REVIEW - RANGGA & CINTA
Rangga & Cinta menyebut dirinya sebagai "rebirth" dari Ada Apa dengan Cinta? dengan jajaran pemain baru, tetapi mengusung formula cerita lama dalam latar waktu period. Bentuk musikal dipilih sebagai bukti dedikasi untuk membawa perbedaan, namun pembuatnya tak pernah secara total menyelami kolam tersebut. Timbul pertanyaan besar: Film ini dibuat untuk siapa?
Nostalgia seketika menyeruak seiring terdengarnya kocokan gitar dari intro lagu Ku Bahagia, sementara sekelompok anak SMA berjungkir balik, melompat, bernyanyi sambil menari dengan penuh tenaga. Cara mengawali penceritaan yang efektif memupuk antusiasme penonton. Begitu nomor musikal usai, barulah kita berkenalan dengan sang protagonis dan geng siswi-siswi gaulnya.
Cinta (Leya Princy) si "jagoan puisi" menjalin persahabatan dengan Alya (Jasmine Nadya) yang punya masalah keluarga, Maura (Kyandra Sembel) yang populer di kalangan murid laki-laki, Karmen (Daniella Tumiwa) si tomboi yang emosional, dan Milly (Katyana Mawira) yang paling telmi. Kekalahan Cinta dari kakak kelasnya yang misterius, Rangga (El Putra Sarira), di lomba puisi sekolah jadi gerbang perkenalan keduanya.
Naskah buatan Mira Lesmana dan Titien Wattimena masih mengangkat pondasi cerita serupa versi orisinal, termasuk perihal latar 2000-an awal yang minim signifikasi, walau sekadar pernak-pernik kultural populer yang mengundang nostalgi. Jika jajaran pelakon generasi sekarang telah didapat, mengapa tak sekalian menerapkan modernisasi?
Setidaknya para anak muda yang jadi motor penggerak film ini bermain baik. "Geng Cinta" selalu menyenangkan disimak, sedangkan El Putra Sarira dan Leya Princy membawa romantisme menggemaskan di tengah aksi saling sindir serta adu argumen khas Rangga-Cinta, sambil sesekali melontarkan kalimat ikonik ("Pecahkan saja gelasnya biar ramai", "Salah gue? Salah temen-temen gue?", dll.) yang saya harap bisa mengakar di hati generasi muda, sebagaimana dialami oleh para milenial dahulu.
Tapi pada akhirnya, baik generasi tua maupun muda rasanya takkan sanggup film ini wakili secara total. Termasuk saat ciuman legendaris di klimaksnya dihilangkan. Gestur yang Rangga berikan ke Cinta sejatinya manis, tapi penggemar lama akan kehilangan momen favorit mereka, sementara penonton baru yang cenderung lebih menormalisasi kemesraan semacam itu bakal merasakan kejanggalan serba tanggung. Rangga & Cinta bukan nostalgia sarat romantisme akan masa lalu, bukan pula pembaruan progresif.
Pengarahan Riri Riza di nomor musikalnya pun bernasib serupa. Saya menyebut Rangga & Cinta sebagai "musikal malu-malu". Banyak momen potensial dibiarkan berlalu tanpa disenandungkan, kemudian saat musikal itu datang, terkadang ia bergulir terlampau singkat, bahkan beberapa di antaranya tampil seperti montase ala kadarnya. Untunglah lagu-lagu klasik gubahan Melly Goeslaw belum kehilangan daya bunuhnya.
Musikal berkualitas tidak harus terlihat grande. Kesederhanaan milik nomor Tentang Seseorang yang menduetkan dua pemeran utamanya justru jadi titik terbaik filmnya, membuat saya berandai-andai apa jadinya bila Rangga & Cinta menempuh jalur musikal realis ala karya-karya John Carney.
Sayangnya di kesempatan lain, pengadeganan sang sutradara kembali mengulangi kelemahan yang ia nampakkan di Petualangan Sherina 2 (2023), yakni sebatas merekam sekelompok individu yang bernyanyi dan menari. Waralaba sebesar AADC? layak mempunyai musikal dengan sentuhan estetika lebih mumpuni, alih-alih sekadar mengubah warna lampu seperti pertunjukan teater sederhana atau menggelindingkan bola-bola basket seadanya.
REVIEW - NO OTHER CHOICE
Melalui karya terbarunya yang mengadaptasi novel The Ax karya Donald E. Westlake ini, Park Chan-wook membicarakan suatu jenis mantra. Mantra berbahaya yang dapat menjustifikasi kesalahan, mengoreksinya sebagai sebuah kebenaran, bahkan menyihir orang baik menjadi iblis jahat. Mantra itu adalah "Tidak ada pilihan lain."
Acapkali mantra tersebut dirapalkan oleh para penguasa kaya guna menutupi keserakahan mereka. Protagonis No Other Choice, You Man-soo (Lee Byung-hun), yang bekerja di perusahaan produsen kertas, paham betul dampak mantra itu. Kehidupan sempurna bersama sang istri, Lee Miri (Son Ye-jin), beserta dua anak mereka, runtuh begitu saja kala Man-soo mendadak dipecat meski telah 25 tahun mengabdi. "Tidak ada pilihan lain", ucap anggota direksi yang berasal dari Amerika Serikat, saat Man-soo coba melayangkan protes.
Bukan cuma Man-soo yang jadi korban. Beberapa spesialis manufaktur kertas dari perusahaan lain turut bernasib serupa. Para pemilik modal memangkas sumber nafkah karyawan, semudah mereka menebang pohon untuk dijadikan kertas. Man-soo yang putus asa mencari pekerjaan baru pun memutuskan menghabisi pesaing-pesaingnya guna memperbesar peluangnya diterima, sambil merapal mantra, "Tidak ada pilihan lain."
Masalahnya, selalu ada pilihan lain. Man-soo bisa memilih untuk tak membunuh, atau sebagaimana diucapkan oleh istri salah satu calon korbannya, beralih profesi di luar dunia kertas. Selalu ada pilihan lain yang membuat si individu mempertahankan nurani.
Park Chan-wook menyentil hilangnya nurani, baik terkait dinamika antar manusia, maupun manusia dengan alam (penggundulan hutan demi membuat kertas guna memperkaya diri). Hobi bonsai Man-soo pun mewakili fenomena tersebut. Bagaimana manusia sangat getol menguasai alam, bahkan sampai mengendalikan wujudnya sehingga menghilangkan kenaturalannya.
Butuh waktu sebelum No Other Choice mengokohkan pondasinya. Daya bunuhnya melonjak begitu Man-soo terpikir menjalankan aksi gilanya, sebab di situlah rangkaian komedi gelapnya mulai bermunculan, dimotori oleh totalitas Lee Byung-hun menciptakan figur konyol yang nampak menyedihkan dalam segala tindakannya, membuat penonton dengan senang hati menertawakan nasib sialnya sembari tetap merasakan simpati.
Komedinya memuncak di adegan "perebutan pistol" yang menyatukan talenta Lee Byung-hun, Lee Sung-min, dan Yeom Hye-ran. Park Chan-wook mencontohkan bagaimana mempresentasikan "kekacauan terkendali" di momen yang turut mencuatkan ironi tersebut. Kita menyaksikan rakyat saling bergulat dan bergelut, mati-matian menjaga peluang hidup mereka, sedangkan di tempat lain, barisan penguasa tengah bersantai menikmati guyuran materi.
Didukung tata kamera arahan Kim Woo-hyung, Park Chan-wook membungkus No Other Choice dengan penuh gaya. Pergerakan kamera yang begitu agresif, transisi demi transisi unik, hingga framing inovatif, salah satunya kala sang sineas menghadirkan split screen "alami" dalam adegan berlatar tebing yang melukiskan gejolak terselubung di hati protagonisnya. Setiap shot adalah simbolisme puitis.
No Other Choice tak luput mengkritik lemahnya regulasi pemakaian AI dalam dunia industri yang enggan memperhatikan kesejahteraan manusia. Konklusinya, dengan teramat cantik sekaligus miris, menyoroti lenyapnya kemanusiaan sewaktu individu MEMILIH menenggelamkan diri dalam kesepian dunia modern demi kekayaan materi, alih-alih menyatukan kekuatan dengan sesama rakyat yang mengalami nasib serupa. Selalu ada pilihan lain.
REVIEW - ONE BATTLE AFTER ANOTHER
One Battle After Another melukiskan dinamika dunia kita sekarang, di mana pertikaian terus lahir tanpa akhir dan konflik jadi santapan sehari-hari. Sebuah 162 menit penuh kekacauan yang berpotensi jadi bencana sinematik andai bukan ditangani oleh pengarahan jawara seorang Paul Thomas Anderson (PTA), yang merevolusi genre aksi, memberinya ruang emansipasi dari tuntutan menyuguhkan hiburan tanpa isi.
Sekuen pembuka epiknya mengantar kita berkenalan dengan kelompok pejuang revolusi bernama French 75 yang tengah membobol pusat penahanan guna membebaskan para imigran. Sepasang kekasih, Perfidia Beverly Hills (Teyana Taylor) dan Bob Ferguson (Leonardo DiCaprio), termasuk pentolannya.
Kebanyakan sineas akan merasa cukup membuka karyanya dengan misi pembebasan di atas. Protagonis diperkenalkan, keseruannya pun cukup untuk mencengkeram atensi penonton. Tapi PTA bukan "kebanyakan sineas". Pasca misi, musik gubahan Jonny Greenwood, yang sepanjang durasi bereksperimen dengan bunyi-bunyian (khususnya perkusi) layaknya ilmuwan gila, dibiarkan terus mengalir, mengiringi perlawanan demi perlawanan French 75 yang jauh dari kata "usai".
Mengambil inspirasi dari novel Vineland karya Thomas Pynchon, One Battle After Another menangkap wajah rasis Amerika Serikat, di mana sekelompok pemegang kuasa diam-diam bersekutu dengan tujuan "memurnikan ras", sembari menamai diri mereka Christmas Adventurers Club.
Kolonel Steven J. Lockjaw (Sean Penn) merupakan white supremacist yang berharap dapat bergabung dengan Christmas Adventurers Club. Dialah kepala dari pusat penahanan yang French 75 serang di awal film. Pada penyerbuan tersebut, Perfidia menerobos ke kamar Steven, mempermalukannya, memaksa si kolonel membuat penisnya berdiri di bawah todongan senapan.
Interaksi keduanya menekankan kecerdikan PTA membangun studi karakter. Alih-alih terprovokasi oleh lontaran kata-kata beraroma perlawanan dari Perfidia, Steven sibuk menggigit bibir sambil menahan nafsu. Perfidia pun serupa. Mulutnya menyuarakan revolusi seolah untuk menyembunyikan tatapan matanya yang menyiratkan hasrat diri. Si laki-laki kulit putih yang begitu bangga akan maskulinitas dan rasnya justru ingin tunduk di bawah kaki perempuan kulit hitam, yang di balik segala gembar-gembor revolusinya, hanya ingin merengkuh kepuasan diri.
Itulah awal dari konflik belasan tahun yang bakal melibatkan pengejaran Steven terhadap anggota French 75, tidak terkecuali Bob beserta putrinya, Willa (Chase Infiniti), yang mendapat beberapa uluran bantuan termasuk dari Sergio St. Carlos (Benicio del Toro), pria Meksiko pemilik akademi ninja yang dipanggil "sensei" oleh murid-muridnya. PTA bak mengungkapkan kecintaan atas sinema eksploitasi, dari blaxploitation dengan deretan karakter bernama nyeleneh seperti Junglepussy, hingga nunsploitation.
Skala ceritanya begitu masif, tatkala PTA memberi gambaran bahwa tiap individu mempunyai pertarungan mereka masing-masing. Satu konflik berujung melahirkan konflik lain, ibarat efek domino, hanya saja tiap kejatuhan satu keping domino disertai ledakan penyulut huru-hara.
Bagaimana mungkin cerita sebegini besar nan liar mampu dituturkan tanpa menciptakan kekacauan naratif? PTA mengarahkan kisahnya bagai pembalap formula satu yang memacu mobilnya secepat kilat tanpa pernah kehilangan kendali berbekal refleks level dewa miliknya. One Battle After Another tak mengandung satu pun momen yang terasa percuma, pun secara konsisten menjaga intensitasnya selama hampir tiga jam.
Jajaran pelakonnya tak kalah hebat. DiCaprio tampil konyol tanpa harus menjadi karikatur. Sosok Bob diposisikannya selaku individu biasa yang kehilangan tujuan hidup, lalu beralih ke ganja guna mengisi kekosongan hatinya. Begitu pula Penn kala menghadirkan monster rasis yang ada kalanya amat mengerikan, namun kerapuhan maskulinitasnya tak jarang mengundang tawa. Di tengah keduanya, performa Benicio del Toro membuat saya terpukau oleh ketenangan berwibawa si "ninja Meksiko".
PTA memotret barisan karakternya sebagai manusia biasa melalui naskahnya yang menolak kedangkalan propaganda. Jajaran prajurit revolusi misalnya, yang diperlihatkan berkali-kali membocorkan rahasia kelompok kala berada di bawah ancaman militer. Tiada manusia sempurna di sini. Hebatnya, sang sineas memanusiakan karakternya tanpa terkesan mengerdilkan perlawanan mereka.
Haram hukumnya mengultuskan satu figur dalam perjuangan. Sebuah perjuangan semestinya berorientasi pada gagasan ketimbang sosok yang diidolakan secara berlebih. Pada akhirnya, para pejuang cuma manusia biasa dengan segunung kelemahan, juga memiliki orang-orang tercinta yang dapat dimanfaatkan oleh lawan untuk menyudutkan mereka. Tapi gagasan akan selalu abadi.
Klimaks One Battle After Another membawa penonton mengunjungi area terpencil di tengah padang gurun untuk menyaksikan kejar-kejaran mobil. Di satu titik, PTA menempatkan kita di perspektif mobilnya kala melaju kencang melintasi jalanan naik-turun yang membatasi jarak pandang. PTA bukan hanya memanfaatkan teknologi, pula elemen geografis dalam menyiasati adegan. Jenius! Revolusi tidak disiarkan di televisi, tapi dipancarkan oleh proyektor ke layar perak sinema.
REVIEW - DIA BUKAN IBU
Horor lokal sudah membawa saya tiba di titik jenuh. Terutama yang dibuat berdasarkan utas viral, selaku contoh terbaik (atau terburuk?) dari money milking secara malas. Sampai Randolph Zaini, yang tiga tahun lalu melahirkan salah satu debut penyutradaraan sineas Indonesia paling menyegarkan lewat tarantinoesque berjudul Preman, memberi bukti bahwa selalu ada cara untuk memberi daya tarik pada adaptasi utas.
Hanya segelintir sutradara Indonesia yang benar-benar seorang pecinta film, dan Randolph jelas salah satunya. Ragam referensi, dari The Visit (2015) milik M. Night Shyamalan, hingga yang lebih obscure seperti Un Chien Andalou (1929), tersebar di sepanjang durasi. Siapa sangka adaptasi utas buatan JeroPoint bakal memberi penghormatan pada karya kolaborasi Luis Buñuel dan Salvador Dali tersebut?
Dia Bukan Ibu menyoroti sebuah keluarga kecil. Vira (Aurora Ribero) dan adiknya, Dino (Ali Fikry), baru pindah rumah mengikuti ibu mereka, Yanti (Artika Sari Devi), yang tengah dalam proses membenahi kondisi psikisnya pasca ditinggal sang suami. Wajah Yanti hampir tak pernah nampak di awal durasi. Entah karena membelakangi kamera, atau tertutup pancaran cahaya. Kondisi yang mewakili perasaan Vira dan Dino. Mereka seperti tak mengenali jati diri sang ibu saat ini.
Dibantu oleh adiknya, Jamal (Iskak Khivano), yang ketagihan judol, Yanti berniat memulai hidup baru dengan membuka salon, meski ia tinggal di lingkungan terpencil. Saking terpencilnya, Dino yang bercita-cita menjadi pembuat konten horor bak menemukan taman bermain, lalu memaksa Vira membantunya mengambil gambar di rumah tua yang banyak tersebar di sana.
Penyakit horor Indonesia terletak pada ketidaksabarannya melempar teror generik. Karakter cuma diperlakukan layaknya pion tanpa jiwa, yang hanya ditugasi melihat wajah hantu. Untunglah naskah buatan Randolph Zaini, Titien Wattimena, dan Beta Inggrid Ayu menolak bersikap demikian. Sebelum meneror, mereka pastikan dulu penonton betah menghabiskan waktu bersama para karakternya, bahkan kala tanpa dibarengi sentuhan horor sekalipun.
Diiringi pilihan musik yang menjauhi tren "lagu lawas" yang menciptakan keklisean baru selepas Pengabdi Setan (2017), koneksi antara kita dengan karakternya dibangun selama menyaksikan Vira dan Dino berbagi momen berdua. Aurora Ribero dan Ali Fikry sama-sama tampil kuat, sesekali bertengkar, kemudian berbagi canda tawa yang terkadang mencuatkan kehangatan.
Lambat laun ketidakberesan sang ibu mulai meresahkan keduanya. Yanti yang kerap menyembelih ayam di hadapan anak-anaknya guna membuat sup yang selalu jadi menu makan malam, gerak-geriknya yang sering kurang manusiawi (Artika Sari Devi membangun kengerian tanpa ada kesan berlebihan), sampai fakta bahwa salon miliknya selalu ramai walau terletak di area sepi, jadi beberapa contoh pemandangan aneh yang menyusun Dia Bukan Ibu.
Randolph menolak repetisi jumpscare. Kadang polah janggal Yanti jadi jualan, di lain kesempatan giliran gore yang dikedepankan (pecinta kucing harap berhati-hati), barulah di saat yang tepat ia memunculkan hantu, pun tak langsung dengan tujuan mengageti penonton.
Randolph terlebih dahulu memainkan atmosfer dengan menampakkan sudut-sudut gelap nan misterius, memperlihatkan sekelebat sosok aneh yang mengintip di tengah kesunyian disertai pengarahan penuh gaya (biarpun efek transisi "darah dalam air" terlampau sering diulangi walau minim substansi), sehingga saat akhirnya tiba, efektivitas jumpscare-nya pun tinggi. Kualitas di atas kuantitas.
Dia Bukan Ibu mengangkat kelas cerita klenik khas horor tanah air, dengan memposisikan mistisisme serta terornya sebagai representasi salah satu ketakutan manusia mengenai dualisme identitas, yakni sebagai diri sendiri, dan peran lain yang mesti dilakoni seiring perkembangan fase kehidupan. Acapkali dua identitas tersebut saling bertabrakan, mengacaukan, menyulut rasa takut akan kemungkinan lenyapnya wajah asli sang individu. Sudah sepantasnya sineas tak sebatas mementingkan muka hantu.
REVIEW - KONTINENTAL '25
Seorang tunawisma menjalankan rutinitas harian, dari memungut sampah, meminta sedikit koin pada pengunjung cafe, lalu menikmati alkohol di tengah bentangan kota Cluj. Begitulah cara Kontinental '25 mengawali penceritaan. Sekuen di atas punya kesan candid sebagaimana gaya neorealis yang menginspirasinya (terutama Europe '51 karya Roberto Rossellini). Serupa pergerakan sinema itu pula, film buatan Radu Jude ini bertujuan menangkap dinamika individu dan realita sosial tak ideal yang mesti dilewatinya.
Si tunawisma bernama Ion (Gabriel Spahiu). Dia tinggal di sebuah ruang tungku tak terpakai, yang akan segera diruntuhkan guna dibangun hotel bernama Kontinental. Orsolya (Eszter Tompa) dikirim untuk menjalankan penggusuran. Sungguh malang, di tengah proses tersebut, Orsolya justru menemukan Ion mati bunuh diri akibat dikuasai keputusasaan. Pertanyaannya, malang bagi siapa?
Orsolya yang tak mampu lepas dari rasa bersalah pun berupaya mencari ketenangan dengan bercerita ke orang-orang terdekat. Kontinental '25 mengisi 109 menit alurnya dengan memperlihatkan si protagonis terus mengulang cerita yang sama, yakni mengenai kematian tragis Ion, serta kegundahan hatinya. Sebatas itu? Ya, karena justru di situlah salah satu poin utama narasinya: memberi ruang bagi perihal yang kerap dipandang sebelah mata.
Manusia seperti sulit memvalidasi emosi negatif sesamanya. Luapan unek-unek pun kerap diberi respon sekenanya tanpa ada jejak simpati. Orsolya bercerita pada suami, sahabat, ibu, pendeta, hingga mantan muridnya. Si suami mengerdilkan luka Orsolya kala menertawakan komentar jahat warganet yang menyalahkan sang istri atas kematian Ion, sedangkan ceramah tak ramah si pendeta justru membuat agama terdengar kejam dan tak mengenal keadilan.
Radu Jude mengambil keseluruhan gambarnya memakai iPhone, meniadakan gerak bak memasang kamera candid, yang sesekali mengalami perubahan fokus. Semua atas nama realisme, yang memposisikan penonton bukan hanya sebagai penikmat, melainkan pengamat yang seolah hadir langsung di lokasi sembari diam-diam mengintip rutinitas karakternya.
Naskah hasil tulisan Radu Jude begitu cerdik menyusun obrolan, yang pelan-pelan mengungkap setumpuk informasi yang memberi gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat milik latarnya. Ion rupanya bukan tunawisma biasa melainkan mantan atlet nasional pemenang medali yang tak diperhatikan negara, adanya konflik Rumania-Hungaria, hingga ketidakbecusan aparat bekerja. Alhasil, Kontinental '25 berkembang tak lagi tentang kegundahan satu individu belaka.
Seiring waktu, saya dibuat menyadari kalau establishing shot berisi pemandangan kota Cluj yang terkesan acak bukanlah sebatas jembatan antar adegan, tapi cara Jude menyoroti tendensi pemerintah yang cuma memedulikan pembangunan, pembangunan, dan pembangunan, tanpa mau membuka mata pada kesenjangan sosial.
Jude juga jeli melempar ironi menggelitik. Tengok saat Orsolya benar-benar dikuasai rasa bersalah hingga membuatnya meratap dalam tangis, namun di belakangnya kita melihat sebuah patung animatronik dinosaurus bergerak sembari mengaum.
Obrolan Orsolya dengan si sahabat, Dorina (Oana Mardare), pun kaya akan ironi. Dorina bercerita mengenai penderitaan orang-orang di Roma, mengajak sahabatnya untuk mengulurkan sedikit bantuan, namun sejurus kemudian mengeluhkan bau seorang tunawisma yang tinggal di samping rumahnya. Orsolya pun balas berkisah tentang rutinitasnya memberi sumbangan ke berbagai badan penyalur donasi.
Satu hal yang berkali-kali Orsolya sampaikan adalah bahwa ia sudah berinisiatif memundurkan penggusuran agar memberi waktu bagi Ion untuk bekemas. Apakah itu cukup? Kenapa ia tidak berusaha lebih keras membantu Ion mencari tempat tinggal baru? Apabila penggusuran terhadap tunawisma begitu mengganggunya, mengapa ia enggan beralih profesi? Kontinental '25 juga mengungkap wajah kepedulian bersifat peformatif yang seolah jadi tren masyarakat masa kini.
(JWC 2025)
REVIEW - A BIG BOLD BEAUTIFUL JOURNEY
A Big Bold Beautiful Journey mempunyai dua protagonis yang sulit menemukan jodoh, kemudian mempertanyakan kecocokan satu sama lain pasca pertemuan mereka. Bagi saya dinamika antara film dan penciptanya pun serupa. Tidak semua karya cocok atau berjodoh dengan sineasnya, sehingga bakal melahirkan kekacauan bila dipaksa menyatu. Begitulah hubungan Kogonada dan karya terbarunya ini.
Bukan cuma perkara "lebih komersil", A Big Bold Beautiful Journey punya naskah berbasis dialog (buatan Seth Reiss) berhiaskan situasi fantastis kaya warna, yang memerlukan percikan-percikan hangat untuk dapat menyalurkan rasa. Bayangkan karya Damien Chazelle dikawinkan dengan Richard Linklater. Di tangan Kogonada, rangkaian obrolannya tampil dingin, kalem, pula sesekali diiringi musik jazz menenangkan gubahan Joe Hisaishi.
Di karya-karya sang sutradara sebelumnya, dari romantisme arsitektur puitis di Columbus (2017), sampai fiksi ilmiah kontemplatif dalam After Yang (2021), kesunyian mendukung proses observasi narasinya. A Big Bold Beautiful Journey memaksa dua individu yang sejatinya menawan, terlibat dalam serangkaian pembicaraan membosankan tak bernyawa.
David (Colin Farrell) dan Sarah (Margot Robbie) berkenalan di suatu acara pernikahan yang digelar di "La Strada", selepas sama-sama berkendara menaiki mobil sewaan dengan GPS canggih berbentuk laser merah ala HAL 9000 dari 2001: A Space Odyssey (1968). Masih banyak tribute lain yang Kogonada berikan. Poster film ini pun mengingatkan pada gaya khas komedi romantis klasik macam When Harry Met Sally... (1989) dan Sleepless in Seattle (1993).
Sayang, penceritaan filmnya tidak sekaya referensi yang kerap ia lempar. Berdasarkan arahan GPS, David dan Sarah yang terus dipertemukan oleh ketidaksengajaan, memutuskan mengarungi "perjalanan yang besar, berani, dan indah" bersama. David dan Sarah akan tiba di beberapa destinasi, menemukan pintu-pintu aneh yang mampu membawa mereka mundur ke peristiwa-peristiwa dari masa lalu keduanya.
David dan Sarah membuka pintu menuju masa lalu, guna mengatasi luka serta trauma masing-masing, supaya nantinya dapat membuka pintu yang mengarah menuju masa depan. Sebuah ide indah nan romantis, andai saja naskahnya tidak terdengar seperti kopian kelas dua dari tulisan-tulisan Richard Linklater, yang berusaha puitis namun tanpa jiwa. Bahkan dua protagonisnya mengakui bahwa kata-kata dari mulut mereka ibarat omong kosong.
Dibantu sinematografi arahan Benjamin Loeb, Kogonada konsisten memamerkan pemandangan sureal indah, membuat tiap pintu nampak seperti gerbang pembuka fantasi surgawi. Keindahan itu seketika lenyap begitu karakternya mulai berbicara. Bukan persoalan akting, sebab Colin Farrell dan Margot Robbie membuat saya ingin menonton kombinasi keduanya dalam film lain yang lebih sederhana, di mana mereka sekadar berbincang secara kasual sembari melintasi sudut-sudut kota hingga malam tiba.
Saya dibuat memedulikan percintaan David dan Sarah, namun tidak dengan masa lalu mereka. Naskahnya terlampau dangkal untuk dapat memenuhi ambisinya, sementara pengarahan si sutradara terlalu dingin di saat filmnya memerlukan kehangatan.
Biasanya, David dan Sarah menemukan pintu yang meski dimasuki, namun di kesempatan lain, mobil yang tengah ditumpangi mendadak berhenti, lalu mereka terlempar ke sebuah ruang hampa tempat pintu berikutnya berada. Tiada aturan. Tapi bukankah surealisme identik dengan kebebasan ekspresi? Tentu, selama ia mempunyai tujuan pasti. Keliaran milik A Big Bold Beautiful Journey lebih seperti simplifikasi supaya si pembuat bisa bertindak semaunya. Atau saya saja yang tidak berjodoh dengan film ini?