BLUE VELVET (1986)
"She wore blue velvet...Bluer than velvet was the night...Softer than satin was the light...From the stars..." Itu adalah cuplikan lirik lagu dari Blue Velvet yang dinyanyikan pertama kali oleh The Clovers pada tahun 1954 dan baru-baru ini dinyanyikan lagi oleh Lana Del Rey. Berulang kali mendengarkan lagu tersebut sembari berusaha mencerna liriknya perlahan saya pun mulai terhanyut dalam suasana misterius, terasa penuh dengan hasrat dan cinta namun tetap memiliki kesan yang misterius. Ada unsur "keseksian" yang kental dalam lagu tersebut tapi tetap tidak menutupi fakta bahwa atmosfer yang ditawarkan cukup kelam. Mungkin itu juga yang membuat David Lynch tertarik untuk membuat film ini. Sampai saat ini Blue Velvet sendiri sering disebut sebagai salah satu film terbaik David Lynch bersama Eraserhead dan Mulholland Drive. Dirilis dua tahun setelah Dune yang gagal total baik secara pendapatan maupun respon kritikus (Lynch sampai menolak namanya dicantumkan dalam credit film tersebut) Blue Velvet bagaikan sebuah pembuktian kapasitasnya sebagai sutradara jenius nan sinting. Lewat film ini jugalah Lynch mendapat nominasi Oscar keduanya sebagai Best Director (yang pertama lewat The Elephant Man).
Tokoh sentral dalam film ini adalah Jeffrey Beaumont (Kyle MacLachlan) yang pulang ke kampung halamannya setelah sang ayah terkena serangan stroke yang fatal. Dalam perjalanan pulang setelah menjenguk sang ayah di rumah sakit, Jeffrey secara tidak sengaja menemukan sebuah potongan telinga manusia. Jeffrey kemudian menyerahkan telinga tersebut pada Detektif Williams (George Dickerson) untuk diperiksa. Merasa penasaran dengan kebenaran di balik telinga itu, Jeffrey mencoba menggali fakta dari sang detektif yang menolak untuk memberikan keterangan lebih jauh tentang kasus tersebut. Namun berkat informasi dari puteri sang detektif, Sandy (Laura Dern) Jeffrey pun mengetahui bahwa penemuan telinga itu ada hubungannya dengan seorang penyanyi cafe bernama Dorothy Vallens (Isabella Rossellini) yang tinggal di apartemen tidak jauh dari rumahnya. Merasa penasaran, pada suatu malam Jeffrey pun nekat menyusup masuk ke dalam apartemen Dorothy dan bersembunyi di dalam lemari pakaian. Malam itulah Jeffrey melihat pemandangan mengerikan saat seorang pria mengerikan pemilik fetish menjijikkan bernama Frank Booth (Dennis Hopper) datang ke apartemen Dorothy. Sejak malam itulah Jeffrey secara tidak ia sadari terlibat semakin jauh dalam hal yang sangat berbahaya termasuk hubungan yang ia jalin dengan Dorothy.
Jika dibandingkan dengan film-filmnya yang lain seperti Mulholland Drive ataupun Lost Highway mungkin Blue Velvet tidaklah seabstrak dan memiliki tingkat surealisme yang lebih rendah, apalagi jika kita bandingkan dengan Eraserhead dan Inland Empire yang sinting itu. Namun bukan berarti film ini sama tidak terasa seperti karya seorang David Lynch. Masih ada berbagai aspek Lynchian dalam Blue Velvet meski kadarnya ringa, mulai dari atmosfer film yang layaknya mimpi, berbagai simbol dan metafora yang bertebaran, sampai momen-momen absurd seperti contohnya orang yang literally mati berdiri. Lalu jika kita bicara tentang film-filmnya yang seperti mimpi, David Lynch kembali memperlihatkan bagaimana dia begitu jeli dalam menangkap momen-momen aneh dalam kehidupannya untuk kemudian ia masukkan dalam film dan merangkumnya sedemikian rupa hingga menjadi sebuah adegan dengan suasana seperti mimpi buruk yang begitu mencekam. Beberapa contohnya adalah adegan Laura Dern "tersenyum" kearah penonton di Inland Empire, pesan misterius di pembuka Lost Highway, dan jika daam Blue Velvet ada adegan saat Dorothy Vallens tiba-tiba muncul dalam kondisi telanjang dan tubuh penuh luka di depan rumah Jeffrey.
Dan jika bicara tentang mimpi buruk dalam Blue Velvet tentu saja adegan paling ikonik adalah saat Frank memaksa Dorothy melakukan sebuah interaksi seksual yang begitu aneh, gila dan tidak nyaman untuk ditonton. Kita diajak berada dalam posisi Jeffrey yang mengintip dari dalam lemari. Ada rasa takut, tegang dan tentunya jijik melihat apa yang diperbuat Frank terhadap Dorothy. Frank sendiri benar-benar menjadi sosok villain yang gila dan begitu mengerikan disini. Dengan berbagai macam perbuatan gilanya, perilakunya yang tidak ragu melakukan serangan fisik dan seksual, ditambah mulut kotornya yang selalu menyelipkan kata fuck dalam setiap hal yang ia ucapkan menjadikan Frank Booth benar-benar terasa begitu intimidatif. Akting yang sempurna dari Dennis Hopper pun tidak hanya membantu menguatkan sosok Frank tapi juga membantu mengembalikan statusnya sebagai aktor besar. Dari sosok Frank sendiri saya bisa cukup menangkap salah satu hal yang coba dieksplorasi oleh David Lynch disini, yakni hasrat seksual khususnya sexual behavior yang "tidak normal". Adegan gila saat Frank "memperkosa" Dorothy menggambarkan sebuah Oedipus complex yang tergambar dari dialognya tentang anak yang berhubungan seks dengan sang ibu. Ada juga aspek sadomasochism yang terpapar dalam hasrat seksual Dorothy.
Dengan begitu banyaknya aspek twisted sexual behavior memang membuat Blue Velvet terasa cukup disturbing namun sama sekali tidak memuakkan. Menjadikan aspek seksual sebagai salah satu fokus utamanya, David Lynch sanggup membuat film ini lebih kearah seksi daripada seronok. Semuanya berkat penggabungan sempurna antara deretan lagu jazzy macam Blue Velvet, set lokasi yang memperlihatkan rasa sensual penuh keintiman seperti di cafe tempat Dorothy bernyanyi yang didominasi warna biru, sampai pemilihan sudut kameranya. Lynch sering melakukan close-up ekstrim pada mata pemainnya, sedangkan dalam film ini bibir jadi bagian tubuh yang paling banyak disorot, khususnya milik Isabella Rossellini yang sensual dengan lipstick merah menyala. Namun dengan aspek seksual yang cukup kelam itu, percaya tidak percaya Blue Velvet merupakan film Lynch yang terasa paling cerah setidaknya bagi saya. Mulai dari pesan yang coba disampaikan sampai konklusi yang mengakhiri filmnya dimana Lynch menunjukkan bahwa cinta bisa mengalahkan kejahatan dan menyingkirkan kegelapan jelas sebuah sudut pandang lain yang jarang saya temui dalam film-filmnya.
Disajikan dengan narasi yang linier menjadikan Blue Velvet sebagai film yang pas jika anda ingin berkenalan dengan sosok dan gaya seorang David Lynch. Mungkin ada filmnya yang lebih "lurus" yakni The Straight Story maupun The Elephant Man, namun jika anda ingin berkenalan dengan style sureal milik Lynch maka Blue Velvet adalah perkenalan yang tepat. Masih mempunyai aspek misteri dalam kegiatan kriminalitas, Blue Velvet juga memberikan contoh bagaimana sebuah film misteri yang bagus. Misteri yang ada tersimpan dengan begitu rapih, dan penyelidikan yang dilakukan Jeffrey membuat saya ikut terbawa untuk berpikir memecahkan misteri yang ada dan menyusun berbagai puzzle yang ditebarkan oleh Lynch. Hingga pada akhirnya saat konklusi kita memang diberikan sebuah jawaban, namun tidak secara total gamblang dan tetap menyisakan berbagai pertanyaan yang tersimpan rapih di balik blue velvet milik Dorothy Vallens. Yang jelas Blue Velvet merupakan salah satu masterpiece David Lynch yang kembali tercipta lewat sebuah pertentangan antara masyarakat serta lingkungan ideal yang diimpikan Lynch dengan apa yang ia alami dalam kehidupan masa lalunya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar