REVIEW - THE SUBSTANCE

Puas. Begitulah kesan yang muncul selepas menonton pemenang naskah terbaik di Festival Film Cannes 2024 ini. Ibarat makanan, The Substance memiliki segalanya, dari kelezatan cita rasa, gizi memadai, hingga porsi mengenyangkan. Wajar jika durasinya menyentuh 141 menit, dan selepas filmnya usai, karya terbaru Coralie Fargeat ini bakal membuat sebagian besar penonton berujar, "I couldn't ask for more". 

Mendesain filmnya sebagai body horror, Fargeat menumpahkan segala macam teror yang bisa dihasilkan oleh subgenre tersebut, dari luka-luka menyakitkan, hingga serangkaian transformasi aneh nan menjijikkan yang tubuh karakternya alami. 

Tapi tanpa transformasi itu pun, Elisabeth Sparkle (Demi Moore) telah menganggap tubuhnya menjijikkan karena faktor usia. Seorang bintang Hollywood di masa jayanya, kini di usia 50 tahun, Elisabeth hanyalah pembawa acara aerobik di televisi. Bahkan pekerjaan itu juga lepas dari genggamannya, akibat sang produser, Harvey (Dennis Quaid), ingin mencari sosok baru yang jauh lebih muda. 

Kita tahu mengapa Fargeat menamai karakternya "Harvey". Perangai eksentrik cenderung cartoonish, serta sikap merendahkan perempuan yang kerap sang produser tampakkan, membuatnya seperti peleburan antara Harvey Weinstein dan Vince McMahon. "Perempuan berumur 50 tidak lagi menarik", ucapnya sembari mengunyah udang dengan amat agresif sampai mengotori meja dan pakaian. Harvey tidak sadar bahwa dialah yang lebih menjijikkan. 

Agresivitas sang produser ditekankan oleh pemakaian close-up ekstrim, sebagai cara menyimbolkan, bahwa tendensi laki-laki menghakimi tubuh perempuan adalah tindakan yang menginvasi privasi. Sebagai perempuan, Elisabeth didorong untuk membenci dirinya sendiri oleh para laki-laki, yang kebetulan banyak memegang kuasa sehingga mampu menyetir perspektif publik. 

Elisabeth pun merasa kesepian. Kita melihat bagaimana semua orang, dari sang produser hingga dokter, cenderung menghindari interaksi dengannya dan pergi secara tiba-tiba kala menemuinya. Dari situlah Elisabeth tergoda untuk mencoba serum "The Substance"  yang menjanjikan terciptanya versi lebih sempurna dari sang pengguna. Maka lahirlah sosok baru yang jauh lebih muda. Dia dipanggil Sue (Margaret Qualley). Semua berjalan mulus di awal, sampai perubahan-perubahan fisik yang tak menyenangkan mulai terjadi. 

Cara kerja serum "The Substance", yang memiliki aturan jelas berkat terjabarkannya detail secara menyeluruh, menunjukkan betapa kuat naskah buatan Fargeat dalam mengembangkan konsepnya. Seperti telah disebutkan, durasinya yang cukup panjang benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin. 

Pecinta film genre akan dibuat kagum oleh keliaran body horror yang tak menahan diri, sedangkan penyuka karya artsy bakal terpuaskan oleh eksplorasi isu yang relevan, serta tergalinya aspek psikolgosi si tokoh utama yang memberi peluang bagi Demi Moore untuk menggila. Tatkala Margaret Qualley sempurna mewujudkan konsep "kecantikan yang mematikan", Demi Moore (terutama di babak akhir) menanggalkan semua citra elegan miliknya, guna menumpahkan seluruh luka yang Elisabeth alami, baik fisik maupun psikis. 

The Substance bukan suguhan blockbuster, namun Fargeat memastikan bahwa theatrical experience merupakan cara terbaik untuk menikmati karyanya. Visualnya cantik. Sinematografi arahan Benjamin Kracun mampu menangkap tata artistiknya yang indah tetapi kosong, sama seperti gemerlap dunia hiburan yang memenuhi pikiran Elisabeth. Tata suaranya di luar dugaan terdengar bombastis. Berkatnya, terbangun atmosfer yang dapat menenggelamkan penonton dalam mimpi buruk bernama "standar kecantikan".

Babak ketiganya jadi panggung bagi semua departemen yang terlibat. Sebuah panggung berisi pertunjukan body horror sinting yang takkan nampak kerdil di hadapan karya-karya David Cronenberg sekalipun. Anggota tubuh yang berubah wujud secara berkala, dari sekadar kerutan biasa hingga transformasi bak monster, menjadi sajian utama. Didukung efek praktikal kelas wahid, Coralie Fargeat menumpahkan banjir darah yang mengalir sederas judul-judul ikonik seperti Evil Dead (2013) dan Braindead (1992). 

REVIEW - UPRISING

Teks mengenai bagaimana filsuf Jeong Yeo-rip menyuarakan kesetaraan antara semua manusia, termasuk bangsawan dan budak, membuka Uprising. Penonton seolah digiring untuk berasumsi kalau film yang tengah ditonton adalah kisah inspiratif tentang perjuangan sang filsuf menghapus jurang kelas. Kemudian kamera bergerak ke bawah, memperlihatkan sosok Jeong Yeo-rip dari belakang, dengan pedang terhunus di leher. Dia bunuh diri saat pasukan kerajaan hendak menangkapnya atas tuduhan pengkhianatan. 

Hanya dalam waktu sekitar 10 detik, Uprising sudah berhasil melempar twist cerdik. Wajar saja, mengingat Park Chan-wook terlibat dalam proses penulisan naskah (bersama Shin Cheol). Sedangkan kursi sutradara ditempati Kim Sang-man, yang pernah beberapa kali bekerja di bawah Park Chan-wook, termasuk sebagai penata artistik di Joint Security Area (2000). 

Alurnya mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Seonjo (Cha Seung-won) di akhir abad 16, ketika perbudakan masih jamak terjadi. Jika salah satu orang tuanya adalah budak, maka seorang anak otomatis juga menjadi budak. Cheon Yeong (Gang Dong-won) bernasib serupa. Uniknya, Cheon Yeong menjalin pertemanan dengan Lee Jong-ryeo (Park Jeong-min), putra dari bangsawan yang memperbudak dirinya. 

Pertemanan tersebut menghadapi ujian seiring keduanya tumbuh dewasa. Cheon Yeong mengharapkan kebebasan, Jong-ryeo mulai mendapat posisi tinggi di kerajaan. Suatu peristiwa yang terjadi berdekatan dengan invasi pasukan Jepang terhadap Joseon akhirnya membuat mereka bermusuhan. Cheon Yeong dengan jubah birunya, Jong-ryeo dengan seragam kebesaran merahnya. Keduanya berlawanan sekaligus saling melengkapi, layaknya konsep taegeuk yang terpampang di bendera Korea Selatan. 

Bukankah warna merah di taegeuk menyimbolkan energi negatif? Di situlah perspektif film ini menampakkan daya tariknya. Kelak Cheon Yeong bergabung dengan kelompok militan yang tak hanya berperang melawan tentara Jepang, pula berusaha meruntuhkan sistem perbudakan. Bagi pemerintahan Seonjo tentu eksistensinya bersifat negatif. Pertanyaannya, apakah sesuatu yang buruk di mata penguasa juga buruk bagi rakyat jelata? 

Film ini menolak sedikitpun menjustifikasi kebobrokan monarki yang begitu mendewakan sang raja. Tidak ada kata "tapi", tidak ada romantisasi. Uprising adalah suguhan yang mengubah perspektif konservatif genre sageuk menjadi sebuah karya progresif. Maka tidak heran ketika musik gubahan Cho Young-wuk pun menolak pakem konvensional kala meleburkan nada-nada tradisional khas genrenya dengan distorsi rock yang lebih modern, dan sedikit bumbu noir. 

Naskahnya gemar memunculkan komparasi. Salah satu teknik yang paling sering dipakai adalah saat beberapa kali, dua peristiwa yang terkesan berlawanan dijahit secara bergantian. Sewaktu sang raja memusingkan pembangunan ulang istana supaya lebih megah, rakyatnya bingung mencari cara bertahan hidup. Tatkala pasukan budak berjuang membantai penjajah, prajurit kerajaan malah sibuk membantai rakyat. 

Di satu titik, rakyat yang sudah jengah terhadap sikap sewenang-wenang raja yang kabur meninggalkan mereka di tengah serangan Jepang, melampiaskan amarah dengan membakar pusat kota. Dari kejauhan, Raja Seonjo melihat kobaran api tersebut lalu berujar, "Kenapa rakyatku melakukan itu?". Bagi sang raja ia tidak berdosa, walau pada kenyataannya, si penguasa lalim sama saja dengan para penjajah. 

Kekuatan penceritaan Uprising disempurnakan oleh pengarahan Kim Sang-man yang penuh gaya. Selain gelaran aksi yang tak ragu membanjiri layar dengan kekerasan berdarah, sang sutradara pun berulang kali melempar kejutan (mayoritas adalah kejutan yang menyakitkan) secara cerdik, entah dengan bantuan gerak kamera dalam sinematografi garapan Ju Sung-rim, maupun departemen penyuntingan yang ditangani Han Mi-yeon. 

(Netflix)

REVIEW - PULAU HANTU

Film Pulau Hantu orisinal populer karena alasan yang keliru. Meraup lebih dari 634 ribu penonton (tertinggi keenam ditahun 2007), ia pun berkembang menjadi trilogi yang berkontribusi mempopulerkan formula horor seksi. Selepas turun layar, kaset VCD-nya jadi primadona banyak rental film untuk menggaet perhatian remaja laki-laki yang ingin melihat para aktris berbikini berlarian di pantai. 

Selang 17 tahun kemudian, remake-nya dirilis dengan tujuan modernisasi. Digarap oleh Ferry Pei Irawan yang melakoni debut sebagai sutradara, adegan seksi serba nanggung bukan lagi fokus utama. Pulau Hantu versi baru ini adalah contoh kasus di mana eksistensi sebuah remake patut dijustifikasi. 

Setup yang dipakai sejatinya masih familiar. Dara (Taskya Namya), Noah (Bukie B. Mansyur), Lathi (Hannah Hannon), Niki (Cindy Nirmala), dan Pandu (Samo Rafael) tengah berlibur sebelum kapal yang mereka naiki karam di sebuah pulau asing yang tak terdeteksi oleh GPS. Bedanya, alih-alih bermain air di pantai, mereka masih punya cukup akal sehat untuk menghabiskan waktu dengan berusaha mencari jalan keluar. 

Di sisi lain, naskah buatan Erwanto Alphadullah sesekali mengajak kita kembali ke masa lalu guna mempelajari sejarah pulau tersebut, yang dahulu adalah lokasi sebuah rumah sakit jiwa. Mala (Amanda Green) yang sejak kecil kerap jadi korban tindak kekerasan sang ayah (Verdi Solaiman) merupakan salah satu pasien. Dialah orang di balik sosok "hantu mangap" legendaris yang bakal menghabisi karakternya satu demi satu. 

Ambisi film ini menaikkan derajat seri Pulau Hantu memang kentara. Hilangnya keseksian tanpa arti, ditambah pemberian latar belakang bagi si hantu, adalah beberapa cara yang dipakai. Alur yang enggan terlalu lama berkutat di satu karakter dan secara rutin berganti sudut pandang pun menunjukkan upaya sang penulis naskah menghindarkan kesan monoton.

Masalahnya, efektivitas trik di atas tidak bertahan lama. Penceritaan ala kadarnya yang cuma menampilkan penelusuran lima orang (dengan penokohan dangkal) mengelilingi pulau, tanpa misteri dan urgensi, bakal segera terasa membosankan. Di sinilah semestinya elemen horor datang sebagai penyelamat. 

Sedari dulu hantu mangap bukanlah antagonis yang kreatif. Modus operandinya sederhana: membunuh mangsa satu per satu. Mungkin itulah yang melandasi keputusan untuk semakin mendekatkan Pulau Hantu ke ranah slasher. Tapi patut diingat, mencampurkan formula horor supernatural dengan slasher tidak segampang kelihatannya, dan sayangnya, poin tersebut menjadi batu sandungan untuk Pulau Hantu. 

Naskahnya sendiri seolah terjebak di tengah percabangan dua subgenre tersebut. Hasilnya adalah sebuah konklusi yang terasa menggelikan, sebab naskahnya bak kebingungan mencampuradukkan keduanya (orang bodoh mana yang coba meledakkan hantu?). Bahkan penampilan kuat Taskya Namya, yang kembali piawai menyalurkan rasa takut lewat totalitasnya, sehingga membuat penonton percaya bahwa si karakter tengah mengalami teror luar biasa mengerikan, tak mampu membuat saya melupakan kebodohan itu. 

Kemudian terkait hal terpenting dalam film slasher, yakni "teknik membunuh". Kecuali sebuah pemandangan brutal yang melibatkan tabung gas di babak ketiga, Pulau Hantu terkesan kurang kreatif dalam mengemas adegan kematiannya. Walau dibekali kekuatan supernatural, si hantu mangap nyatanya adalah pembunuh yang miskin kreativitas. Ditambah lagi, Ferry Pei Irawan seperti malu-malu dalam mengolah kebrutalan sang hantu.

Mungkin Ferry ingin filmnya tampil elegan, sehingga tak menampilkan kematian dengan gamblang, pula menolak buru-buru memunculkan wajah si hantu. Tidak banyak sutradara horor kita memedulikan citra "elegan", tapi mungkin bukan itu yang Pulau Hantu butuhkan. Mungkin ia justru memerlukan pendekatan "trashy" agar bisa memberi hiburan secara maksimal. 

REVIEW - KEMAH TERLARANG: KESURUPAN MASSAL

Film yang terkesan kebingungan menentukan judul ini mengangkat kisah nyata mengenai kesurupan massal yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 silam. Entah seberapa autentik alurnya dalam menuturkan realita, tapi setidaknya Kemah Terlarang: Kesurupan Massal bersedia mengusahakan kesan autentik terkait sisi kultural. 

Tidak perlu menelisik terlalu jauh. Cukup simak pengucapan Bahasa Jawa tokoh-tokohnya yang terdengar nyaman di telinga. Banyak cast-nya memang berasal dari Jawa, sedangkan para aktor "luar" tidak asal membuka mulut. Misal Derby Romero, yang meski masih sesekali keceplosan mengeluarkan logat Jakarta, secara keseluruhan cukup apik berbicara kromo (Bahasa Jawa halus). 

Derby memerankan Heru, pembina bagi para murid yang hendak menjalankan kegiatan kemah. Miko (Fatih Unru) bertindak selaku ketua acara, yang turut diikuti Rini (Callista Arum). Miko menyukai Rini, yang dikenal sebagai gadis lemah karena menderita asma. Rini berambisi menanggalkan anggapan tersebut, dan kemah kali ini hendak ia jadikan ajang pembuktian. 

Salah satunya melalui pementasan drama panggung mengenai kisah legenda Roro Putri (Nihna Fitria) yang diarahkan oleh Heru. Rini naik pangkat menjadi cadangan pemeran utama, setelah Heru mengetahui weton miliknya. Salah satu poin menarik dalam Kemah Terlarang: Kesurupan Massal adalah bagaimana naskah yang ditulis oleh Lele Laila bersama sang sutradara, Ginanti Rona, benar-benar memberi peran sentral kepada elemen klenik Jawa, ketimbang sebatas menjadikannya pernak-pernik belaka. 

Sayang, begitu kemah dilaksanakan, alurnya cenderung stagnan. Padahal kesan mencekam mampu dibangun tatkala peristiwa kesurupan pertama terjadi. Skenario "siswa kesurupan jadi jago semafor" yang di atas kertas terdengar konyol, nyatanya mampu dikemas secara mengerikan oleh Ginanti Rona. Ada perasaan pedih membayangkan seorang bocah tak berdosa dibuat tidak berdaya lalu melukai diri sendiri dengan sedemikian brutal. Ginanti pun memilih untuk menjaga kesehatan telinga penonton dengan tak bergantung pada jumpscare berhiaskan efek suara berisik. 

Sisanya? Membosankan. Lele dan Ginanti seperti cuma merampungkan daftar jenis-jenis kesurupan yang wajib ditampilkan. Kesurupan sambil menari? Ada. Kesurupan sambil meminta dipakaikan kafan? Ada juga. Satu hal yang tidak ada di rentetan kejadian tersebut adalah intensitas, yang senantiasa absen hingga babak puncaknya yang antiklimaks. Tidak ada build-up memadai maupun urgensi di tiap situasi. 

Sekali lagi, naskahnya patut dipuji terkait penerapan elemen kleniknya. Kesan autentik dalam pemakaian Bahasa Jawa pun tak lepas dari departemen penulisan. Kapan terakhir kali ada film produksi ibukota dengan latar Yogyakarta, membuat karakternya saling memanggil memakai kata "dab"? 

Andai saja penceritaannya lebih kuat. Ada potensi besar. Salah satunya mengenai pementasan drama garapan Heru, yang kalau saja mendapat eksplorasi mendalam, bisa menghadirkan penelusuran tentang relasi kesenian dengan budaya mistis. Sebuah dinamika yang "sangat Jogja".

Andai saja itu yang naskahnya lakukan, alih-alih menciptakan kopian bagi KKN di Desa Penari (muda-mudi mengunjungi desa penuh misteri, hantu perempuan jago menari yang doyan memuji aroma tubuh korbannya, ular sebagai salah satu sumber teror), dengan format alur yang mengundang tanda tanya seputar substansi. 

Di adegan pembuka, kita melihat seorang jurnalis mewawancarai Miko guna menggali informasi perihal kesurupan massal yang ia alami (keseluruhan kisah film ini adalah flashback). Tapi Kemah Terlarang: Kesurupan Massal tak mengambil format investigasi, sebab sebelum ending tak sekalipun kita kembali ke momen wawancara tersebut. Hanya ada voice over suara Miko yang sekali terdengar, seolah diselipkan paksa supaya penonton ingat bahwa alur film ini merupakan flashback yang ia tuturkan. Sungguh janggal.

REVIEW - LOVE IN THE BIG CITY

Ketika memutuskan menonton Love in the Big City, saya cuma berharap disuguhi komedi romantis ringan nan manis khas Korea Selatan. Semua berawal sesuai ekspektasi. Heung-soo (Noh Sang-hyun) yang cenderung tak menonjol, diam-diam mengamati Jae-hee (Kim Go-eun) yang menarik perhatian semua orang lewat sikap semau sendiri miliknya. Mereka sama-sama mahasiswa Sastra Prancis. 

Terkesan seperti intro komedi romantis pada umumnya, yang membuat penonton menantikan meet cute kedua tokoh utama. Sampai naskah buatan Kim Na-deul, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Sang Young Park, melempar kejutan. Suatu malam, Jae-hee yang tengah mabuk menggoda dua laki-laki yang sedang berciuman di jalan. Salah satunya adalah Heung-soo. 

Sejak itulah Love in the Big City berevolusi. Heung-soo dan Jae-hee memang takkan bercinta, namun tetap ditakdirkan bersama. Laki-laki gay yang menyembunyikan preferensi demi menghindari persekusi, dan perempuan berjiwa bebas yang mendapat cap "nakal". Persahabatan pun tumbuh. Mereka tinggal bersama, kerap bertukar cerita, sambil sesekali bersantai memakai masker sembari mendengarkan lagu Bad Girl Good Girl dari Miss A. Tiada kekhawatiran benih cinta bakal tumbuh dan mengancam jalinan persahabatan. 

Masing-masing menyimpan kegamangan. Sebagai closeted gay, Heung-soo tak bisa dengan bebas menjalin asmara meski telah menemukan sosok yang ia cinta. Sedangkan kegemarannya mabuk-mabukan di klub malam membuat Jae-hee acap kali digosipkan bergonta-ganti pacar. Dia dipanggil "murahan", di saat laki-laki hidung belang justru dianggap keren karena mampu merebut hati banyak perempuan. 

Love in the Big City memperlihatkan betapa jahatnya masyarakat terhadap individu yang dirasa "berbeda", entah terkait preferensi seksual maupun peran gender. Presentasinya cerdas, begitu pula caranya menyeimbangkan elemen drama dan komedi lewat penulisan jeli, maupun penyutradaraan dengan sensitivitas tinggi dari E.oni. Lihat bagaimana dalam adegan "darah di toilet", filmnya mampu dengan cepat beralih dari kesan tragis menjadi jenaka. 

Dualitasnya memang mengagumkan. Misal seputar kebiasaan ibu Heung-soo (Jang Hye-jin) pergi ke gereja lalu berdoa setiap pagi buta supaya sang putra "sembuh" dan tak lagi menyukai sesama laki-laki. Ada kalanya situasi tersebut hadir untuk ditertawakan, namun ada pula momen ketika itu menjadi sesuatu yang menyakitkan. 

Akting dua pemeran utamanya pun membawa semangat serupa. Noh Sang-hyun dan Kim Go-eun begitu jago "berganti wajah". Di satu titik mereka menyulut tawa, lalu beberapa saat kemudian berubah memancing haru. Di balik gelas demi gelas alkohol yang rutin menemani malam hari mereka, ada kepedihan terpancar dari mata masing-masing. Karena itulah semesta menyatukan Heung-soo dan Jae-hee. Supaya ketika rasa pedih itu tak lagi terbendung, keduanya bisa berlari ke pelukan satu sama lain.

REVIEW - THE WILD ROBOT

Visual The Wild Robot yang menyerupai sapuan cat air membuatnya seperti lukisan bergerak. Sebuah dongeng yang dihidupkan di layar perak. Indah. Tapi di bawah arahan Chris Sanders (Lilo & Stitch, How to Train Your Dragon) keindahan itu merasuk jauh ke dalam, melebihi tampilan luar semata. 

Kisahnya berasal dari buku berjudul sama buatan Peter Brown, di mana seperti judulnya, berpusat pada proses sebuah robot beradaptasi di alam liar. ROZZUM Unit 7134 (Lupita Nyong'o) adalah nama sang robot, tapi kita sebut saja dia "Roz", sesuai dengan nama panggilan yang diberikan para hewan di pulau tempatnya terdampar. Ya, Roz terdampar di pulau terpencil pasca pesawat kargo yang membawanya mengalami kecelakaan. 

Di pulau itulah mayoritas kisahnya bakal dituturkan, walau kita juga bakal berkesempatan mengintip ke luar, dalam momen yang filmnya pakai untuk memberi gambaran singkat mengenai dunia seperti apa yang menjadi latar The Wild Robot. Film ini memberikan contoh terkait teknik worldbuilding yang cerdik sekaligus efektif. 

Roz diciptakan dengan tujuan membantu manusia. Alhasil, di tempat tanpa manusia tujuan itu jadi tak berarti. Apalagi para hewan takut pada Roz dan menganggapnya monster. Dia pun hanya bisa terus berjalan, sementara kita diajak menikmati indahnya goresan warna yang menghidupkan alam tempat kaki Roz berpijak. Bukan semata karena pemakaian tekstur ala cat air, keindahan visualnya juga berasal dari kepekaan sang sutradara dalam hal membingkai "shot". 

Serupa manusia yang dilepaskan ke alam liar bernama "realita", Roz pun harus belajar dari nol, guna menguasai hal-hal yang tak tertanam dalam programnya. Kemiripan itulah yang membuat proses Roz berkembang dari "sebuah" menjadi lebih dekat ke arah "seorang" terasa emosional. Penonton dapat dengan mudah terhubung dengannya. Ditambah lagi kuatnya isian suara Lupita, yang seiring berjalannya waktu, pelan-pelan semakin terdengar tidak robotik dan lebih manusiawi. 

Proses terberat yang Roz lalui bermula saat ia harus merawat angsa kecil yang diberi nama Brightbill (Kit Connor), dengan hanya dibantu oleh Fink (Pedro Pascal) si rubah merah licik. Roz kini menjadi layaknya seorang ibu, yang mendidik Brightbill supaya dapat segera terbang guna bermigrasi bersama angsa lain sebelum musim dingin tiba. 

Interaksi ketiganya tersaji menarik. Bahkan secara lebih luas, interaksi semua penghuni hutan disusun dengan begitu baik oleh naskah buatan Chris Sanders. Cara mereka bertukar kalimat tidaklah monoton, di mana sesekali selipan humor, yang tidak ragu melangkah ke ranah yang lebih gelap, hadir menyegarkan suasana. 

Jatuh bangun Roz merawat Brightbill. Berbagai bahaya mereka lewati, dan sedikit demi sedikit besi yang menyusun tubuhnya mulai keropos. Roz melemah, dan pikiran banyak penonton bakal segera dipenuhi gambaran ibu masing-masing, yang tanpa kita sadari semakin menua. Uban di rambut serta keriput wajahnya bertambah, namun kasih sayangnya kepada kita tak berkurang. Kesedihan menyesakkan kala melepas sang buah hati untuk terbang melihat dunia luas pun enggan ia perlihatkan. 

Chris Sanders berhasil menciptakan banyak pemandangan mengharukan berbasis hubungan ibu-anak tersebut, yang tidak hanya didukung kekuatan visual, tapi juga audio. Sebuah montase berhiaskan lagu Kiss The Sky dari Maren Morris jadi salah satu contoh terbaik. Ada kalanya kesan buru-buru muncul dari penceritaannya, tapi itu tidak sebanding dengan rangkaian pencapaian yang mampu film ini raih.