kakak-adik ini adalah, bagaimana Jaya, semenyebalkan dan sejahat apa pun dia, sudah menunjukkan secercah kebaikan sedari awal durasi. Berbeda dengan sosok Go Doo-shik (Jo Jung-suk) di versi asli, hal-hal kecil yang Jaya lakukan sejak kepulangannya, menampakkan jejak-jejak kasih sayang kepada sang adik.
Hal di atas membuat transformasi Jaya nantinya tidak terkesan tiba-tiba, dan terasa sebagai bagian natural sebuah proses. Saya menikmati betul dinamika dua manusia yang sejatinya sama-sama mendambakan kasih sayang namun terhalang oleh luka masa lalu ini. Apalagi Vino G. Bastian dan Angga Yunanda tampil dengan love-hate chemistry yang mengalir mulus.
Angga tidak tampak kagok maupun dibuat-buat kala memerankan individu dengan kebutaan, pun kembali membuktikan kapasitasnya selaku salah satu aktor muda yang jago mengolah rasa. Di sisi lain, Vino begitu jago dalam misinya mengaduk-aduk emosi penonton. Lihat aktingnya di "adegan karaoke" yang mampu memaksimalkan iringan lagu Ruang Baru milik Barsena Bestandhi.
Kristo Immanuel sebagai Fauzan, kawan sekaligus lawan dari Jaya, turut mencuri perhatian, berkontribusi memaksimalkan elemen komedinya. Saya menyukai penokohan Fauzan di sini. Berbeda dengan Dae-chang (Kim Gang-hyun) dari versi Korea, sosok Fauzan yang bukan muncul secara acak menekan sisi absurd yang mungkin kurang sesuai bagi selera penonton Indonesia.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar menonjol dari cara sang sutradara, Dinna Jasanti, mengarahkan filmnya. Baik adegan drama, komedi, maupun pertandingan judo, semua diarahkan sesuai formula. Bahkan harus diakui ada kalanya ia terlalu memaksa penonton meneteskan air mata. Tapi "sesuai formula" adalah kata kuncinya. Dinna tahu My Annoying Brother tak memerlukan modifikasi atau balutan gaya eksentrik. Dia biarkan semua mengalir apa adanya, sesuai pondasi yang memang sudah kokoh.
Berkatnya, semua bekerja dengan baik. Penonton kasual bakal membanjiri filmnya dengan sebutan "menyentuh" dan "lucu". Sebuah tontonan yang mengingatkan penontonnya untuk jangan menyia-nyiakan momen kebersamaan dengan orang-orang tercinta. Kita tidak tahu kejutan apa yang sudah disiapkan sang takdir.