REVIEW - DREAMS (SEX LOVE)

Dreams (Sex Love) yang melengkapi trilogi Sex, Dreams, Love karya Dag Johan Haugerud adalah satu dari sedikit film yang dengan sempurna merangkum rasanya jatuh cinta. Dipaparkannya bagaimana otak mempermainkan emosi kita, untuk menstimulasi fantasi bahagia sekaligus kecemasan berbasis asumsi liar. Lebih dari sekadar romansa, ia membicarakan koneksi antara pikiran dan jiwa. 

Johanne (Ella Øverbye), remaja 17 tahun, diam-diam memendam rasa terhadap Johanna (Selome Emnetu) si guru Bahasa Prancis. Haugerud mengajak kita mengobservasi gerak-gerik serta dinamika pikir Johanne yang tengah dimabuk cinta, dengan sesekali membawa alurnya melompat-lompat, menampilkan kilas balik atau visualisasi dari kegundahan batin si remaja. 

Seperti judulnya, film ini terkadang bergerak bak mimpi, atau potongan-potongan memori yang kabur. Kegalauan hati Johanne direpresentasikan. Dia berimajinasi, pula ada kalanya diperdaya ilusi kala memersepsikan keindahan sebagai kepahitan, atau sebaliknya. Senyum malu-malu menampakkan diri kala dibayangkannya kulit halus sang guru, sedangkan, tetesan air mata hadir saat menerjemahkan pemandangan sepele sebagai wujud cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Begitulah jatuh cinta. Kemayaan acap kali mengangkangi kenyataan akibat carut-marut rasa yang terpendam. Masalahnya, mencintai guru sendiri bukan perihal yang mudah disebarluaskan. Ketika tak satu pun orang dapat diajak bicara, siapakah yang mampu membebaskan Johanne dari beban perasaan? Di situlah dunia fantasi mengambil peran. Johanne mulai menuangkan kegulanaan lewat tulisan.  

Segala hal ia ceritakan, dari imajinasi yang terkesan cabul, ketakutan-ketakutan, hingga romantisasi atas perjalanan menuju kediaman sang tercinta, di mana blok-blok apartemen dan taman sederhana berubah jadi wadah bagi kenangan. Ya, Johanne akhirnya berhasil memasuki ruang personal Johanna dengan modus belajar merajut. 

Dibantu sinematografi arahan Cecilie Semec, Haugerud memotret dinginnya Oslo, yang tidak jarang nampak bak dunia mimpi: Daun-daun di pepohonan yang terlihat dari balik jendela sewaktu dibuat bergoyang oleh sapuan angin, hingga jalanan pegunungan yang diselimuti kabut. Tapi pemandangan berbeda terpampang saat kita memasuki apartemen Johanna. Lampu kuning temaram, juga setumpuk rajutan miliknya, terasa menghangatkan. Benarkah demikian, atau kita tengah menyaksikan persepsi bias dari kebahagiaan Johanne? 

Di satu titik, Johanne mengambil keputusan berat untuk memperlihatkan tulisannya ke Karin (Anne Marit Jacobsen), neneknya yang seorang penulis, dan sang ibu, Kristin (Ane Dahl Torp). Karin mengapresiasi tulisan cucunya sebagai karya sastra berkualitas, sedangkan Kristin awalnya ragu, apakah putrinya menuliskan realita sebagaimana adanya, atau tersimpan penafsiran berbeda terkait relasi Johanne dan Johanna. 

Perempuan tiga generasi yang sama-sama mengakrabkan diri dengan kesendirian itu pun mulai kerap terlibat obrolan. Dreams (Sex Love) menggambarkan pergeseran bentuk sebuah karya selepas menjadi konsumsi publik. Karya tersebut berevolusi. Bukan lagi sebatas catatan personal, melainkan materi diskursus yang dapat mencuatkan segudang interpretasi. 

Seluruh pelakonnya bersinar dalam proses saling memahami tersebut. Ella Øverbye memperlihatkan manis dan pahitnya cinta masa muda yang polos namun serius sehingga tak membuat penonton merendahkannya sembari berujar "Anak kecil tahu apa?", Anne Marit Jacobsen memamerkan ketenangan sambil menyertakan ambiguitas, sementara Ane Dahl Torp membuat saya tersentuh lewat mata berbinarnya ketika mendengar keluh kesah si buah hati tanpa tendensi menghakimi. 

Dreams (Sex Love) menunjukkan bahwa realita terkait cinta, maupun hubungan interpersonal apa saja, mungkin tidak seindah yang dibayangkan secara maya, namun kita sebagai manusia tetap akan mendambakannya. Mungkin karena sepahit apa pun kepahitan dari ekspektasi romantika yang terkhianati, tetap lebih membahagiakan ketimbang dihantui rasa sepi. 

REVIEW - KEADILAN

Menyaksikan Keadilan membuat darah saya mendidih. Bukan semata karena presentasinya, tapi ingatan yang timbul perihal situasi dunia nyata, di mana ketidakadilan terjadi tiap waktu, jauh sebelum, juga sesudah eksistensi film ini. Tapi di situlah salah satu kekuatan sinema berperan. Mungkin dia tak kuasa mengubah dunia, tapi memberi medium penciptanya mengkreasi semesta fiktif di mana kemustahilan realita tidaklah berlaku. 

Sebagai satpam persidangan, Raka (Rio Dewanto) sudah terbiasa melihat tumbulnya taring hukum terhadap pemilik modal. Ketidakadilan adalah bagian dari keseharian. Raka pun memilih bersikap apatis, berkebalikan dengan istrinya, Nina (Niken Anjani), yang baru saja lulus ujian advokat. Selepas makan malam sebagai perayaan kelulusan, Raka menemukan Nina yang sedang hamil tua, terbaring di toilet restoran dalam kondisi bersimbah darah akibat ditusuk pesahan kaca. 

Keadilan menandai kolaborasi sutradara beda negara: Yusron Fuadi (Indonesia) dan Lee Chang-hee (Korea Selatan). Adegan single take kala kamera arahan Guntur Arief Saputra diletakkan dalam mobil untuk menangkap proses Raka mengejar si pelaku penyerangan, punya nuansa yang "sangat sinema aksi Korea Selatan". 

Raka berhasil meringkus si pelaku, tapi malang, nyawa Nina tak lagi tertolong. Bayinya pun meninggal beberapa hari berselang. Nama si pembunuh adalah Dika (Elang El Gibran), putra salah satu orang terkaya. Timo (Reza Rahadian), pengacara yang telah sering membebaskan klien dari kalangan konglomerat pun direkrut untuk membela Dika. 

Reza memamerkan karsima tingkat tinggi kala memerankan pengacara yang 1000% yakin akan kemampuannya mengakali sistem. Kepercayaan dirinya setinggi langit. Dia bekerja bagi orang kaya, namun enggan menjilat kaki mereka. Lontaran sarkasme pun acap kali ia lemparkan bagi kliennya, yakni para anak manja yang hanya bisa lolos dari permasalahan berkat harta orang tua. 

Naskah buatan Yoon Hyun-Ho kemudian mengalihkan bentuk penceritaan ke arah triler ruang sidang, yang efektif memuncakkan amarah penonton saat mendapati ucapan kejam Dika pelan-pelan jadi kenyataan: Di depan buruknya pelaksanaan hukum, pembunuh dapat disulap menjadi bukan pembunuh. Raka yang enggan menerima ketidakadilan pun nekat membajak jalannya persidangan. 

Cara Keadilan mengeksekusi jalannya persidangan sejatinya tidak bisa disebut "cerdas". Banyak argumentasi, baik dari pihak korban maupun pelaku (yang konon digawangi oleh figur pengacara kelas satu), begitu gampang dibantah menggunakan fakta serta logika sederhana milik awam. Mengganggu pula sewaktu beberapa kalimat terdengar bak hasil terjemahan kasar, yang untungnya, sedikit tersamarkan karena diucapkan oleh jajaran pelakon handal seperti Reza dan Rio. 

Tapi jika triller intens yang memaparkan segalanya secara lantang tanpa kesubtilan merupakan jenis tontonan yang dicari, niscaya Keadilan mendatangkan kepuasan. Yusron dan Lee Chang-hee memastikan alurnya bergerak tanpa basa-basi, sembari sesekali melontarkan amunisi pemantik emosi. Semua dilakukan atas nama menjaga intensitas, dan tujuan itu berhasil dipenuhi. 

Satu hal yang patut direnungkan. Persidangan film ini dipimpin oleh Hanum (Dian Nitami), seorang hakim bersih yang prinsipnya mustahil digoyahkan, sehingga aksi gila Raka mampu terlaksana. Pada kenyataannya, besar kemungkinan seluruh perangkat persidangan sudah diubah menjadi mesin korup yang dijalankan penguasa kaya. Di hadapan realita yang sebegitu remuk, dunia dalam Keadilan yang belum layak disebut ideal pun bagaikan utopia. 

REVIEW - WICKED: FOR GOOD

Bagaimana cara melebihi presentasi musikal epik yang membawa Wicked (2024) melambung tinggi mengangkangi gravitasi? Selepas menonton sekuelnya saya belum menemukan jawaban, sebab Jon M. Cu dan tim pun sepertinya tidak tahu. Sebagai entitas tersendiri, Wicked: For Good adalah musikal yang solid, namun ia terbang jauh di bawah tingkatan pendahulunya. 

Kisahnya mengadaptasi babak kedua dari pertunjukan musikal Wicked (2003). Ada perbedaan mendasar. Jeda antar babak dalam musikal broadway hanya berlangsung sekitar 15 menit, bukan setahun layaknya versi film. Kita tetap akan mengingat poin-poin utama kisahnya, bisa pula menonton ulang, tapi tiada kontinuasi emosi. Mau tidak mau, koneksi dengan tokoh-tokohnya pasti merenggang meski sedikit.

Di ceritanya sendiri lima tahun telah berlalu. Elphaba (Cynthia Erivo) kini dipanggil "Wicked Witch of the West" dan ditakuti masyarakat Oz gara-gara propaganda dari Madame Morrible (Michelle Yeoh) dan Sang Penyihir Oz (Jeff Goldblum). Sebaliknya, Glinda (Ariana Grande) dipuja selaku suar harapan biarpun tak memiliki kemampuan sihir. 

Terkait cerita, sejatinya naskah buatan Dana Fox dan Winnie Holzman mengandung subteks lebih kaya dibanding film pertama, pun dengan karakterisasi yang diperdalam. Gesekan utamanya membicarakan perihal "kepalsuan". Glinda yang sejak kecil terjebak kepalsuan guna memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya, termasuk soal hal kecil seperti senyuman, jadi cerminan negeri Oz, sedangkan Elphaba merupakan katalis yang menghapus kepalsuan tersebut. 

Segalanya lebih politis, khususnya sentilan bagi manipulasi para pemegang kuasa. Di nomor musikal Wonderful, kita dipertontonkan cerminan menyesakkan dunia nyata, tatkala sang penguasa lalim menjual kebahagiaan-kebahagiaan palsu sebagai iming-iming supaya si pejuang mau mematikan perlawanan. Lalu jika sejenak mengalihkan atensi ke perjalanan Nessarose (Marissa Bode), terasa pula kepahitan seorang individu yang merindukan masa muda, di tengah kehidupan dewasa yang melenyapkan nurani serta kebahagiaan. 

Wicked: For Good turut menebalkan modifikasi radikalnya atas cerita buatan L. Frank Baum. Semakin anda mengenal dunia The Wizard of Oz (minimal adaptasi layar lebar klasik arahan Victor Fleming), akan semakin mengagumkan modifikasi tersebut. Entah gambaran peristiwa pasca keberangkatan Dorothy menyusuri yellow brick road yang jadi ajang Ariana Grande memamerkan talenta komikal jeniusnya, atau kemampuan mengubah nuansa upbeat dari konklusi klimaks versi aslinya jadi situasi getir sarat ironi. 

Masalah terbesar Wicked: For Good memang terletak di eksekusi musikalnya, baik mengenai lagu-lagu yang tak seberapa menempel di ingatan, maupun berkurangnya daya imaji dalam hal visualisasi. Nomor The Girl in the Bubble menawarkan eksplorasi teknis unik lewat beberapa peralihan sudut pandang, namun sisanya cenderung diisi oleh repetisi medioker dari barisan mahakarya film pertama. 

A Wicked Good Finale terkesan bak penutup seadanya bila dibandingkan Defying Gravity di babak pertama, walau setidaknya, momen itu diselamatkan oleh kombinasi Cynthia Erivo dan Ariana Grande. Keduanya bertukar emosi, menari-nari di antara obrolan hati ke hati, lalu menyulap kata-kata jadi bukan hanya suara, tapi lantunan nada pembawa rasa. 

Musikalnya memang menyisakan jejak-jejak kekecewaan, tapi sekali lagi, Wicked: For Good adalah cerita yang kaya. Terpenting, pada akhirnya ia enggan membebani protagonisnya dengan keharusan mengubah dunia. Bukan elu-elu selaku pahlawanan yang Elphaba dambakan, melainkan hak untuk berbahagia serta menerima cinta. 

REVIEW - PESUGIHAN SATE GAGAK

Di hadapan layar sinema, terlindung dalam ruang bioskop serta pemahaman bahwa mereka tengah menyaksikan kepalsuan, penonton cenderung merasa aman kala disuguhi horor. Apalagi jika konteksnya digeser ke produk lokal dengan tendensi mengumbar muka demit tanpa memahami akar kengeriannya. Jangankan seram, kesan konyol justru kerap muncul. Pesugihan Sate Gagak, selaku debut penyutradaraan Etienne Caesar dan Dono Pradana, merangkul kekonyolan tersebut. 

Naskah buatan Nuugro Agung tetap mengangkat mistisisme Jawa, yakni pesugihan sate gagak sebagaimana terpampang di judul. Tatkala banyak "horor serius" gagal menyulap mitologi klenik jadi presentasi menarik akibat sekadar asal melempar informasi, film ini benar-benar menjadikannya atraksi utama.  

Anto (Ardit Erwandha) yang hanya berprofesi sebagai pegawai warteg, sedang kelabakan menyiapkan pernikahannya dengan Andini (Yoriko Angeline), sebab ibu sang kekasih (Nunung) cuma memberinya waktu sebulan guna mengumpulkan mahar 150 juta. Terpikirlah sebuah jalan pintas, yakni melangsungkan ritual pesugihan sate gagak bersama dua sahabatnya yang juga terlilit masalah finansial, Dimas (Yono Bakrie) dan Indra (Benidictus Siregar).

Pengembangan kisahnya memang penuh kebodohan yang mengkhianati logika, bahkan untuk ukuran cerita mistis yang serba mustahil. Semua dilakukan atas nama tawa. Persoalan usia karakter penjual gagak yang diperankan Arif Alfiansyah misalnya. Tapi bukan berarti departemen penulisannya bekerja asal-asalan. 

Begitu melangkah keluar dari studio, seawam apa pun anda perihal dunia klenik, pemahaman mengenai pesugihan sate gagak bakal didapat. Serba-serbi ritualnya, syarat yang mesti dipenuhi, sampai dampak fatal dari pesugihan yang sekilas aman karena tak melibatkan tumbal manusia ini. Bukti bahwa naskahnya memperhatikan detail, dan sekali lagi, mampu memposisikannya sebagai menu utama alih-alih sekadar jualan muka demit. 

Demikian pula tentang karakterisasi. Sekilas tak ada karakter serius, baik trio tokoh utama, hingga jajaran pendukung seperti Abah Budi (Firza Valaza) si dukun, maupun para hantu selaku konsumen sate gagak. Semua berlaku senada dengan keabsurdan humornya. Tapi sewaktu dibutuhkan, mereka dapat berfungsi secara normal sebagai karakter yang utuh. 

Si dukun nyatanya jago menangani permasalahan mistis, para pelaku pesugihan tetap memiliki hati layaknya manusia biasa, sedangkan para demit yang sempat keracunan makanan, memperoleh kembali harga diri mereka kala diharuskan meneror bersenjatakan tata rias yang cukup mengerikan, juga kemunculan yang tak sebatas mengageti penonton.

Jasa para pemainnya tak bisa dielakkan. Materi komedi yang tidak seluruhnya segar pun mendapatkan kekuatan ekstra. Contoh: Mengolok-olok perawakan Beni adalah "amunisi mudah" untuk mengundang tawa yang sudah amat sering dipakai oleh film lain. Tapi kelihaian sang komedian mengolah raut wajah kala merespon olok-olok bagi fisiknya itu membuat keefektifan humornya tak luntur. Begitu juga seputar celotehan ngawur Arief Didu yang memerankan ayah Andini, hingga "nyanyian merdu" Arif Alfiansyah.

Pesugihan Sate Gagak bahkan cukup solid ketika melangkahkan kakinya ke ranah yang lebih dramatis. Melihat trio Anto-Dimas-Indra saling baku kata, melempar sumpah serapah dalam Bahasa Jawa setelah sebelumnya selalu bertingkah konyol, terasa jauh lebih "raw" ketimbang bumbu drama di jajaran horor lokal yang (katanya) serius. Mungkin pisuhan Jawa adalah ungkapan kemarahan menusuk yang menguatkan kesan manusiawi. 

REVIEW - NOW YOU SEE ME: NOW YOU DON'T

Pada babak puncak Now You See Me: Now You Don't, protagonisnya terjebak dalam kotak kaca berisi air. Mereka lolos pasca memecahkannya dengan cincin berlian. Kemampuan CGI meniadakan kemustahilan justru membuat sulap dalam film kehilangan pesona, yang kerap jadi batu sandungan seri Now You See Me. Tapi di sini, penulis naskah yang terdiri atas empat kepala bahkan enggan repot-repot memeras otak perihal trik sulap. 

Setidaknya ada satu pujian patut disematkan: Deretan trik sulapnya tak lagi terasa bak ilmu sihir alih-alih keterampilan sang seniman ilusi. Semua memungkinkan dicapai, meski beberapa memerlukan bantuan teknologi mutakhir. Sayang, sebagai gantinya kreativitas justru direnggut.

Selang 12 tahun pasca film pertama, aksi tiga pesulap muda — Charlie (Justice Smith), Bosco Leroy (Dominic Sessa), dan June McClure (Ariana Greenblatt) — jadi pemantik reuni para Horsemen setelah sekian lama. J. Daniel Atlas (Jesse Eisenberg), Merritt McKinney (Woody Harrelson), Jack Wilde (Dave Franco), dan Henley Reeves (Isla Fisher) mesti melupakan konflik yang dahulu membuat mereka terpecah belah, untuk kembali memberi pelajaran bagi orang kaya korup. 

Kali ini targetnya adalah Veronika Vanderberg (Rosamund Pike), pemilik perusahaan berlian yang terlibat pencucian uang berskala internasional. Pike habis-habisan menyuplai bobot emosi lewat totalitas aktingnya, berupaya menyulap Veronika sebagai antagonis dengan kerapuhan, tapi apa daya, penokohan dalam naskahnya kekurangan magnet. Veronika tak pernah terkesan memberi cukup ancaman bagi para jagoan. 

Masih soal naskah. Kali ini perihal alur yang begitu tipis, cincin berlian pun tak diperlukan untuk menghancurkannya. Selama kurang lebih 112 menit, penonton hanya dilempar dari satu destinasi ke destinasi berikutnya, berkelana mengunjungi negara demi negara, sambil sesekali diselingi set-piece selaku medium memamerkan trik sulap ala kadarnya.

Ketimbang bercerita, Now You See Me: Now You Don't lebih tertarik mengecoh ekspektasi penonton lewat twist. Bukankah pertunjukan sulap sendiri tak menganaktirikan penceritaan sebagai pendukung triknya? Kendati beberapa kelokan harus diakui ampuh memberi efek kejut, film ini tak ubahnya aksi pesulap yang langsung naik panggung lalu tanpa basa-basi melempar ilusi. Hambar. 

Penggambaran para Horsemen, yang nampak seperti tamu di film mereka sendiri akibat substansi peran yang pantas dipertanyakan, juga tidak kalah hambar. Dinamika antar karakter yang dulu amat berwarna kini terasa dingin, layaknya reuni canggung empat kawan lama. Barulah ketika Lula May (Lizzy Caplan) si ahli menyamar muncul dengan sarkasmenya, warna itu perlahan menampakkan semburatnya lagi. 

Prancis jadi salah satu tujuan, di mana Horsemen (plus tiga pesulap muda), bertemu Thaddeus Bradley (Morgan Freeman) di tempat persembunyian. Sebagai cara mengisi waktu luang, mereka bergantian menunjukkan trik, yang oleh Ruben Fleischer selaku sutradara, dipresentasikan lewat satu take panjang yang tampak menggelikan.

Pengarahan Fleischer memang jadi masalah kedua setelah naskah. Di tangan sutradara yang piawai mengolah gaya dan lebih punya tenaga menyusun aksi, "maraton trik" di atas, atau bahkan momen "kabur menggunakan cincin berlian", bisa saja melahirkan spektakel keren. 

REVIEW - SAMPAI TITIK TERAKHIRMU

Melalui jendela mes sempit salah satu tokoh utamanya di malam hari, kita bisa mengintip barisan gedung bertingkat memancarkan benderang kemewahan mereka yang dapat membutakan. Itulah mengapa Sampai Titik Terakhirmu lepas dari kategori eksploitasi murahan. Sebagaimana normalnya tearjerker, menguras air mata penonton tetap jadi tujuan, tapi pokok bahasan utamanya adalah perihal cahaya harapan di tengah ruang gelap yang sekilas tanpa harap. 

Naskah buatan Evelyn Afnilia mengadaptasi perjalanan romansa nyata antara Albi Dwizky (Arbani Yasiz) dan Shella Selpi Lizah (Mawar Eva de Jongh). Penghuni mes tadi adalah Albi, yang merantau dari Medan lalu bekerja sebagai pekerja kasar di perusahaan penyelenggara acara. Meski seorang diri, Albi rutin melakukan panggilan video dengan mamaknya (Tika Panggabean) di kampung. 

Shella tinggal bersama keluarga besar. Didin (Kiki Narendra), ayahnya, bekerja sebagai tukang ojek, sementara Erna (Unique Priscilla), ibunya, merupakan karyawan sebuah usaha penatu. Ada juga dua adiknya, Lydia (Yasamin Jasem) dan Dide (Shakeel Fauzi). Semua sibuk dengan rutinitas masing-masing, termasuk Shella yang aktif bermain sepak bola. Tapi tiap sore, meja makan di bawah tangga jadi ruang sempit yang selalu diisi tawa.

Paruh pertamanya hangat, bahkan tak jarang menggelitik. Entah karena kegemaran Lydia (Yasamin Jasem piawai menyeimbangkan sisi jahil dan penyayang karakternya) mengusili Dide, atau ocehan-ocehan trio tetangga tukang gosip: Nurul (Tj Ruth), Yeti (Siti Fauziah), dan Mamang Racing (Onadio Leonardo). Semua pemeran pendukung berjasa menjaga tingkat keefektifan humornya. 

Kehangatan itu lalu berkembang jadi romantisme selepas Albi dan Shella bertemu, kemudian jatuh cinta. Kecanggungan Albi yang dibawakan secara meyakinkan oleh Arbani, keceriaan Shella yang dihidupkan oleh Mawar, memudahkan penonton menikmati kebersamaan keduanya. Tidak ada romantika yang dilebih-lebihkan. Hanya dua manusia dari pinggiran kota yang kebetulan menemukan cinta sederhana. 

Sampai kesenduan mulai menghampiri kisahnya, sewaktu ditemukan kista di ovarium Shella. Kista itu membesar, begitu pula perutnya, memberi ilusi seolah ia tengah hamil, yang menyulut pergunjingan di kalangan tetangga. Poin ini penting, sebab jangankan di layar perak, di tatanan keseharian pun, kondisi medis tersebut masih jarang dibicarakan oleh masyarakat awam hingga berpotensi menyulut kesalahpahaman sebagaimana film ini perlihatkan.

Pengobatan demi pengobatan, rangkaian operasi yang tak kunjung usai, semuanya dilakukan namun kanker Shella malah terus memburuk. Dia tersiksa. Begitu pula batin orang-orang di sekelilingnya. Sampai Titik Terakhirmu tentu masih mengikuti beberapa pakem tearjerker bertema penyakit kronis yang menyoroti penderitaan tokoh-tokohnya. Tapi yang jadi pembeda, dia menolak berkutat di sana terlalu lama. 

Beberapa tetes air mata justru berasal dari pemandangan bernuansa positif seperti potret kebersamaan antar anggota keluarga, kunjungan Shella ke sebuah acara bagi para penyintas kanker, hingga kesediaan menertawakan kepiluan. Secara khusus saya menyukai keterlibatan singkat karakter Mamak. Kehadirannya menyimbolkan penyatuan ikatan dua keluarga. 

Di kursi sutradara, Dinna Jasanti tahu batas dalam hal dramatisasi. Bukan asal menumpahkan air mata atau memperdengarkan musik mengharu-biru, ada kalanya Dinna mengutamakan keintiman yang dimotori oleh performa jajaran pemainnya. Tengok saja saat Kiki Narendra dan Unique Priscilla beradu akting di adegan berlatar rumah sakit. Bukan sekadar menangisi penyakit, tapi lubang yang bakal diciptakannya dalam sebuah keluarga penuh kasih.