PEEPING TOM (1960)

Tidak ada komentar
Ada kalanya sebuah hasil karya lebih maju daripada zamannya. Hal itulah yang sering membuat banyak ilmuwan yang sering dianggap gila pada saat mereka masih hidup dan saat sudah meninggal barulah mereka dianggap jenius. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada film karya sutradara Michael Powell ini. Pada awal perilisannya, Peeping Tom mendapat tanggapan sangat negatif dari para kritikus serta tidak berhasil mendapat pendapatan yang memuaskan. Bahkan karir Michael Powell pun ikut hancur seiring dengan respon negatif terhadap film ini. Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak re-evaluasi terhadap film ini dan banyak kritikus yang mengkoreksi pendapat mereka kepada film ini. Alhasil memasuki era 70-an, film ini perlahan mulai mendapat status cult bahkan dianggap sebagai masterpiece yang sering dimasukkan dalam daftar thriller terbaik sepanjang masa. Peeping Tom juga sering dibanding-bandingkan dengan Psycho milik Alfred Hitchcock yang dirilis hanya berselang tiga bulan setelah film ini.

Mark Lewis (Carl Boehm) adalah seorang kru film yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai fotografer soft-porn. Dibalik kebiasaannya yang tidak pernah lepas dari kameranya, Mark ternyata memiliki kebiasaan lain yang mengerikan dan tidak diketahui oleh siapapun, yakni membunuh wanita dan merekam ekspresi korbannya. Untuk apa Mark merekam sang korban? Jawabannya adalah karena ia begitu terobsesi pada ekspresi mereka yang ketakutan disaat mengetahui ajal akan segera menjemput. Mark sendiri tinggal di rumah peninggalan mendiang ayahnya dimana ia tinggal di lantai dua, sedangkan lantai bawah ia sewakan pada beberapa orang termasuk seorang wanita bernama Helen (Anna Massey). Helen sendiri mereasa tertarik pada sosok Mark yang pendiam dan misterius. Mark sendiri nampaknya mulai tertarik pada sang wanita. Mark yang selama ini tidak pernah banyak bersosialisasi pun mulai menjalin hubungan dengan Helen. Seiring dengan hubungannya dengan Mark, Helen perlahan mulai mengetahu beberapa hal termasuk masa lalu Mark yang kelam.

Apa yang membuat Peeping Tom spesial adalah karena meskipun berfokus pada kisah pembunuhan, tapi kita tidak pernah sekalipun diperlihatkan pada mayat korban ataupun bagaimana Mark membunuh korbannya secara gamblang. Yang terlihat hanyalah ekspresi terakhir dari sang korban yang ketakutan. Dari situlah Peeping Tom mencoba menyebarkan terornya kepada penonton. Daripada mengajak kita melihat adegan-adegan sadis, film ini lebih memilih mengajak kita untuk merasakan bagaimana ketakutan luar biasa dari seseorang yang mengetahui akan segera mati. Ya, terkadang untuk merasa takut kita tidak perlu melihat langsung kejadiannya namun hanya perlu melihat respon orang yang mengalaminya maka secara otomatis rasa takut akan ikut tertular pada kita. Melalui hal itulah Peeping Tom mencoba memakai imajinasi para penonton untuk memberikan teror pada mereka. Sebuah film horor yang mengajak penonton memposisikan diri di sudut pandang sang pembunuh, sebuah konsep yang bahkan hingga sekarang masih jarang digunakan.
Pengemasannya memang sebuah terobosan baru, tapi saya sendiri merasa kurang setuju jika film ini ditempatkan sebagai salah satu thriller terbaik sepanjang masa apalagi disejajarkan dengan Psycho. Beberapa aspek khususnya yang mengitari sosok protagonis kedua film ini memang mirip, tapi jika bicara soal kemampuan membangun ketegangan Peeping Tom jelas masih kalah jauh. Paruh awalnya masih terasa cukup menegangkan, namun semakin lama ketegangan tersebut semakin menurun. Yang membuat tensinya perlahan tapi pasti menurun adalah tidak adanya misteri yang mampu menarik atensi saya secara terus menerus. Sedari awal penonton sudah diberi tahu siapa pelaku pembunuhannya. Fakta bahwa ia merekam ekspresi korban juga cukup menjelaskan motif utama ia melakukan pembunuhan meski seiring berjalannya film hal itu akan dieksplorasi secara lebih mendalam. Kisahnya memang melakukan penelusuran secara mendalam terhadap sisi psikologis tokoh utamanya, khususnya mengenai dampak perlakuan yang ia terima saat kecil terhadap kebiasaannya saat ini. Tapi masalahnya semua hal itu sudah diketahui sedari awal, jadi seharusnya ada hal lain yang digunakan sebagai daya tarik utama. Tidak adanya misteri yang mengajak penontonnya untuk ikut menyelami kasusnya lebih dalam adalah kekurangan utama film ini.

Beberapa hal juga terasa terlalu dipaksakan untuk developing cerita film ini. Seperti contoh respon yang dimunculkan oleh Helen pada saat pertama kali melihat video masa lalu Mark terasa berlebihan. Apakah seseorang bisa merasa begitu terganggu melihat seorang ayah melemparkan kadal kepada anaknya yang sedang tidur? Bertanya-tanya pasti, tapi sampai merasa begitu terganggu seperti Helen saya rasa agak berlebihan. Respon yang berlebihan guna membuat ceritanya berjalan lebih dramatis juga beberapa kali terulang lagi setelah itu, dan saya cukup terganggu karenanya. Peeping Tom juga terasa tanggung-tanggung dalam memakai format first person-nya, padahal jika dimaksimalkan hal tersebut bisa menjadi pembangun ketegangan yang efektif seperti Rear Window milik Hitchcock. Pada akhirnya Peeping Tom yang begitu saya nanti dengan ekspektasi tinggi ini justru berubah menjadi kekecewaan saat filmnya tidak pernah terasa maksimal baik dalam menghadirkan ketegangan maupun dalam studi psikologis tokoh utamanya. Bagi saya pribadi Peeping Tom gagal untuk membuktikan statusnya sebagai salah satu film klasik yang banyak dipuja.

Tidak ada komentar :

Comment Page: