THE HUNGER GAMES: CATCHING FIRE (2013)

2 komentar
Dengan pendapatan mendekati $700 juta dan respon positif para kritikus maka bisa dipastikan tidak perlu menunggu waktu lama bagi The Hunger Games untuk mendapatkan sekuelnya. Hanya berjarak setahun sekuelnya yang bertajuk Catching Fire pun dirilis. Terjadi pergantian orang di belakang layar. Kursi sutradara bukan lagi menjadi milik Gary Ross melainkan berpindah pada Francis Lawrence (Water for Elephants, I Am Legend). Bagian penulisan naskah kini diserahkan pada duo penulis naskah yang telah akrab dengan nominasi Oscar, yakni Simon Beaufoy (Slumdog Millionaire, 127 Hours) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3). Dengan jajaran nama tersebut ditambah deretan cast yang dipimpin oleh Jennifer Lawrence maka The Hunger Games: Catching Fire pun menjadi salah satu film blockbuster paling ditunggu dan menjanjikan kualitas tahun ini. Saya sendiri meski cukup kecewa dengan kurangnya kebrutalan film pertamanya, menyukai bagaimana kisahnya dirangkai dengan cukup emosional dan tensinya yang mampu terjaga meski minim adegan yang penuh kekerasan.

Melanjutkan dari film pertamanya, pasca kemenangan yang diraih oleh Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) nyatanya tidak membuat kehidupan keduanya menjadi lebih aman dan bahagia. Sosok Katniss telah menjadi inspirasi dan motivasi para rakyat untuk melakukan pemberontakan pada Capitol dan hal tersebut mulai memantik kerusuhan dimana-mana. Presiden Snow (Donald Sutherland) sendiri sadar bahwa sosok Katniss adalah ancaman yang harus segera dimusnahkan. Untuk itulah bersama dengan pembuat game yang baru, Plutarch Heavensbee (Phlip Seymour Hoffman) ia membuat rencana untuk menghancurkan kepercayaan warga pada Katniss sekaligus meruntuhkan semangat juang mereka. Caranya adalah dengan mengadakan seri ke-75 The Hunger Games yang bertajuk Quarter Quell sebagai peringatan kemerdekaan setiap 25 tahun sekali. Quarter Quell kali ini terasa spesial karena pesertanya adalah kumpulan para pemenang The Hunger Games dari tiap-tiap distrik. Katniss dan Peeta pun harus kembali bertempur dalam kompetisi mematikan tersebut. Bedanya kali ini lawan mereka bukan hanya para peserta tapi juga Presiden Snow dan antek-anteknya.

Jika The Hunger Games adalah sebuah hiburan yang berbobot, maka Catching Fire merupakan karya artistik yang dikemas dalam wujud film blockbuster. Film ini berhasil menangkap segala kelebihan yang ada dimiliki pendahulunya untuk dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi dan menambahkan berbagai aspek lain yang mampu memperkaya filmnya. Pertama kita lihat dari segi ceritanya. Cathing Fire tidak hanya berkisah tentang turnamen mematikan yang brutal saja karena pada faktanya turnamen tersebut baru dimulai pada paruh kedua filmnya. Pada paruh pertamanya kita diajak untuk mengamati bagaimana intrik politik yang terjadi bagaimana para pemilik kekuasaan mulai jengah saat posisi mereka mulai digoyang oleh rakyat yang bosan ditindas. Bagaimana demi kekuasaan sang pemilik kuasa sudi mengorbankan nyawa siapapun dan sebanyak apapun. Yang paling menggetarkan adalah bagaimana dengan berani para rakyat tertindas tersebut mulai melakukan perlawanan. Momen saat seorang pria tua dengan berani memberikan tanda dan siulan yang menjadi cara Katniss dan Rue berkomunikasi di film pertama. Perjuangan ini terus meningkat dan mencapai puncaknya tepat saat filmnya berakhir dan membuat saya berekspektasi akan sebuah tontonan yang jauh lebih besar, epic dan emosional di film berikutnya.
Ada juga kisah cinta segitiga antara Katniss-Peeta-Gale yang untungnya dieksekusi tidak dengan murahan meski sebenarnya masih tidak terlalu kuat. Tapi toh itu pilihan yang tepat untuk tidak menjadikan kisah cinta tersebut sebagai fokus utamanya dan lebih menjurus kepada tema resistance, pengorbanan dan eksplorasi terhadap karakter Katniss. Sosok Katniss sendiri semakin diperdalam disini dan jadi semakin menarik. Alih-alih menghadirkannya sebagai seorang heroine yang begitu perkasa dan tak terkalahkan, Katniss disini digambarkan sebagai wanita biasa yang mempunyai rasa takut besar dan trauma mendalam akibat mengikuti The Huneger Game. Dia bukan sosok yang serta merta berusaha membangkitkan patriotisme rakyat dan tidak ingin menjadi simbol perjuangan. Katniss adalah sosok wanita yang tetap rapuh meskipun dia punya ketahanan fisik dan jago menggunakan busur panah. Sosoknya adalah heroine yang manusiawi dan justru faktor itulah yang membuat karakternya menarik dan mudah disukai. Tentu saja itu didukung oleh penampilan bagus Jennifer Lawrence yang tidak hanya berhasil memperlihatkan sosok tangguh Katniss namun juga sosoknya yang begitu rapuh. Bahkan saat harus menghantarkan jokes sekalipun ia berhasil dengan baik.

Sisi artistik lain yang memukau dalam film ini adalah jika kita berbicara tentang setting yang berbungkus CGI memukau dan penggunaan make-up/kostum yang begitu luar biasa. Mulai dari setting arena upacara pembukaan sampai pada lokasi berlangsungnya turnamen yang terletak di hutan buatan berbentuk jam semuanya nampak begitu baik. Apalagi disaat lokasi turnamen itu mulai menunjukkan rahasianya sebagai hutan kematian penuh jebakan disitulah pengemasan settingnya nampak begitu memukau. Lalu jika berbicara make-up dan kostum, apa yang sudah terlihat bagus di film pertama makin ditingkatkan dan lebih gila lagi disini. Tidak hanya karakter Effie dan Caesar namun juga kostum-kostum karakter sekunder yang banyak muncul sampai lagi-lagi kostum penuh api yang memukau milik Katniss dan Peeta semuanya nampak begitu indah dan megah.Perpaduan kedua hal tersebut makin membuat The Hunger Games: Catching Fire menjadi sebuah tontonan yang juga memukau ditinjau dari aspek visualnya.

Tapi bukan berarti film ini luput dari kekurangan. Masih sama seperti film pertamanya, turnamen yang brutal tersebut lagi-lagi terasa terlalu sopan akibat mengejar rating PG-13. Kebrutalan yang seharusnya terasa pun menjadi sama sekali tidak nampak. Saat para peserta saling bertarung greget pun menjadi berkurang akibat kesopanan tersebut. Untungnya ada ancaman dari kabut penuh racun yang bisa memberikan ketegangan sekaligus kengerian yang lumayan. Bagaimana peserta turnamen diperlihatkan juga menjadi kekurangan lain. Ada beberapa peserta yang mempunyai potensi karakterisasi serta ciri khas yang unik tidak ditampilkan dalam porsi yang memadahi. Padahal jika skill masing-masing dari mereka dimaksimalkan saya yakin akan tercipta pertarungan yang sangat menarik disini, apalagi ada karakter-karakter yang tidak hanya mengandalkan otot namun juga otak. Akhirnya penonton pun sering dibuat bingung tentang jumlah peserta yang masih hidup karena tidak semuanya ditampilkan secara merata. Tapi untungnya Francis Lawrence masih sanggup menghadirkan rentetan adegan aksi yang cukup menghibur termasuk klimaks yang cukup menegangkan pula hingga akhirnya ditutup dalam sebuah momen emosional yang mengajak saya menunggu dengan tidak sabar akan film berikutnya.

Overall ini adalah peningkatan kualitas dibanding film pertamanya. Cerita yang lebih mendalam, konflik yang lebih kuat, karakter yang semakin dieksplorasi khususnya Katniss yang mungkin adalah heroine terbaik saat ini, akting para pemain yang bagus (tidak hanya Jennifer Lawrence) serta tata artistik mulai dari setting dan make-up/kostum yang begitu indah mampu membaur menjadi satu menjadikan The Hunger Games: Catching Fire tidak hanya menjadi tontonan hiburan pengeruk uang namun juga adaptasi novel yang memuaskan. Seperti yang sudah saya bilang diawal meski ini adalah blockbuster tapi sesungguhnya film ini merupakan tontonan yang memiliki pencapaian artistik begitu baik.

2 komentar :

Comment Page:
krhh mengatakan...

Hmm, ada beberapa hal yang mengganggu saya sih :
-Love triangle yang annoying banget buat saya
-Maksa banget buat unik, dari penamaan tokoh dan gaya yang justru menurut saya sok surealis
-No f**king humor
-Antagonis yang kurang karismatik/nakutin
-Terlalu emosional dan seakan-akan katniss sendiri yang menampung beban.

Rasyidharry mengatakan...

love trianglenya emang berasa banget kurang maksimal dan ya Presiden Snow itu tipikal antagonis klise yang (maunya) dibuat intimidatif lewat one line cheesy.
But personally i like the unique characteristics :)