THE MAN WHO WASN'T THERE (2001)

Tidak ada komentar
Satu lagi film dari Coen Brothers yang mengangkat tema crime sebagai fokus utamanya. Sekedar informasi, dalam The Man Who Wasn't There Joel Coen masih mendapat kredit penyutradaraan sendirian karen baru pada tahun 2003 Directors Guild of America memperbolehkan sebuah film memberi kredit penyutradaraan pada dua orang atau duet. Sehingga dari debut mereka di tahun 1984 dalam Blood Simple sampai Intolerable Cruelty yang rilis di 2003 nama Ethan Coen masih belum mendapat kredit penyutradaraan. Barulah pada film The Ladykillers di tahun 2004 Joel dan Ethan berbagai kredit penyutradaraan. Kembali ke filmnya, The Man Who Wasn't There yang menjadikan Billy Bob Thornton sebagai aktor utamanya dikenal sebagai satu-satunya film Coen Brothers yang disajikan dalam format hitam-putih. Dengan bantuan sinematografer handal Roger Deakins yang juga menjadi langganan film-film Coen, The Man Who Wasn't There bagaikan sebuah tribute kepada genre film noir yang kental dengan suasana gelap, penuh bayangan dan siluet serta tentunya asap rokok yang mendominasi filmnya. Seperti film-film Coen Brothers lainnya disini kita masih akan menjumpai kegiatan kriminal yang tidak berjalan lancar, dilakukan oleh amatiran dan tidak pernah lepas dari hal-hal ganjil nan mengejutkan yang berbau kebetulan.

Ed Crane (Billy Bob Thornton) adalah seorang pria pendiam yang bekerja di tempat potong rambut milik kakak iparnya, Frank (Michael Badalucco). Ed tidak merasakan kebahagiaan atau hasrat dalam hidupnya yang selalu ia jalani dengan keheningan. Di tempat kerja ia selalu dibuat tidak nyaman oleh Frank yang selalu berbicara, sedangkan di rumah dia sudah lama tidak menjalin kemesraan dengan sang istri, Doris (Frances McDormand) hingga segala ungkapan cinta yang keluar dari mulut masing-masing terasa hampa. Bahkan Ed mencurigai Doris berselingkuh dengan Big Dave (James Gandolfini), bos dari pusat perbelanjaan tempat Doris bekerja. Suatu hari di tempat potong rambutnya Ed bertemu dengan pelanggan bernama Creighton Tolliver (John Polito) yang bercerita tentang sebuah investasi untuk sebuah produk berteknologi baru yang menawarkan dry cleaning. Merasa tertarik, Ed pun menawarkan diri untuk berinvestasi $10 ribu dengan uang yang rencananya akan ia dapat lewat memeras Big Dave. Ed mengirimkan sebuah surat tanpa nama yang mengancam jika Big Dave tidak membayar sejumlah itu, perselingkuhannya dengan Doris akan diketahui publik termasuk Ed. Awalnya semua nampak akan berjalan lancar disaat Big Dave justru mencurigai orang lain yang mengancamnya, bukan Ed. Uang pun akhirnya berhasil ia dapat, namun berbagai kejadian tidak terduga sudah menanti di depan Ed.

Tidak perlu diragukan lagi The Man Who Wasn't There punya gaya yang sangat menarik dalam merangkum filmnya khususnya untuk penghantaran atmosfernya. Pemilihan warna hitam-putih mendukung suasana kelam yang dimiliki oleh filmnya baik itu dari alur cerita maupun dari karakter Ed Crane yang memang gloomy. Disinilah kehebatan Roger Deakins dalam menyajikan sebuah sinematografi terlihat jelas. Berbagai adegan terlihat begitu indah, mulai dari beberapa siluet, cahaya yang masuk lewat kisi-kisi dan secara samar menyinari gelapnya ruang, wajah yang tidak nampak secara utuh karena tertutup bayangan, semuanya nampak begitu indah. Tapi gambarnya tidak hanya indah tapi juga mendukung atmosfernya. Suasana kelam tergambar dari warna hitam-putih itu. Berbagai bayangan dan siluet seolah menguatkan bahwa ada misteri yang tertutupi dalam kisahnya serta kegelapan yang terselubung dalam diri Ed Crane. Tidak hanya visualnya yang membangun, iringan musik gubahan Ludwig Van Beethoven yang mayoritas diisi alunan piano yang sendu turut menggambarkan rasa kelam pada kisahnya. Adegan close-up wajah Billy Bob Thornton lengkap dengan warna kelam plus piano yang sendu berulang kali muncul dan sangat menggambarkan atsmofer kelamnya.
Dari gaya visualnya dan dasar ceritanya, The Man Who Wasn't There boleh saja terasa bagaikan sebuah penghormatan terhadap genre noir dimana banya terdapat  gaya khas dari genre tersebut disana-sini. Namun film ini tetaplah tidak kehilangan ciri khasnya sebagai karya dari Coen Brothers. Fokus ceritanya masih akan melebar jauh dan bergerak kearah yang tidak terduga dalam timing yang tidak terduga pula di pertengahan filmnya. Akan ada momen absurd disaat fokus ataupun warna ceritanya berubah drastis dimana lagi-lagi semua terjadi karena aspek "kebetulan" yang mengiringi ceritanya. Keliaran dan kegilaan dalam bertutur itulah yang menjadi favorit saya dalam film-film Coen Brothers dimana terdapat banyak twist tidak terduga. Namun khusus untuk The Man Who Wasn't There, ceritanya yang bergerak liar itu gagal menjadikan film ini lebih menarik. Cerita utama tentang Ed yang berusaha menghadapi dan memperbaiki kekacauan di sekitarnya berjalan kurang greget dan seolah Joel dan Ethan melupakan fokus utama itu untuk bisa menebarkan twist demi twist yang mereka miliki. Saya akui twist yang muncul memang mengejutkan namun sebelum kejutan itu hadir, kisahnya berjalan tidak terlalu menarik dan mengurangi aspek emosional kisahnya. 

Padahal jika bicara soal sisi emosional, filmnya punya potensi untuk menjadi sangat emosional. Dengan atmosfer kelam, karakter yang gloomy, serta nasib kurang beruntung cenderung tragis yang ia alami filmnya bisa terasa begitu emosional. Namun Coen nampak terlalu "bernafsu" menghadirkan jalan yang lebih gila, memutar serta berliku untuk sampai ke tujuan. Ya, jalan berliku dan memutar tersebut memang penuh kejutan menarik, dan saya lagi-lagi harus mengakui segala twist berbau kebetulan dan kesalah pahaman dalam film ini cukup cerdas nan tidak terduga. Tapi semua hal itu justru menjauhkan The Man Who Wasn't There dari potensi serta esensi utamanya mengenai seorang pria dengan hidup kurang beruntung, dirundung sepi bahkan eksistensinya terasa tidak ada. Tapi untungnya masih ada performa memikat Billy Bob Thornton yang menjadikan film ini tidak benar-benar kosong secara emosional dan rasa. Selalu ditemani rokoknya dan memasang ekspresi datar yang hampir selalu sama, karakternya mengajak kita untuk melihat bagaimana sepi dan busuknya hidup yang ia jalani. Wajah datarnya menggambarkan hidupnya yang berjalan datar, dan sekalinya muncul konflik, hal itu malah membuat hidupnya "membusuk". Toh pada akhirnya ia tidak menyesali perbuatannya. Yang ia sesali adalah kenapa ia "hanya" menjadi seorang tukang potong rambut. Saya tidak setuju jika film ini disebut style over substance karena jelas style yang dipakai substansial membangun atmosfer dan karakternya, namun kedalaman emosional yang kurang tergali membuat The Man Who Wasn't There bukanlah karya yang spesial dari Coen Brothers.

Tidak ada komentar :

Comment Page: