CLOUD ATLAS (2012)

4 komentar
Setidaknya di tahun 2012 lalu ada dua film yang diadaptasi dari novel yang sering disebut unfilmable yakni Life of Pi karya Ang Lee dan Cloud Atlas yang disutradarai oleh tiga orang sekaligus yakni Lana & Andy Wachoski serta Tom Tykwer. Sama seperti Life of Pi, usaha mengangkat Cloud Atlas ke layar lebar tidak mudah. Dengan struktur cerita yang nampaknya mustahil untuk dijadikan sebuah film dan kesulitan dana membuat proyek ini terasa makin mustahil. Tapi setelah perjuangan panjang dan uang dari kocek sendiri, proyek ini akhirnya terlaksana dan menjadi sebuah film indie paling mahal sepanjang masa (bujet sekitar $102 Juta). Berbeda dengan Life of Pi  yang secara kualitas mendapat pengakuan global dan menjadi calon kuat peraih Oscar, maka Cloud Atlas menjadi salah satu film di 2012 yang benar-benar memecah penontonnya menjadi dua kubu seperti apa yang terjadi pada Prometheus. Satu sisi ada yang begitu mencintai sajian 165 menit penuh makna dan keindahan ini, namun ada juga yang begitu membencinya karena dianggap tidak bisa menyampaikan semangat dan makna novelnya dengan baik. Apapun itu, film ini jelas punya banyak cerita menarik termasuk di balik layar. Salah satunya adalah fakta bahwa beberapa pemainnya memainkan lebih dari satu karakter dimana masing-masing karakter tidak hanya berbeda sifat tapi juga usia, ras bahkan gender. 

Ada enam cerita dalam Cloud Atlas yang punya set waktu dan lokasi berbeda-beda. Cerita pertama berlatar tahun 1849 tentang seorang pengacara bernama Adam Ewing (Jim Sturgess) yang tengah melakukan perjalanan pulang ke San Francisco dengan menaiki kapal setelah menyelesaikan urusan bisnis. Adam terserang sebuah penyakit misterius yang menyebabkan dia sekarat selama perjalanan pulang. Selama perjalanan Adam dirawat oleh Dr. Henry Goose (Tom Hanks). Adam juga sempat membebaskan seorang budak kulit hitam bernama Autua (David Gyasi). Cerita kedua ber-setting di Belgia tahun 1936 tentang Robert Frobisher (Ben Whishaw) seorang musisi muda dari Inggris yang tengah bekerja sebagai asisten seorang musisi senior yang juga idolanya, Vyvyan Ayrs (Jim Broadbent). Robert sendiri adalah seorang bisexual yang sebelumnya memadu kasih dengan Rufus Sixsmith (James D'Arcy). Selain bekerja, Robert juga berusaha menciptakan karya masterpiece musiknya. Cerita ketiga berkisah tentang penyelidikan yang dilakukan seorang jurnalis bernama Luisa Rey (Halle Berry) di tahun 1973. Rey tengah menyelidiki sebuah konspirasi kasus tenaga nuklir dan secara tidak sengaja bertemu dengan Rufus Sixsmith yang kini sudah tua. Ternyata Sixsmith mempunyai informasi tentang kasus yang tengah diselidiki oleh Rey.

Cerita keempat berada di masa kini tentang Timothy Cavendish (Julian Broadbent) yang mengalami masalah uang dengan Dermot Hoggins (Tom Hanks), seorang gangster yang bukunya ia terbitkan. Untuk itu ia meminta bantuan dari kakaknya, Denholme Cavendish (Hugh Grant) yang tanpa disangka "menjebak" Timothy sehingga ia berada di sebuah panti jompo. Cerita kelima berlatar masa depan, sekitar tahun 2144 tepatnya di Korea dimana saat itu kekuasaan dipegang oleh totalitarian. Sonmi-451 (Doona Bae) adalah salah satu kloningan yang bekerja di restoran fast food. Suatu hari ia dibebaskan dari tempat itu oleh Hae-Joo Chang (Jim Sturgess) yang merupakan komandan dari gerakan pemberontakan yang tengah berusaha menghentikan kekuasaan pemerintahan yang semena-mena. Lalu cerita terakhir berada di tahun 2321 dimana peradaban di Bumi telah hancur dan manusia yang tersisa kembali hidup layaknya zaman dahulu. Ceritanya bertempat di sebuah pulau di Hawaii dimana Zachry (Tom Hanks) hidup bersama sukunya yang menyembah dewa bernama Sonmi. Zachry selalu dihantui oleh kemunculan sosok iblis bernama Old George (Hugo Weaving) yang selalu meneror pikirannya. Sampai suatu hari datang Meronym (Halle Berry), salah satu anggota Prescients yakni penduduk Bumi yang masih mempunyai teknologi maju.
Menyatukan enam kisah yang sebenarnya saling berkaitan tetap saja sulit meskipun sudah dikemas dalam durasi nyaris tiga jam. Cloud Atlas sendiri adalah sebuah kisah tentang banyak hal dalam kehidupan manusia. Film ini berkisah tentang bagaimana perbuatan seseorang di masa lalu bisa berdampak pada masa depan yang mana bisa berarti tentang reinkarnasi. Dari kalimat tersebut juga menunjukkan bahwa film ini juga berkisah tentang karma, dimana jika seseorang berbuat jahat di masa lalu, dia akan menanggung akibatnya juga di masa depan atau mungkin kehiudpan selanjutnya. Fakta bahwa hampir tiap aktor memainkan karakterisasi yang berbeda-beda mulai dari sosok yang amat baik hingga yang jahat (kecuali Hugo Weaving yang selalu menjadi antagonis jahat) menggambarkan bagaimana tidak selamanya penjahat akan terus menjadi penjahat. Ada saatnya ia menjadi orang baik nantinya. Beberapa poin dalam film ini juga menceritakan tentang kebebasan. Beberapa karakternya mengalami bagaimana rasanya dikekang bahkan diperbudak, dan film ini juga berkisah tentang perjuangan mencapai kebebasan. Cloud Atlas juga berkisah tentang begitu universal-nya semua manusia di dunia. Hal itu juga yang menyebabkan seseorang digambarkan bisa bereinkarnasi menjadi orang ras lain atau gender lain, karena sebenarnya manusia itu sama dan saling terhubung satu sama lain.
Namun apakah filmnya mampu menghubungkan segala ceritanya dengan baik? Apakah filmnya mampu menyajikan kedalaman emosional yang memuaskan? Selama durasi 165 menit yang ada saya tidak pernah dibuat bosan dengan film ini. Masing-masing cerita ditampilkan dengan begitu menghibur hingga tidak terasa melelahkan sedikitpun untuk diikuti. Tapi bukan berarti Cloud Atlas tampil sebagai filmyang sempurna, karena meskipun semua ceritanya enak diikuti saya tidak bisa merasakan ikatan yang cukup kuat secara emosional dengan kisahnya. Padahal Cloud Atlas punya kisah yang begitu kaya tentang cinta, perjuangan, pengorbanan, kebahagiaan hingga tragedi, tapi tidak ada yang berhasil benar-benar membuat saya tersentuh. Pemilihan gaya bercerita yang berpindah-pindah antara satu cerita dan yang lain cukup mempengaruhi hal itu. Disaat satu kisah mulai membangun konfliknya kita langsung diajak berpindah begitu seterusnya. Berbeda dengan novelnya yang lebih urut dan terstruktur dalam narasinya. Hal ini turut membuat gaya cerita masing-masing kisahnya yang sebenarnya berbeda-beda menjadi tidak maksimal. Ya, masing-masing kisah di Cloud Atlas punya gaya masing-masing, mulai dari nuansa misteri, komedi, sci-fi, hingga distopia yang sayangnya menjadi terasa nanggung akibat pemilihan alurnya. Masing-masing cerita yang harusnya saling terhubung dan mempengaruhi cerita-cerita berikutnya juga menjadi kurang terasa. Kelemahan terbesar Cloud Atlas adalah koneksi, baik itu penonton dengan kisahnya ataupun satu kisah dengan yang lain, padahal sesungguhnya itulah potensi utama dari cerita film ini.

Aspek make-up  dan sinematografi yang dibalut CGI dalam film ini terasa luar biasa. Divisi make-up berhasil luar biasa memoles transformasi tiap pemainnya menjadi karakter yang jauh berbeda. Anda akan kesulitan mengenali kemunculan aktor dan aktrisnya di beberapa bagian. Bagian mencari-cari siapa menjadi siapa ini juga menjadi sebuah hiburan dan kepuasan tersendiri. Tentunya hal ini juga ditunjang oleh akting para pemainnya yang bagus. Menampilkan CGI dengan baik memang sudah jadi kehebatan duo Watchowski sedari jaman The Matrix dulu, dan kali ini hal itu kembali terlihat. Meski secara penceritaan memiliki kelemahan, Cloud Atlas begitu luar biasa jika membicarakan masalah tampilan visual ditinjau dari aspek manampun. Cloud Atlas adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan selama hampir tiga jam, meski tidak semua orang bisa menikmati film ini karena gaya bercerita dan durasinya yang lama itu. Andaikan ceritanya ditampilkan lebih maksimal lagi, film ini akan menjadi film terbaik bagi saya di tahun 2012 lalu, namun meskipun tidak sampai sehebat itu, saya tetap berada di kubu yang menyatakan bahwa ini adalah sebuah tontonan yang bagus.


4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

lagi nonton masal nih. kapan buat list-nya haha
ditunggu bro!

Rasyidharry mengatakan...

Haha iyanih rada telat kayaknya, sayang banget masih banyak film yang kelewatan gara2 taun kemaren lebih sedikit waktu nontonnya

Anonim mengatakan...

kebalik dong. tahun ini malah saya yang kurang banget nonton film-filmnya hahaha.

Niken mengatakan...

Satu-satunya yang berkesan bagi saya di film ini hanyalah versi korea dari Jim Sturgess. Totally handsome.