THE WORLD'S END (2013)

Tidak ada komentar
 
Trio Edgar Wright, Simon Pegg dan Nick Frost akhirnya menutup trilogi cornetto tiga rasa yang telah mereka awali dengan Shaun of the Dead 9 tahun lalu dalam The World's End. Bagi yang belum tahu kenapa trilogi ini disebut trilogi cornetto tiga rasa adalah karena masing-masing filmnya mewakili rasa cronetto. Shaun of the Dead yang penuh darah merupakan perlambang cornetto rasa strawberry. Kemudian Hot Fuzz yang kental dengan unsur polisi yang juga identik dengan warna biru tua adalah perlambang cornetto rasa original. Sedangkan sebagai penutup adalah The World's End yang merupakan perlambang dari cornetto rasa mint chocolate chip dimana cornetto tersebut identik denagn warna hijau, mirip dengan warna alien yang ada di gambaran umum masyarakat. Saya pribadi sangat menyukai Shaun of the Dead dan sudah lebih dari lima kali menontonnya. Sedangkan untuk Hot Fuzz meski tidak sampai menjadi favorit saya tetaplah sebuah buddy-cop comedy yang lucu dan cerdas. Jika This is the End memakai ensemble cast Amerika, maka The World's End diisi bintang-bintang Inggris. Selain tentunya Simon Pegg dan Nick Frost, ada nama-nama seperti Rosamund Pike, Martin Freeman, Paddy Considine, Eddie Marsan hingga Pierce Brosnan.

The World's End adalah kisah tentang Gary King (Simon Pegg) yang pada saat remaja dulu adalah remaja yang begitu positif dalam memandang hidup dan mengsisi kesehariannya dengan bersenang-senang bersama para sahabatnya dan membuat banyak kekacauan kini hanyalah pria dewasa yang hidupnya diisi dengan mabuk-mabukan dan tidak punya masa depan yang cerah. Suatu hari ia mulai mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya yang bersama dirinya menyebut diri mereka sebagai five musketeers. Mulai dari Steven (Paddy Considine), O-Man (Martin Freeman), Peter (Eddie Marsan) hingga Andy (Nick Frost) yang awalnya menolak pun pada akhirnya berhasil dikumpulkan oleh Gary. Mereka berlima berkumpul untuk "pulang" kembali ke kampung halaman di Newton Haven. Mereka pulang kampung mengikuti ajakan Gary untuk melakukan The Golden Mile, yakni tantangan mengelilingi Newton Haven dan singgah satu per satu di 12 bar yang ada disana untuk minum-minum. Pada percobaan 20 tahun yang lalu mereka gagal dan kali ini mereka berambisi mencapai titik akhir yang terletak di bar bernama The World's End.

Sebaiknya anda tidak terlalu banyak mencari tahu tentang detail film ini, karena The World's End akan semakin mengejutkan anda jika semakin sedikit yang anda ketahui tentang jalan cerita film ini. Tapi mengingat banyak materi promosi sudah memberikan hint tentang kejutan tersebut saya rasa akan ada banyak penonton termasuk saya yang mengetahui bahwa di pertengahan nanti filmnya akan berubah arah dengan begitu drastis. Dari sebuah komedi tentang minum-minum menjadi sebuah cerita yang lebih kompleks dan menegangkan. Kemudian jika anda sudah mengikuti kolaborasi Wright-Pegg-Frost sebelumnya anda akan familiar juga dengan bagaimana The World's End dieksekusi. Masih berpusat di sebuah kota kecil, menjadikan bar sebagai tempat utama terjadinya kekacauan, kamera yang dinamis, adegan kejar-kejaran kacau yang diisi momen melompati pagar, dan tentunya adegan yang memperlihatkan bungkus cornetto. Dan seperti yang sudah kita tahu trilogi cornetto pasti akan menggabungkan komedi dengan sebuah genre lain, begitu pula yang terjadi pada The World's End. Singkatnya jika anda orang yang mengikuti atau bahkan menggemari kolaborasi mereka bertiga akan dengan cepat merasa nyaman menonton film ini.
Pertanyaannya adalah apakah film ini berhasil menyamai kualitas dua film sebelumnya? Saya pribadi masih jauh lebih menyukai Shaun of the Dead, tapi The World's End berada dalam level yang sama dengan Hot Fuzz meski dari segi humor maupun cerita Hot Fuzz sedikit lebih baik. Diluar dugaan kadar komedi dalam film ini tidaklah terlalu kental apalagi jika dibandingkan dengan dua pendahulunya. Setelah cukup kental di paruh awal (meski juga kadarnya masih tidak terlalu tinggi) komedinya mulai berkurang kuantitasnya setelah muncul twist di pertengahan. Meski masih tetap ada sempilan komedi setelah itu jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun untungnya komedi yang muncul efektif untuk setidaknya memunculkan senyum. Kebanyakan komedinya muncul dari interaksi kocak nan gila antara para karakternya, kekacauan yang tidak kunjung berhenti juga masih sanggup menghadirkan kelucuan, tapi yang jelas sosok Gary King milik Simon Pegg yang jago bicara adalah sumber kelucuan utama. Dialog-dialog yang muncul masih terasa segar dengan tempo cepat ala komedi-komedi Inggris semua kelucuannya masih begitu terasa di aspek tersebut.

Bahkan jika kita lihat dari atmosfernya, The World's End terasa jauh lebih kelam dari film pendahulunya. Jika Shaun of the Dead yang penuh darah dan potongan tubuh manusia tetap tidak terasa terlalu kelam, maka The World's End meski masih terasa kacau dan penuh kesenangan tapi tetap terlihat lebih dewasa. Aspek drama dalam film ini cukup mendominasi khususnya tentang berbagai subplot depresif mengenai pria yang mendapati bahwa hidupnya tidak seindah dan secerah seperti yang ia bayangkan di masa muda dulu, kisah tentang cinta tak terjamah, sampai kisah dendam akibat bullying meski beberapa hanya dihantarkan sekilas saja namun terasa mengena dan membuat atmosfer filmnya terasa cukup kelam untuk ukuran sebuah komedi. Kisah persahabatan khususnya antara Gary dan Andy juga terasa cukup kuat berkat chemistry yang masih terjaga antara Simon Pegg dan Nick Frost. The World's End sesungguhnya adalah kisah tentang mereka yang masih terjebak di masa lalunya bahkan disaat dunia sudah mendekati akhir sekalipun.

Sesungguhnya The World's End bisa saja berada diatas Hot Fuzz jika bukan karena klimaks serta konklusinya yang mengecewakan saya. Setelah perjalanan gila nan seru ternyata kisahnya ditutup hanya dengan seperti itu saja. Mungkin ini dimaksudkan untuk memaksimalkan potensi karakter Simon Pegg tapi akhirnya malah terlihat seperti sebuah kebingungan untuk menemukan cara mengakhiri semuanya. Semakin mengecewakan karena ini bukan hanya akhir sebuah film tapi juga akhir dari sebuah trilogi yang luar biasa. Usaha untuk menyelipkan pesan tentang kebebasan dan penolakan manusia (baca: masyarakat) untuk diatur pergerakannya dengan alasan dunia yang lebih baik menjadi terasa kurang mengena. Tapi secara keseluruhan saya masih menyukai The World's End. Apalagi melihat bagaimana adegan aksinya dieksekusi dengan begitu keren membuat saya penasaran akan bagaimana Edgar Wright membuat Ant-Man yang rilis 2015 mendatang. Simon Pegg pun tampil luar biasa disini menyeimbangkan sisi komedi, dramatik dan sosok yang keren saat harus beradegan aksi dengan coat panjangnya itu. The World's End mungkin bukan yang terbaik dari trilogi cornetto, tapi dengan keseimbangan komedi, drama dan sci-fi yang dipenuhi tribute bagi film-film klasik seperti The Thing dan Invasion of the Body Snatcher,  ini adalah tontonan yang amat menyenangkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: