THE ARBOR (2011)
Sebelum ini saya sama sekali belum pernah mendengar nama Andrea Dunbar. Ternyata Andrea Dunbar adalah seorang penulis naskah pementasan teater dan film yang diakui kejeniusannya. Tapi kenapa namanya terasa asing? Ternyata Andrea Dunbar telah meninggal 21 tahun yang lalu diusia yang relatif masih sangat muda, 29 tahun. Nah, pertanyaannya pokok bahasan apa yang bisa diangkat dari perjalanan hidup Andrea yang tergolong singkat tersebut? Nyatanya sutradara Clio Barnard memang punya cara tersendiri untuk merangkum film dokumenter sekaligus biografi ini.
Film ini mengisahkan mengenai kehidupan keluarga Andrea Dunbar yang didalamnya terdapat banyak sekali konflik. Berbagai macam konflik yang terjadi disekitar kehidupannya itulah yang akhirnya menginspirasi Andrea untuk menulis cerita berdasarkan kehidupannya tersebut. Andrea juga diceritakan bukan gadis yang baik-baik juga dimana dia mempunyai 3 anak yang berasal dari ayah yang berbeda-beda. Kehiupannya yang berantakan juga membuat ketiga anaknya tidak mengalami masa kecil yang bahagia hingga sang ibu meninggal dunia. Tapi buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Salah satu anak Andrea hasil hubungannya dengan pria Pakistan, Lorraine juga mempunyai kehidupan yang tidak jauh berantakan dari sang ibu.
Yang jadi keunikan sekaligus kelebihan utama film ini adalah cara penyajiannya yang tidak seperti film dokumenter lainnya. Film ini disajikan seperti sebuah film drama dibandingkan dokumenter. Aktor dan aktris yang memerankan tokoh-tokoh nyata di film ini diharuskan melakukan lyp sync terhadap dialog yang diucapkan oleh para narasumber yang suaranya direkam saat wawancara. Hebatnya aktor dan aktris yang bermain seakan terlihat tidak melakukan lyp sync. Mereka terlihat seolah menjadi orang asli yang mengalami kejadian-kejadian yang diceritakan dan seolah adalah narasumber asli yang diwawancarai.
Seperti yang saya bilang, film ini dicampur juga dengan adegan dramatisasi yang begitu unik sehingga kita bisa kembali melihat kurang lebih bagaimana kejadian yang terjadi seseungguhnya. Diparuh awal film bahkan terdapat penyajian yang menarik dimana kita diperlihatkan bagaimana background keluarga Andrea dalam sebuah panggung rekaan yang berlokasi disebuah taman, halaman dan lingkungan sekitar. Sebuah penggmabran unik yang sayangnya menghilang saat film melewati bagian tengah. Dengan segala keunikannya tersebut, "The Arbor" seolah punya potensi untuk menjadi film dokumenter terbaik yang pernah saya lihat. Tapi beberapa kekurangan membuat film ini berakhir hanya sebatas film yang biasa saja bagi saya.
Diawal hingga tengah, film ini masih menjadi film yang sangat bagus dimata saya. Tapi semua itu langsung berubah disaat fokus cerita mulai bergeser dari kehidupan Andrea menjadi fokus pada putrinya, Lorraine yang punya permasalahan hidup yang tidak kalah pelik. Melencengnya fokus cerita jelas menjadi bukti bahwa film ini kesulitan dalam mengangkat kisah hidup Andrea Dunbar yang singkat sehingga saat Andrea diceritakan telah meninggal mereka memaksakan merubah fokus cerita. Toh yang jadi fokus masih putrinya kan? begitu pikir mereka. Sayangnya saya justru kehilangan sisi menarik film ini. Apalagi adegan reka panggung yang jadi keunggulan utama film ini menghilang disaat film muali berfokus pada kehidupan Lorraine.
Saya akui kisah permasalahan Lorraine yang diangkat adalah kisah pelik yang apabila diangkat dalam bentuk sinetron Indonesia pasti akan sampai ribuan episode. Tapi cerita yang pelik belum tentu menjadi menarik. Saya merasakan cerita yang diangkat makin membosankan saja seiring berjalannya durasi. Padahal film ini hanya berjalan 90 menit, tapi yang saya rasakan film ini berjalan 2 jam lebih akibat konflik bak sinetron yang sangat membosankan. Apalagi karakter Lorraine sama sekali bukan karakter yang bisa menarik simpati dan lebih condong untuk dibenci. Dengar saja suara yang dia munculkan seolah tidak mengalami penyesalan atas segala hal yang dia lakukan khususnya terhadap anaknya sendiri.
"The Arbor" tetaplah salah satu film dokumenter yang punya pengemasan paling baik, tapi ditinjau dari segi cerita dan kisah yang ditampilkan bagi saya film ini kosong dan tidak penting. Sungguh, sebuah biopic yang mengangkat kisah hidup 2 wanita yang hidupnya hancur dan tidak membaik sangatlah tidak menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Jika film ini lebih fokus pada hidup Andrea (yang memang pendek dan sulit dikulik lebih jauh) pasti hasilnya jauh lebih baik daripada sekarang yang hasilnya cenderung membosankan.
RATING:
Film ini mengisahkan mengenai kehidupan keluarga Andrea Dunbar yang didalamnya terdapat banyak sekali konflik. Berbagai macam konflik yang terjadi disekitar kehidupannya itulah yang akhirnya menginspirasi Andrea untuk menulis cerita berdasarkan kehidupannya tersebut. Andrea juga diceritakan bukan gadis yang baik-baik juga dimana dia mempunyai 3 anak yang berasal dari ayah yang berbeda-beda. Kehiupannya yang berantakan juga membuat ketiga anaknya tidak mengalami masa kecil yang bahagia hingga sang ibu meninggal dunia. Tapi buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Salah satu anak Andrea hasil hubungannya dengan pria Pakistan, Lorraine juga mempunyai kehidupan yang tidak jauh berantakan dari sang ibu.
Yang jadi keunikan sekaligus kelebihan utama film ini adalah cara penyajiannya yang tidak seperti film dokumenter lainnya. Film ini disajikan seperti sebuah film drama dibandingkan dokumenter. Aktor dan aktris yang memerankan tokoh-tokoh nyata di film ini diharuskan melakukan lyp sync terhadap dialog yang diucapkan oleh para narasumber yang suaranya direkam saat wawancara. Hebatnya aktor dan aktris yang bermain seakan terlihat tidak melakukan lyp sync. Mereka terlihat seolah menjadi orang asli yang mengalami kejadian-kejadian yang diceritakan dan seolah adalah narasumber asli yang diwawancarai.
Seperti yang saya bilang, film ini dicampur juga dengan adegan dramatisasi yang begitu unik sehingga kita bisa kembali melihat kurang lebih bagaimana kejadian yang terjadi seseungguhnya. Diparuh awal film bahkan terdapat penyajian yang menarik dimana kita diperlihatkan bagaimana background keluarga Andrea dalam sebuah panggung rekaan yang berlokasi disebuah taman, halaman dan lingkungan sekitar. Sebuah penggmabran unik yang sayangnya menghilang saat film melewati bagian tengah. Dengan segala keunikannya tersebut, "The Arbor" seolah punya potensi untuk menjadi film dokumenter terbaik yang pernah saya lihat. Tapi beberapa kekurangan membuat film ini berakhir hanya sebatas film yang biasa saja bagi saya.
Diawal hingga tengah, film ini masih menjadi film yang sangat bagus dimata saya. Tapi semua itu langsung berubah disaat fokus cerita mulai bergeser dari kehidupan Andrea menjadi fokus pada putrinya, Lorraine yang punya permasalahan hidup yang tidak kalah pelik. Melencengnya fokus cerita jelas menjadi bukti bahwa film ini kesulitan dalam mengangkat kisah hidup Andrea Dunbar yang singkat sehingga saat Andrea diceritakan telah meninggal mereka memaksakan merubah fokus cerita. Toh yang jadi fokus masih putrinya kan? begitu pikir mereka. Sayangnya saya justru kehilangan sisi menarik film ini. Apalagi adegan reka panggung yang jadi keunggulan utama film ini menghilang disaat film muali berfokus pada kehidupan Lorraine.
Saya akui kisah permasalahan Lorraine yang diangkat adalah kisah pelik yang apabila diangkat dalam bentuk sinetron Indonesia pasti akan sampai ribuan episode. Tapi cerita yang pelik belum tentu menjadi menarik. Saya merasakan cerita yang diangkat makin membosankan saja seiring berjalannya durasi. Padahal film ini hanya berjalan 90 menit, tapi yang saya rasakan film ini berjalan 2 jam lebih akibat konflik bak sinetron yang sangat membosankan. Apalagi karakter Lorraine sama sekali bukan karakter yang bisa menarik simpati dan lebih condong untuk dibenci. Dengar saja suara yang dia munculkan seolah tidak mengalami penyesalan atas segala hal yang dia lakukan khususnya terhadap anaknya sendiri.
"The Arbor" tetaplah salah satu film dokumenter yang punya pengemasan paling baik, tapi ditinjau dari segi cerita dan kisah yang ditampilkan bagi saya film ini kosong dan tidak penting. Sungguh, sebuah biopic yang mengangkat kisah hidup 2 wanita yang hidupnya hancur dan tidak membaik sangatlah tidak menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Jika film ini lebih fokus pada hidup Andrea (yang memang pendek dan sulit dikulik lebih jauh) pasti hasilnya jauh lebih baik daripada sekarang yang hasilnya cenderung membosankan.
RATING:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar