REVIEW - THE LONG WALK
Julukan "Raja Horor" memang layak disematkan pada Stephen King, berkat ratusan ceritanya yang telah melahirkan barisan entitas mengerikan tanpa jejak kemanusiaan. Tapi di sisi lain, ia juga sanggup menampilkan kehangatan dalam cerita humanis. The Life of Chuck yang rilis beberapa waktu lalu jadi salah satu contoh terbaik, dan kini The Long Walk menampilkan hal serupa. Sebuah film tentang proses mencari makna hidup, berlatar dunia di mana hidup tak lagi memiliki makna.
The Long Walk adalah novel pertama yang King tulis, sekitar delapan tahun sebelum karya perdananya, Carrie (1974), dipublikasikan. Masa di mana King, sebagaimana banyak individu yang baru menginjak kepala dua kala itu, terombang-ambing di tengah amarah, pilu, juga ketakutan, menyaksikan bagaimana para pemuda dikirim untuk mati ke Perang Vietnam.
Dunia The Long Walk adalah cerminan era tersebut: Amerika versi distopia yang dikuasai oleh rezim totaliter, di mana militer memegang kuasa. Kehancuran melanda, sementara kemiskinan jadi pemandangan biasa. Sebagai cara memberi harapan bagi warga, diadakanlah "The Long Walk", yang menjanjikan uang tunai serta pengabulan permintaan apa pun bagi sang pemenang. Tapi toh kita tahu, bahwa di bawah kendali diktator segala harapan maupun kebebasan bersifat semu.
Peserta "The Long Walk" terdiri dari 50 pemuda, yang harus terus berjalan tanpa garis finis, hingga tinggal tersisa satu orang. Mereka yang melanggar aturan (termasuk soal batas minimal kecepatan), akan ditembak mati di tempat. Perlombaan dimonitor langsung oleh The Major (Mark Hamill), yang secara berkala menyampaikan pidato khas diktator di hadapan peserta, yang menyembunyikan kekejaman rezim di balik kulit nasionalisme.
Raymond Garraty (Cooper Hoffman) dan Peter McVries (David Jonsson) merupakan protagonis kita. Sebagai cara melawan letih, mereka terlibat obrolan di sepanjang perjalanan, yang oleh naskah buatan JT Mollner, secara cerdik dimanfaatkan sebagai cara untuk menggali penokohan, sekaligus medium world-building, sebab obrolan tersebut turut menyediakan informasi terkait detail dunianya.
Baik Hoffman maupun Jonsson sama-sama menawarkan akting memikat, yang membuat tiap pertukaran cerita terdengar natural, sebelum pelan-pelan mengikat simpati penonton lewat kisah memilukan masing-masing. Sembari berjalan, para pemuda ini dibawa menyaksikan realita yang sarat akan penderitaan manusia, juga polusi yang merenggut kelestarian semesta.
Kelam, depresif, miskin harapan. Begitulah nuansa "gerak jalan dari neraka" yang mesti karakternya lewati. Sesekali pemandangan tak menyenangkan terpaksa mereka (dan penonton) saksikan. Entah kepala yang pecah akibat lesatan peluru kala ada peserta tereliminasi, atau situasi menjijikkan saat seseorang tak lagi mampu menahan "gejolak natural" di perut mereka.
Di kursi sutradara, pengarahan Francis Lawrence memastikan hal-hal di atas menyulut ketidaknyamanan di hati kita. Kolaborasinya dengan Jo Willems selaku penata sinematografi pun memastikan biarpun filmnya didominasi oleh obrolan, ia tak pernah terlihat monoton. Tapi prestasi terbesar Lawrence bukan perihal membuat penonton mual, melainkan keberhasilan menyusun deretan momen menggugah, selepas karakternya mulai menyadari jika "The Long Walk" bukanlah pintu harapan sebagaimana dijanjikan para penguasa.
Para peserta menyaksikan kerusakan demi kerusakan di tiap sudut wilayah, namun seiring waktu, mereka pun sadar betapa dunia dan kehidupan sejatinya menawarkan keindahan. Kesadaran itulah yang perlahan mengubah obrolan kasual menjadi pernyataan-pernyataan bernada perlawanan. The Long Walk memang tragis, tapi ia menolak meninggalkan penonton tenggelam dalam ketiadaan harapan.
Sedikit bercerita, sebelum film dimulai, bioskop memutar video mengenai pemerintah, yang sewaktu tulisan ini dibuat, mulai ramai dibicarakan di media sosial. Sebuah iklan propaganda meresahkan yang penuh aroma kediktatoran. The Long Walk pun bak ramalan mengerikan tentang apa yang berpotensi terjadi bila kondisi negeri ini semakin memburuk.
REVIEW - EXIT 8
Pada tahun 2023, The Exit 8 menghadirkan fenomena di dunia game ketika mengubah konsep walking simulator menjadi pengalaman menegangkan. Mengikuti jejak judul-judul seperti I'm on Observation Duty (2018), ia pun mempopulerkan konotasi berbeda untuk kata "anomali". Exit 8 selaku adaptasi filmnya juga punya pencapaian serupa, lewat keberhasilannya menyulap permainan "ala kadarnya" jadi cerita filosofis dengan kedalaman emosi.
Garis besar kisahnya menyoroti bagaimana seorang pria tanpa nama yang dipanggil "The Lost Man" (Kazunari Ninomiya), terjebak di lorong kereta bawah tanah yang terus berulang. Setelah beberapa saat, barulah si protagonis menyadari aturan yang mesti dipenuhi guna mencapai pintu keluar Exit 8, yakni dengan menemukan anomali di tiap pengulangan. Bila ada anomali ia mesti kembali, jika tidak, perjalanan ke depan bisa diteruskan.
Wujud anomalinya beragam. Salah satu yang paling mencekam adalah sewaktu laki-laki kantoran misterius dengan julukan "The Walking Man" (Yamato Kochi mencuatkan kesan misterius penuh ketidaknyamanan) yang selalu protagonis kita temui di tiap pengulangan, mendadak berperilaku "aneh". Pengarahan Genki Kawamura memaksimalkan nuansa atmosferik dari ruang liminal yang jadi latarnya.
Exit 8 pun termasuk satu dari sedikit adaptasi yang mampu menangkap "rasa" dari permainannya secara sempurna. Bukan semata karena menit-menit awalnya dipresentasikan dari sudut pandang orang pertama, sebelum beralih ke format konvensional yang tetap diisi banyak take panjang. Seperti di versi game, tidak semua anomali berhasil disadari oleh si protagonis. Sebaliknya, akibat kurangnya ketelitian, sempat pula ia salah mengartikan situasi normal sebagai anomali.
Karena berkutat pada pengulangan, repetisi pun otomatis terjadi. Tapi Genki Kawamura memilih mempertahankannya, seolah menyadari bahwa kesan repetitif memang bagian dari pengalaman yang esensial dari The Exit 8. Ada satu hal menarik. Ketika menemukan keanehan yang cenderung mengancam, si protagonis tidak langsung kabur, bak dikuasai rasa penasaran akan anomalinya. Bodoh? Mungkin, tapi kebodohan serupa juga kerap dilakukan oleh pemain gimnya. Ini pun bentuk pemahaman terhadap materi aslinya.
Film ini bisa dinikmati semua kalangan, tapi penonton yang familiar dengan The Exit 8 bakal merasakan lebih banyak kekaguman sekaligus kekagetan, kala mendapati naskah buatan Genki Kawamura dan Kentaro Hirase membuat alurnya jadi jauh lebih tebal. Misal "The Lost Man" yang diberi cerita personal, saat menerima panggilan telepon berisi kabar kehamilan si mantan pacar (Nana Komatsu).
Kazunari Ninomiya tampil mumpuni sebagai laki-laki yang terjebak dalam kebingungan menyesakkan, baik tentang lorong kereta bawah tanah yang mengurungnya, maupun bayi yang dikandung sang mantan. Pengembangan karakternya terpampang nyata di layar, yang berpuncak pada adegan "terjangan air bah" selaku momen paling menyentuh dalam filmnya.
Situasi yang dihadapi karakternya pun bertransformasi jadi sesuatu yang lebih metaforikal dan filosofis. Bukan sebatas fenomena misterius, pula manifestasi ketersesatan jiwa individu, juga melambangkan rutinitas monoton yang perlahan menghilangkan sisi humanis seseorang, sebagaimana diperlihatkan oleh penelusuran tak terduga mengenai latar belakang karakter "The Walking Man".
Bukan cuma memahami poin esensial materi aslinya, termasuk keberhasilan mengulangi pengalaman memainkan gimnya, film ini turut mengembangkannya, lalu membuatnya jauh lebih kaya. Saya punya sebuah pernyataan berani: Exit 8 merupakan film adaptasi game terbaik yang pernah dibuat sejauh ini.
REVIEW - MADS
Mads akan lebih banyak dibicarakan karena format one-shot miliknya, tapi pencapaian impresif film ini bukan soal teknis semata. David Moreau selaku sutradara sekaligus penulis naskah turut memberi twist menarik pada formula usang film zombi, termasuk sebuah relevansi seputar isu yang akan terasa begitu dekat di benak penonton Indonesia saat ini: penembakan oleh aparat.
Alurnya yang diawali dengan cukup lambat, bukan menyoroti puncak ledakan wabah, melainkan fase awal ketika semua masih jadi misteri yang coba ditutupi oleh para pemegang kuasa. Semua berawal sewaktu Romain (Milton Riche) mengonsumsi narkoba jenis baru berwarna merah. Keanehan mulai terjadi. Romain merasakan ketidakberesan di tubuhnya, pun di perjalanan pulang, ia dihadang sesosok perempuan yang secara membabi buta menusuk-nusuk lehernya sendiri.
Bahkan sejak menit-menit awal, cara Mads mengeksekusi teknik one-shot sudah mengundang decak kagum. Kamera arahan Philip Lozano merekam tanpa pernah putus, pula terus bergerak liar bak sedang di bawah pengaruh halusinogen, yang seiring waktu makin mengagumkan kala David Moreau mulai memandu penonton mengarungi perjalanan berkeliling kota bersama karakternya.
Presentasinya tidak pernah benar-benar mengerikan atau menegangkan. Tidak pula mengumbar kekerasan layaknya jajaran film zombi dengan daya hibur tinggi. Tapi ada kepuasan besar melihat betapa bagus Mads menangani kompleksitas teknisnya.
Hebatnya, Mads tak hanya berfokus pada perspektif satu protagonis. Kelak kita akan meninggalkan sudut pandang Romain untuk beralih ke pacarnya, Julia (Lucille Guillaume), kemudian berpindah lagi ke Anaïs (Laurie Pavy), sahabat Julia yang menyimpan rahasia. Pergeseran sudut pandangnya luar biasa mulus, sekaligus didukung penampilan solid ketiga pelakonnya, yang sejalan dengan realisme incaran sang sutradara.
Julia dan Anaïs juga memakai narkoba merah yang sama sebelum perlahan kehilangan kendali. Mads punya pendefinisian soal zombi yang agak berbeda dibanding mayoritas "kepercayaan" arus utama. Alih-alih mematikan otak, virusnya cenderung membangkitkan sisi feral manusia. Sebelum tertarik memangsa korban, mereka yang terjangkit lebih dulu bersikap anarkis, merusak properti, atau seperti yang nampak di judulnya, "menggila".
Tapi film ini memiliki gerombolan yang lebih gila dibanding para zombi, yakni pasukan paramiliter yang seketika memenuhi kota, kemudian melakukan penembakan tanpa pandang bulu. Warga sipil tak bersalah dihabisi, ditembak di tempat, hanya karena mereka berpapasan dengan individu pembawa virus, yang juga belum sempat memahami keanehan dalam tubuh mereka.
Sejatinya Mads tak pernah secara gamblang menjabarkan asal virus tersebut. Apakah dari narkoba, atau akibat perempuan misterius di awal film (disiratkan ia adalah subjek suatu eksperimen) yang darahnya sempat mengenai wajah Romain. Justru ketidaktahuan itulah poinnya. Bagaimana pihak berwajib enggan memberi penjelasan, dan begitu ringan mencabut nyawa tanpa sedikit pun rasa kemanusiaan, jadi sentilan tajam yang Moreau hendak sampaikan.
Mads mendobrak beberapa formula klise subgenre-nya, terutama dengan memposisikan para "infected" juga selaku mangsa ketimbang predator penghuni puncak rantai makanan. Tapi ia tetap mempertahankan salah satu fungsi cerita zombi, yakni sebagai alat penyampai metafora kondisi sosial. Pada masa di mana umat manusia seolah makin kehilangan kemanusiaan mereka, cerita-cerita macam ini akan terus memiliki relevansi.
(JWC 2025)
REVIEW - ANDAI IBU TIDAK MENIKAH DENGAN AYAH
"Tidak semua orang mau diberi payung. Ada yang menyukai berjalan di bawah hujan". Kurang lebih demikian ucapan protagonis film ini, yang bertujuan merangkum pesan utama kisahnya secara puitis. Kalimat itu entah mengapa terdengar mengganggu, sehingga saya pun berniat mengolahnya lebih jauh di perjalanan pulang.
Sembari makan malam seusai menonton, istri saya menyampaikan ketidaksukaannya akan kalimat di atas. "Daripada menyukai berjalan di bawah hujan kenapa tidak mencari payung sendiri? Kenapa perempuan harus bersikap pasif terhadap penderitaan?", ungkapnya. Kami pun mendiskusikan filmnya, dan banyak sudut pandang dia memberi saya pencerahan.
Kebetulan, keengganan memahami perspektif pasangan jadi alasan utama kehancuran karakter ayah dalam Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah. Tio (Bucek Depp) adalah definisi sempurna dari "lelaki mokondo". Di pagi hari, kala sang istri, Wulan (Sha Ine Febriyanti), sibuk mengurus rumah tangga, sementara tiga putri mereka, Anis (Eva Celia), Alin (Amanda Rawles), dan Asya (Nayla D. Purnama), tidak kalah repot mengawali rutinitas, Tio cuma duduk sembari mengisap rokok. Tiada bantuan ia tawarkan.
Kalau kalian gemar dibuat naik darah, maka film ini bisa jadi pilihan. Naskah buatan Evelyn Afnilia memastikan tiap tindakan yang dilakukan (atau tak dilakukan) oleh Tio menyulut amarah penonton. Sewaktu atap rumah mereka jebol di tengah hujan deras, para perempuan lah yang cekatan mencari solusi. Tio yang baru pulang setelah menghabiskan hari ongkang-ongkang kaki di warung kopi sambil berjudi hanya merespon, "Kok bisa bocor?".
Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah adalah tipikal film yang tiap sudutnya menyediakan masalah. Entah berupa penderitaan yang karakter perempuannya alami, atau polah mengesalkan si ayah. Durasi yang cenderung terlalu panjang (119 menit) tak dipakai menghantarkan cerita solid, melainkan disusun atas sketsa-sketsa kaya derita yang seluruhnya sarat skenario klise.
Ibu yang kelelahan menaiki sepeda untuk bekerja? Beasiswa jalur tidak mampu yang mendadak dicabut? Sandal murah yang tiba-tiba rusak? Semua ada. Baik ide dari naskah maupun pengadeganan Kuntz Agus selaku sutradara tak menyisakan jejak kreativitas (tonton 1 Kakak 7 Ponakan untuk tahu bagaimana kreativitas dikawinkan dengan melodrama). Belum lagi kala alurnya merambah area penyakit kronis, yang membuat saya cuma bisa bergumam, "Sudah kuduga."
Walau demikian, Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah tetap punya relevansi. Digugatnya para laki-laki dari beragam generasi, yang punya tendensi merusak hidup pasangan maupun anak mereka, lewat kekangan berlandaskan ego sebagai "kepala keluarga". Filmnya pun coba menyadarkan soal pentingnya perempuan mempelajari kemandirian, ketimbang memercayai anggapan kalau pernikahan adalah jalan keluar permasalahan.
Sayang, Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah tidak pernah benar-benar memberdayakan, akibat penggambaran jajaran tokoh perempuannya yang begitu pasif, seolah dipaksa menikmati segunung derita hanya demi mengemis tangis penonton. Karakternya terlalu betah berjalan di bawah guyuran hujan hingga terserang penyakit, biarpun mereka memiliki opsi untuk sejenak berteduh sembari membuat payung sendiri.
Padahal film ini tidak kekurangan jajaran pelakon perempuan yang piawai memamerkan kekuatan mereka. Sha Ine Febriyanti sebagai ibu yang tetap kokoh biarpun dihantui rasa sakit, Amanda Rawles yang berapi-api, Eva Celia dengan tatapan tajam serta kata-kata pedas yang senantiasa mencuri sorotan, sampai Nayla D. Purnama yang enggan tertinggal dari para seniornya.
Konklusinya memang menolak bersikap permisif terhadap keburukan si ayah, namun ia luput memperhatikan satu detail: bagaimana mungkin muncul kesan empowering, jika tidak menggiring karakternya secara tegas berinisiatif meninggalkan keburukan, dan justru sebaliknya, membuat keburukan meninggalkan mereka?
Pasca berdiskusi dengan istri, saya lanjut membaca novel Circe karya Madeline Miller, sebuah adaptasi progresif mengenai kisah Circe, nymph yang kerap dianggap tak berguna oleh para dewa, sebelum perlahan menemukan jati dirinya sebagai penyihir, hingga berani menantang nama-nama seperti Athena, bahkan ayahnya, Helios si Dewa Matahari. Rasanya Circe takkan betah bersikap pasrah akan guyuran hujan.
REVIEW - THE CONJURING: LAST RITES
Saya berasumsi bahwa orang-orang di belakang The Conjuring: Last Rites, yang bertindak selaku penghormatan bagi pasutri Warren, lebih tertarik membuat biopik dramatik, yang pada eksekusinya terasa lebih superior baik dari segi kualitas maupun kuantitas, ketimbang elemen horor yang mendefinisikan franchise-nya.
Tengok saja sekuen pembukanya yang lebih mengedepankan perjuangan Lorraine muda (Madison Lawlor) melahirkan putrinya, daripada kasus yang ia dan Ed (Orion Smith) mesti tangani, di mana untuk kali pertama, keduanya mesti berhadapan dengan iblis yang besemayam dalam sebuah cermin. Tidak mengejutkan, mengingat aroma drama keluarga berbumbu romansa memang sudah sejak dulu mendominasi seri The Conjuring.
Sekitar dua dekade berselang, cermin terkutuk itu tiba di kediaman Keluarga Smurl. Mereka yang tadinya begitu harmonis, senantiasa menghabiskan makan malam bersama dengan penuh tawa, mendadak dikuasai ketakutan. Sebuah penegasan dari filmnya, bahwa terburuk yang bisa roh jahat lakukan adalah menggantikan kehangatan antar manusia dengan hawa dingin mencekam.
Banyak karakter film horor terlalu bodoh untuk menyadari ancaman dari artefak terkutuk, lalu membiarkannya tetap bersemayam di rumah mereka hingga semuanya terlambat. Tidak dengan Heather (Kíla Lord Cassidy) dan Dawn (Beau Gadsdon), dua putri tertua Keluarga Smurl, yang segera membuang cermin tersebut. Langkah pintar, walau kita tahu entitas supernatural terlalu keras kepala untuk bisa diusir segampang itu.
Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine (Vera Farmiga) kelak bakal menolong Keluarga Smurl, tapi tidak sebelum filmnya menginjak pertengahan durasi. Memburuknya kesehatan Ed, ditambah keinginan menghabiskan waktu bersama sang putri, Judy (Mia Tomlinson), yang memiliki "berkah" serupa ibunya, jadi alasan pasutri Warren memilih pensiun dari dunia pengusiran setan.
Skrip buatan Ian Goldberg, Richard Naing, dan David Leslie Johnson-McGoldrick mengerahkan segala amunisinya untuk menjalin ikatan emosi antara penonton dengan tokoh-tokohnya. Beberapa momen haru pun berhasil diciptakan, terutama berkat jalinan chemistry Patrick Wilson dan Vera Farmiga selaku motor penggerak, yang memudahkan kita meyakini betapa pasutri Warren saling mencintai.
Lain cerita bila membicarakan caranya menakut-nakuti. Ide naskahnya terlampau generik. Di kursi sutradara, Michael Chaves (The Curse of La Llorona, The Nun II, The Conjuring: The Devil Made Me Do It) memang mau menyusun jumpscare yang tahu kapan harus mengutamakan visual berbalut keheningan alih-alih asal tampil berisik, tapi pada era di mana horor modern sudah secara rutin menyuguhkan teror yang jauh lebih kreatif, The Conjuring menampakkan keusangannya, bak manusia tua yang kehilangan relevansi.
Belum lagi membicarakan tendensi Chaves yang berusaha terlalu keras mengikuti cetak biru pengarahan James Wan dalam dua film pertama, lewat pembangunan intensitas pelan nan panjang. Masalahnya, Chaves hanya bisa meniru tanpa menguasai substansi. Daripada memupuk ketegangan, build up sang sutradara cenderung terkesan berlarut-larut dan melelahkan.
Babak ketiganya dimulai dengan kuat, membangun harapan akan hadirnya pertarungan puncak seru, sebelum bermuara pada situasi konyol, kala wujud lawan pamungkas yang pasutri Warren harus hadapi dalam kasus terakhir mereka akhirnya terungkap. Klimaks tersebut, juga momen saat Annabelle muncul sejenak untuk menakut-nakuti Judy yang bagaikan berasal dari video game horor murahan, lebih pantas muncul di b-movie yang menyengajakan kekonyolan ketimbang franchise "kelas A" macam The Conjuring.
The Conjuring: Last Rites bukan sebuah bencana. Tapi di saat sebuah film horor tampil lebih menarik dalam mempresentasikan kecanggungan menggelitik yang perlahan beralih ke arah ikatan hangat antara Ed dan tunangan Judy, Tony (Ben Hardy), daripada menu utamanya, rasanya asumsi saya di paragraf pembuka tidaklah mengada-ada.
REVIEW - SIAPA DIA
Keroncong, dangdut, campursari di musik, kecak, jaipong, cakalele di tari. Daftar itu akan begitu panjang bila disebutkan seluruhnya, tapi pada intinya, Indonesia amat kaya akan kesenian, sehingga klaim "Negeri ini adalah negeri nyanyian dan tarian" yang karakter film ini sebut tidaklah berlebihan. Melalui Siapa Dia, Garin Nugroho coba menciptakan kapsul waktu berisi kekayaan tersebut, yang beriringan dengan perjalanan sejarah bangsa. Hasilnya mengingatkan saya pada judul Bahasa Inggris dari salah satu karya sang sineas: Chaotic love poems.
Begitulah Siapa Dia, yang dipaparkan dalam tiga babak (plus prolog dan epilog) penuh lompatan narasi liar bak puisi cinta yang kacau. Layar (Nicholas Saputra) mengisi sentral penceritaan. Seorang bintang film yang ingin membuat film musikal karena lelah dengan popularitasnya, namun bingung mesti membicarakan apa. Dibantu dua asistennya, Denok (Widi Mulia) dan Rintik (Amanda Rawles), Layar pun menelusuri kisah-kisah leluhurnya yang tersimpan rapat dalam sebuah koper sebagai inspirasi.
Dari situlah keliarannya bermula, seiring penonton diajak bolak-balik menaiki mesin waktu, mengunjungi ayah, kakek, hingga buyut Layar (semua diperankan Nicholas Saputra), yang riwayatnya berkelindan dengan sejarah bangsa, termasuk perkembangan seninya.
Buyut Layar menggemari komedi stambul semasa penjajahan, kakek Layar menghadapi perkembangan kesenian di tengah pergolakan tahun 1965, sedangkan si ayah mengakrabi budaya perlawanan yang tumbuh di tengah era sensor orde baru. Alurnya maju-mundur begitu liar, sampai tak sempat menciptakan koneksi rasa antara penonton dengan barisan karakter di atas. Jangan mengharapkan dampak emosional biarpun mereka punya kesamaan: disambangi tragedi percintaan.
Garin menarik benang merah antara sejarah bangsa, seni termasuk sinema, juga romansa, di mana semua melibatkan proses menemukan serta kehilangan. Kakek buyut Layar misal, yang sebelum mengucap janji setia bersama Juwita (Happy Salma), pernah jatuh hati pada diva komedi stambul bernama Nurlela (Monita Tahalea), yang direnggut nyawanya oleh tuduhan mengkhianati negara.
Puitis, tragis, namun gaya bertutur Siapa Dia menyulitkan terciptanya simpati, biarpun penampilan mayoritas pemainnya cenderung memuaskan, dari Nicholas Saputra yang senantiasa solid, maupun nama-nama seperti Morgan Oey dengan kelihaian menarinya, serta Dira Sugandi lewat suara powerful miliknya, yang mencuri perhatian meski dalam porsi kemunculan terbatas.
Petualangan menembus waktu yang dinahkodai Garin bakal memuaskan bagi mereka yang menaruh antusiasme terhadap sejarah, maupun pecinta seni. Sayangnya, besar kemungkinan kalangan awam yang mengharapkan edukasi justru bakal teralienasi. Tanpa pemahaman memadai, sukar menemukan pesona dari kapsul waktu yang Garin tawarkan.
Lain cerita bila membicarakan para penyuka sinema yang dahaganya akan dipuaskan oleh rangkaian easter eggs seputar perkembangan industri. Berawal dari Loetoeng Kasaroeng (1926) selaku film pertama yang diproduksi di Indonesia, beralih ke judul-judul klasik macam Badai Pasti berlalu (1977) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), hingga judul-judul kekinian, semua dimunculkan.
Menarik pula menilik keputusan film ini menyandingkan poster KKN di Desa Penari (2022) dengan Yuni (2021), mahakarya ciptaan putrinya sendiri, Kamila Andini. Garin memposisikan diri bukan sebagai penakar nilai, melainkan perekam jejak yang berlaku objektif.
Gelaran musikalnya, yang diiringi deretan lagu legendaris (Nurlela, Payung Fantasi, Badai Pasti Berlalu, Anak Jalanan, dll.) yang efektif memancing dorongan ikut berdendang, digarap dengan apik. Biarpun ketimbang musikal layar perak era kini, pendekatan Garin lebih dekat ke arah musikal panggung.
Segala sisi Siapa Dia memang dipenuhi mannerism ala teater. Entah gaya berlakon jajaran pemainnya (cara melafalkan dialog, bergestur, atau menari), mise-en-scène tiap adegan yang mengingatkan ke tata panggung, kecenderungan karakternya berbicara ke layar bak aktor teater yang bertutur ke arah penonton, semua terkesan "stagey". Tentunya dalam konotasi positif, sebab inilah cara Garin mengingatkan bahwa pertunjukan panggung berperan besar dalam tumbuh kembang sinema tanah air.