REVIEW - PULAU HANTU

Film Pulau Hantu orisinal populer karena alasan yang keliru. Meraup lebih dari 634 ribu penonton (tertinggi keenam ditahun 2007), ia pun berkembang menjadi trilogi yang berkontribusi mempopulerkan formula horor seksi. Selepas turun layar, kaset VCD-nya jadi primadona banyak rental film untuk menggaet perhatian remaja laki-laki yang ingin melihat para aktris berbikini berlarian di pantai. 

Selang 17 tahun kemudian, remake-nya dirilis dengan tujuan modernisasi. Digarap oleh Ferry Pei Irawan yang melakoni debut sebagai sutradara, adegan seksi serba nanggung bukan lagi fokus utama. Pulau Hantu versi baru ini adalah contoh kasus di mana eksistensi sebuah remake patut dijustifikasi. 

Setup yang dipakai sejatinya masih familiar. Dara (Taskya Namya), Noah (Bukie B. Mansyur), Lathi (Hannah Hannon), Niki (Cindy Nirmala), dan Pandu (Samo Rafael) tengah berlibur sebelum kapal yang mereka naiki karam di sebuah pulau asing yang tak terdeteksi oleh GPS. Bedanya, alih-alih bermain air di pantai, mereka masih punya cukup akal sehat untuk menghabiskan waktu dengan berusaha mencari jalan keluar. 

Di sisi lain, naskah buatan Erwanto Alphadullah sesekali mengajak kita kembali ke masa lalu guna mempelajari sejarah pulau tersebut, yang dahulu adalah lokasi sebuah rumah sakit jiwa. Mala (Amanda Green) yang sejak kecil kerap jadi korban tindak kekerasan sang ayah (Verdi Solaiman) merupakan salah satu pasien. Dialah orang di balik sosok "hantu mangap" legendaris yang bakal menghabisi karakternya satu demi satu. 

Ambisi film ini menaikkan derajat seri Pulau Hantu memang kentara. Hilangnya keseksian tanpa arti, ditambah pemberian latar belakang bagi si hantu, adalah beberapa cara yang dipakai. Alur yang enggan terlalu lama berkutat di satu karakter dan secara rutin berganti sudut pandang pun menunjukkan upaya sang penulis naskah menghindarkan kesan monoton.

Masalahnya, efektivitas trik di atas tidak bertahan lama. Penceritaan ala kadarnya yang cuma menampilkan penelusuran lima orang (dengan penokohan dangkal) mengelilingi pulau, tanpa misteri dan urgensi, bakal segera terasa membosankan. Di sinilah semestinya elemen horor datang sebagai penyelamat. 

Sedari dulu hantu mangap bukanlah antagonis yang kreatif. Modus operandinya sederhana: membunuh mangsa satu per satu. Mungkin itulah yang melandasi keputusan untuk semakin mendekatkan Pulau Hantu ke ranah slasher. Tapi patut diingat, mencampurkan formula horor supernatural dengan slasher tidak segampang kelihatannya, dan sayangnya, poin tersebut menjadi batu sandungan untuk Pulau Hantu. 

Naskahnya sendiri seolah terjebak di tengah percabangan dua subgenre tersebut. Hasilnya adalah sebuah konklusi yang terasa menggelikan, sebab naskahnya bak kebingungan mencampuradukkan keduanya (orang bodoh mana yang coba meledakkan hantu?). Bahkan penampilan kuat Taskya Namya, yang kembali piawai menyalurkan rasa takut lewat totalitasnya, sehingga membuat penonton percaya bahwa si karakter tengah mengalami teror luar biasa mengerikan, tak mampu membuat saya melupakan kebodohan itu. 

Kemudian terkait hal terpenting dalam film slasher, yakni "teknik membunuh". Kecuali sebuah pemandangan brutal yang melibatkan tabung gas di babak ketiga, Pulau Hantu terkesan kurang kreatif dalam mengemas adegan kematiannya. Walau dibekali kekuatan supernatural, si hantu mangap nyatanya adalah pembunuh yang miskin kreativitas. Ditambah lagi, Ferry Pei Irawan seperti malu-malu dalam mengolah kebrutalan sang hantu.

Mungkin Ferry ingin filmnya tampil elegan, sehingga tak menampilkan kematian dengan gamblang, pula menolak buru-buru memunculkan wajah si hantu. Tidak banyak sutradara horor kita memedulikan citra "elegan", tapi mungkin bukan itu yang Pulau Hantu butuhkan. Mungkin ia justru memerlukan pendekatan "trashy" agar bisa memberi hiburan secara maksimal. 

REVIEW - KEMAH TERLARANG: KESURUPAN MASSAL

Film yang terkesan kebingungan menentukan judul ini mengangkat kisah nyata mengenai kesurupan massal yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 silam. Entah seberapa autentik alurnya dalam menuturkan realita, tapi setidaknya Kemah Terlarang: Kesurupan Massal bersedia mengusahakan kesan autentik terkait sisi kultural. 

Tidak perlu menelisik terlalu jauh. Cukup simak pengucapan Bahasa Jawa tokoh-tokohnya yang terdengar nyaman di telinga. Banyak cast-nya memang berasal dari Jawa, sedangkan para aktor "luar" tidak asal membuka mulut. Misal Derby Romero, yang meski masih sesekali keceplosan mengeluarkan logat Jakarta, secara keseluruhan cukup apik berbicara kromo (Bahasa Jawa halus). 

Derby memerankan Heru, pembina bagi para murid yang hendak menjalankan kegiatan kemah. Miko (Fatih Unru) bertindak selaku ketua acara, yang turut diikuti Rini (Callista Arum). Miko menyukai Rini, yang dikenal sebagai gadis lemah karena menderita asma. Rini berambisi menanggalkan anggapan tersebut, dan kemah kali ini hendak ia jadikan ajang pembuktian. 

Salah satunya melalui pementasan drama panggung mengenai kisah legenda Roro Putri (Nihna Fitria) yang diarahkan oleh Heru. Rini naik pangkat menjadi cadangan pemeran utama, setelah Heru mengetahui weton miliknya. Salah satu poin menarik dalam Kemah Terlarang: Kesurupan Massal adalah bagaimana naskah yang ditulis oleh Lele Laila bersama sang sutradara, Ginanti Rona, benar-benar memberi peran sentral kepada elemen klenik Jawa, ketimbang sebatas menjadikannya pernak-pernik belaka. 

Sayang, begitu kemah dilaksanakan, alurnya cenderung stagnan. Padahal kesan mencekam mampu dibangun tatkala peristiwa kesurupan pertama terjadi. Skenario "siswa kesurupan jadi jago semafor" yang di atas kertas terdengar konyol, nyatanya mampu dikemas secara mengerikan oleh Ginanti Rona. Ada perasaan pedih membayangkan seorang bocah tak berdosa dibuat tidak berdaya lalu melukai diri sendiri dengan sedemikian brutal. Ginanti pun memilih untuk menjaga kesehatan telinga penonton dengan tak bergantung pada jumpscare berhiaskan efek suara berisik. 

Sisanya? Membosankan. Lele dan Ginanti seperti cuma merampungkan daftar jenis-jenis kesurupan yang wajib ditampilkan. Kesurupan sambil menari? Ada. Kesurupan sambil meminta dipakaikan kafan? Ada juga. Satu hal yang tidak ada di rentetan kejadian tersebut adalah intensitas, yang senantiasa absen hingga babak puncaknya yang antiklimaks. Tidak ada build-up memadai maupun urgensi di tiap situasi. 

Sekali lagi, naskahnya patut dipuji terkait penerapan elemen kleniknya. Kesan autentik dalam pemakaian Bahasa Jawa pun tak lepas dari departemen penulisan. Kapan terakhir kali ada film produksi ibukota dengan latar Yogyakarta, membuat karakternya saling memanggil memakai kata "dab"? 

Andai saja penceritaannya lebih kuat. Ada potensi besar. Salah satunya mengenai pementasan drama garapan Heru, yang kalau saja mendapat eksplorasi mendalam, bisa menghadirkan penelusuran tentang relasi kesenian dengan budaya mistis. Sebuah dinamika yang "sangat Jogja".

Andai saja itu yang naskahnya lakukan, alih-alih menciptakan kopian bagi KKN di Desa Penari (muda-mudi mengunjungi desa penuh misteri, hantu perempuan jago menari yang doyan memuji aroma tubuh korbannya, ular sebagai salah satu sumber teror), dengan format alur yang mengundang tanda tanya seputar substansi. 

Di adegan pembuka, kita melihat seorang jurnalis mewawancarai Miko guna menggali informasi perihal kesurupan massal yang ia alami (keseluruhan kisah film ini adalah flashback). Tapi Kemah Terlarang: Kesurupan Massal tak mengambil format investigasi, sebab sebelum ending tak sekalipun kita kembali ke momen wawancara tersebut. Hanya ada voice over suara Miko yang sekali terdengar, seolah diselipkan paksa supaya penonton ingat bahwa alur film ini merupakan flashback yang ia tuturkan. Sungguh janggal.

REVIEW - LOVE IN THE BIG CITY

Ketika memutuskan menonton Love in the Big City, saya cuma berharap disuguhi komedi romantis ringan nan manis khas Korea Selatan. Semua berawal sesuai ekspektasi. Heung-soo (Noh Sang-hyun) yang cenderung tak menonjol, diam-diam mengamati Jae-hee (Kim Go-eun) yang menarik perhatian semua orang lewat sikap semau sendiri miliknya. Mereka sama-sama mahasiswa Sastra Prancis. 

Terkesan seperti intro komedi romantis pada umumnya, yang membuat penonton menantikan meet cute kedua tokoh utama. Sampai naskah buatan Kim Na-deul, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Sang Young Park, melempar kejutan. Suatu malam, Jae-hee yang tengah mabuk menggoda dua laki-laki yang sedang berciuman di jalan. Salah satunya adalah Heung-soo. 

Sejak itulah Love in the Big City berevolusi. Heung-soo dan Jae-hee memang takkan bercinta, namun tetap ditakdirkan bersama. Laki-laki gay yang menyembunyikan preferensi demi menghindari persekusi, dan perempuan berjiwa bebas yang mendapat cap "nakal". Persahabatan pun tumbuh. Mereka tinggal bersama, kerap bertukar cerita, sambil sesekali bersantai memakai masker sembari mendengarkan lagu Bad Girl Good Girl dari Miss A. Tiada kekhawatiran benih cinta bakal tumbuh dan mengancam jalinan persahabatan. 

Masing-masing menyimpan kegamangan. Sebagai closeted gay, Heung-soo tak bisa dengan bebas menjalin asmara meski telah menemukan sosok yang ia cinta. Sedangkan kegemarannya mabuk-mabukan di klub malam membuat Jae-hee acap kali digosipkan bergonta-ganti pacar. Dia dipanggil "murahan", di saat laki-laki hidung belang justru dianggap keren karena mampu merebut hati banyak perempuan. 

Love in the Big City memperlihatkan betapa jahatnya masyarakat terhadap individu yang dirasa "berbeda", entah terkait preferensi seksual maupun peran gender. Presentasinya cerdas, begitu pula caranya menyeimbangkan elemen drama dan komedi lewat penulisan jeli, maupun penyutradaraan dengan sensitivitas tinggi dari E.oni. Lihat bagaimana dalam adegan "darah di toilet", filmnya mampu dengan cepat beralih dari kesan tragis menjadi jenaka. 

Dualitasnya memang mengagumkan. Misal seputar kebiasaan ibu Heung-soo (Jang Hye-jin) pergi ke gereja lalu berdoa setiap pagi buta supaya sang putra "sembuh" dan tak lagi menyukai sesama laki-laki. Ada kalanya situasi tersebut hadir untuk ditertawakan, namun ada pula momen ketika itu menjadi sesuatu yang menyakitkan. 

Akting dua pemeran utamanya pun membawa semangat serupa. Noh Sang-hyun dan Kim Go-eun begitu jago "berganti wajah". Di satu titik mereka menyulut tawa, lalu beberapa saat kemudian berubah memancing haru. Di balik gelas demi gelas alkohol yang rutin menemani malam hari mereka, ada kepedihan terpancar dari mata masing-masing. Karena itulah semesta menyatukan Heung-soo dan Jae-hee. Supaya ketika rasa pedih itu tak lagi terbendung, keduanya bisa berlari ke pelukan satu sama lain.

REVIEW - THE WILD ROBOT

Visual The Wild Robot yang menyerupai sapuan cat air membuatnya seperti lukisan bergerak. Sebuah dongeng yang dihidupkan di layar perak. Indah. Tapi di bawah arahan Chris Sanders (Lilo & Stitch, How to Train Your Dragon) keindahan itu merasuk jauh ke dalam, melebihi tampilan luar semata. 

Kisahnya berasal dari buku berjudul sama buatan Peter Brown, di mana seperti judulnya, berpusat pada proses sebuah robot beradaptasi di alam liar. ROZZUM Unit 7134 (Lupita Nyong'o) adalah nama sang robot, tapi kita sebut saja dia "Roz", sesuai dengan nama panggilan yang diberikan para hewan di pulau tempatnya terdampar. Ya, Roz terdampar di pulau terpencil pasca pesawat kargo yang membawanya mengalami kecelakaan. 

Di pulau itulah mayoritas kisahnya bakal dituturkan, walau kita juga bakal berkesempatan mengintip ke luar, dalam momen yang filmnya pakai untuk memberi gambaran singkat mengenai dunia seperti apa yang menjadi latar The Wild Robot. Film ini memberikan contoh terkait teknik worldbuilding yang cerdik sekaligus efektif. 

Roz diciptakan dengan tujuan membantu manusia. Alhasil, di tempat tanpa manusia tujuan itu jadi tak berarti. Apalagi para hewan takut pada Roz dan menganggapnya monster. Dia pun hanya bisa terus berjalan, sementara kita diajak menikmati indahnya goresan warna yang menghidupkan alam tempat kaki Roz berpijak. Bukan semata karena pemakaian tekstur ala cat air, keindahan visualnya juga berasal dari kepekaan sang sutradara dalam hal membingkai "shot". 

Serupa manusia yang dilepaskan ke alam liar bernama "realita", Roz pun harus belajar dari nol, guna menguasai hal-hal yang tak tertanam dalam programnya. Kemiripan itulah yang membuat proses Roz berkembang dari "sebuah" menjadi lebih dekat ke arah "seorang" terasa emosional. Penonton dapat dengan mudah terhubung dengannya. Ditambah lagi kuatnya isian suara Lupita, yang seiring berjalannya waktu, pelan-pelan semakin terdengar tidak robotik dan lebih manusiawi. 

Proses terberat yang Roz lalui bermula saat ia harus merawat angsa kecil yang diberi nama Brightbill (Kit Connor), dengan hanya dibantu oleh Fink (Pedro Pascal) si rubah merah licik. Roz kini menjadi layaknya seorang ibu, yang mendidik Brightbill supaya dapat segera terbang guna bermigrasi bersama angsa lain sebelum musim dingin tiba. 

Interaksi ketiganya tersaji menarik. Bahkan secara lebih luas, interaksi semua penghuni hutan disusun dengan begitu baik oleh naskah buatan Chris Sanders. Cara mereka bertukar kalimat tidaklah monoton, di mana sesekali selipan humor, yang tidak ragu melangkah ke ranah yang lebih gelap, hadir menyegarkan suasana. 

Jatuh bangun Roz merawat Brightbill. Berbagai bahaya mereka lewati, dan sedikit demi sedikit besi yang menyusun tubuhnya mulai keropos. Roz melemah, dan pikiran banyak penonton bakal segera dipenuhi gambaran ibu masing-masing, yang tanpa kita sadari semakin menua. Uban di rambut serta keriput wajahnya bertambah, namun kasih sayangnya kepada kita tak berkurang. Kesedihan menyesakkan kala melepas sang buah hati untuk terbang melihat dunia luas pun enggan ia perlihatkan. 

Chris Sanders berhasil menciptakan banyak pemandangan mengharukan berbasis hubungan ibu-anak tersebut, yang tidak hanya didukung kekuatan visual, tapi juga audio. Sebuah montase berhiaskan lagu Kiss The Sky dari Maren Morris jadi salah satu contoh terbaik. Ada kalanya kesan buru-buru muncul dari penceritaannya, tapi itu tidak sebanding dengan rangkaian pencapaian yang mampu film ini raih. 

REVIEW - KUASA GELAP

Di balik peningkatan kualitas yang beberapa tahun terakhir makin kentara, sejatinya film kita belum sepenuhnya lepas dari keseragaman "warna", di mana hal-hal seperti latar/karakter Pulau Jawa dan pemakaian adat Islam cenderung dominan. Para mayoritas (terlalu) diutamakan. Kuasa Gelap memang masih menerapkan pakem horor standar melalui parade jumpscare miliknya, namun setidaknya ia melukiskan warna berbeda. 

Sejak kemunculan pendeta pembawa salib raksasa di Ranjang Setan (1986), akhirnya ada lagi horor Indonesia yang memakai imageries religius selain Islam. Masjid tempat salat digantikan gereja untuk misa, doa Bahasa Arab berubah jadi Bahasa Latin, sedangkan eksorsisme menggantikan peran rukiah selaku cara mengusir iblis.  

Segala permasalahan bermula saat Kayla (Lea Ciarachel) dan sahabatnya, Cilla (Freya JKT48), memainkan jelangkung di kuburan. Kayla ingin berkomunikasi dengan arwah mendiang ayahnya, berharap ia bisa memisahkan sang ibu (Astrid Tiar) dengan pacar barunya yang tak Kayla sukai. Terdengar bodoh? Ya, dan itu wajar, alias sama sekali bukan wujud kelalaian naskah. Ketidakstabilan emosi remaja, apalagi jika dibumbui kebencian, memang kerap mendorong mereka berbuat tindakan bodoh tanpa pikir panjang. 

Alih-alih arwah ayah Kayla, jelangkung tersebut justru dirasuki oleh murid Lucifer yang bernama Zababel, yang nantinya bakal menebar teror. Di situlah Pastor Rendra (Lukman Sardi) selaku ahli eksorsis mulai berperan, dibantu oleh Thomas (Jerome Kurnia), pastor muda yang tengah mengalami krisis iman pasca kematian tragis ibu dan adiknya. 

Di luar angin segar yang berembus dari pernak-pernik budaya Katolik miliknya, Kuasa Gelap juga ditunjang oleh penceritaan yang bersedia memfokuskan diri pada dinamika batin manusia. Naskah buatan Andri Cahyadi, Vera Varidia, dan Robert Ronny mengajak penonton menghabiskan waktu cukup lama bersama karakter-karakternya, lalu mengenali luka-luka yang mereka derita, khususnya luka akibat kehilangan orang tercinta. Film ini lebih mengakrabkan diri dengan manusia (serta Tuhan) daripada setan. 

Terkait cara menakut-nakuti, Kuasa Gelap sesungguhnya cenderung generik dalam mengolah penampakan Zababel, namun Bobby Prasetyo yang duduk di kursi sutradara memastikan bahwa jumpscare garapannya efektif dalam hal mengageti penonton. Setumpuk pengalaman Bobby telah mengasah kejeliannya merumuskan timing penampakan. 

Di sisi lain, kurangnya pengalaman sang sutradara menangani horor eksorsisme (juga diakibatkan minimnya eksistensi tema tersebut di Indonesia), membuat deretan adegan pengusiran setannya, yang menyertakan elemen aksi, belum seberapa menggigit, karena berbagai pilihan shot yang kurang mendukung. Kuasa Gelap memang masih jauh dari sempurna, tapi saya lebih suka memandangnya sebagai awal yang menjanjikan. Awal dari upaya berkelanjutan untuk menambah warna-warni perfilman Indonesia.

REVIEW - JOKER: FOLIE À DEUX

Joker: Folie à Deux memberi bukti bahwa kesan "berbeda" tidak selalu berdampak positif bagi kualitas suatu film. Lima tahun pasca Joker sukses membuat proses seorang komedian bergulat dengan krisis batinnya menjadi fenomena budaya populer, kini Todd Phillips seolah terjebak dalam kondisi yang mirip dengan si karakter. Phillips yang selama ini dikenal cerdik menangani komedi, seperti dihantui ambisi untuk menunjukkan bahwa dirinya layak mendapat cap "auteur".

Phillips pun dengan berani mencampuradukkan beragam genre secara liar, dari drama psikologis, romansa, prison film, courtroom drama, hingga yang paling nyeleneh, musikal. Begitu besar ambisi sang sineas untuk menjauh dari pakem sekuel Hollywood, ia sampai melupakan satu hal esensial: membuat film bagus. Tidak satu pun elemen dari berbagai genre di atas mampu ia terjemahkan menjadi tontonan menarik. 

Selepas kekacauan yang ia perbuat, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) kini mendekam dalam rumah sakit jiwa Arkham. Dia tengah menanti persidangan, di mana sang pengacara (Catherine Keener) berusaha membantu Arthur lolos dari hukuman mati dengan dalih gangguan jiwa. Bahwa sejatinya Arthur memiliki kepribadian ganda, salah satunya adalah persona Joker, selaku figur yang bertanggung jawab atas segala kejahatan. 

Benarkah ada kepribadian lain dalam diri Arthur? Dia sendiri bergumul dengan pertanyaan itu. Tapi satu yang pasti, Arthur masih sesekali memandang dirinya sebagai bintang yang bersinar di atas panggung pertunjukan. Payung-payung hitam para polisi berubah jadi warna-warni bak properti musikal di kepalanya. 

Joker: Folie à Deux memang lebih menyoroti apa yang ada dalam kepala protagonisnya. Naskah yang ditulis Todd Phillips bersama Scott Silver pun hanya menggunakan segelintir lokasi. Mayoritas filmnya mengambil latar sudut-sudut Arkham yang kelam, sambil sesekali berpindah ke ruang sidang. Ketika di realita ia cenderung stagnan, Arthur lebih banyak "berpetualang" di dalam pikirannya. 

Di saat mayoritas sekuel cenderung berusaha nampak lebih besar, pilihan tersebut sejatinya merupakan pendekatan anti-blockbuster yang unik. Sayangnya Phillips seolah cuma berpikir sampai di situ. Sebatas menginginkan filmnya terlihat berbeda, tanpa tahu bagaimana mengembangkannya dengan baik. 

Muncul harapan tatkala narasinya memperkenalkan Harleen "Lee" Quinzel (Lady Gaga) ke atas panggung. Joker dan Lee berpotensi membawa dinamika destruktif yang menarik, khususnya sejak kita melihat keduanya berdansa di hadapan kekacauan membara yang mereka ciptakan sendiri. Tapi apa daya, naskahnya bak kebingungan mesti bagaimana mengarahkan lampu sorot ke arah Harley Quinn. 

Tidak ada yang salah dalam hal akting. Sebagaimana Phoenix yang masih memukau, terutama soal kemampuannya menarik garis batas antara perangai Arthur dan Joker, lewat perbedaan kepercayaan diri yang dibawakan secara luar biasa, Gaga pun mulus bertransformasi sebagai sesosok "perempuan gila". Hanya saja Phillips tidak tahu cara memaksimalkan kualitas aktrisnya.

Begitu juga terkait elemen musikal. Fokus terhadap isi pikiran Arthur nyatanya turut diterapkan pada musikalnya, yang mayoritas hanyalah imajinasi sang protagonis. Masalahnya isi kepala Arthur tidak jauh-jauh dari dilema seputar persona Joker dan hasratnya menjalin asmara dengan Lee. Repetitif. Demikian pula pengarahan Phillips yang terlalu mengandalkan siluet dan latar hitam monoton. 

Nomor musikalnya terasa melelahkan bak nyanyian pengantar tidur akibat miskinnya kreativitas sang sineas. Hanya Gonna Build a Mountain yang dikemas penuh tenaga. Sisanya, Phillips seperti terjebak dilema antara melangkah secara total menuju kemeriahan musikal, atau bertahan di kesan membumi yang jadi identitas film pertama. 

Belum lagi, karena kebanyakan cuma mewakili imajinasi karakternya, rangkaian musikal Joker: Folie à Deux pun tidak berkontribusi banyak terhadap penceritaan. Tidak lebih dari sempilan video klip karaoke ketimbang alat untuk memperkuat cerita. 

Sesungguhnya ada setumpuk gagasan brilian tersimpan di sini, termasuk caranya menyindir kita selaku penonton, yang memuja kekacauan dan kekerasan, ketika secara tidak sadar, sepanjang 138 menit filmnya, mengharapkan Arthur meledakkan kegilaannya demi memperoleh hiburan. 

Masalahnya, kedangkalan eksplorasi milik naskahnya melemahkan gagasan-gagasan tersebut. Memasuki fase konklusi (yang rasanya bakal menyulut kontroversi di kalangan penggemar semesta Batman), Joker: Folie à Deux menegaskan jati dirinya sebagai penganut nihilisme. Tapi nihilis yang satu ini bukan mendorong kita merefleksikan kehidupan, melainkan keputusan meluangkan uang dan waktu untuk menontonnya.