TJOET NJA' DHIEN (1988)

2 komentar
Mungkin sampai sekarang Tjoet Nja' Dhien tetap menjadi sebuah ilm yang tidak pernah absen jika ada daftar film-film terbaik Indonesia sepanjang masa. Mari kita tengok prestasi film yang dibuat oleh Eros Djarot ini. Di dalam negeri, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih delapan piala di FFI termasuk film terbaik dan aktris terbaik untuk Christine Hakim. Film ini juga menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar untuk Best Foreign Language Film meski akhirnya gagal masuk nominasi final. Film ini juga menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Cannes Film Festival bahkan berhasil meraih penghargaan Best International Film. Bagi Christine Hakim sendiri perannya sebagai Tjoet Nja' Dhien merupakan perannya yang paling ikonik dan memantapkan namanya tidak hanya sebagai salah satu aktris terbaik Indonesia bahkan dunia, dimana salah satu buktinya dia pernah menjadi salah seorang juri di Cannes Film Festival tahun 2002 lalu. Selain Christine Hakim, film ini juga diisi banyak nama besar lain sebut saja Slamet Rahardjo, Pitrajaya Burnama (bagi yang menggemari film-film Warkop DKI pasti akrab dengan aktor satu ini), Rita Zahara, sampai Rudi Wowor. 

Film ini sendiri mengambil kisah dari tahun 1897 saat Teuku Umar (Slamet Rahardjo) makin memperkuat perlawanannya terhadap tentara Belanda setelah selama ini berpura-pura bekerja sama dengan tujuan mengumpulkan persenjataan yang memadahi. Tjoet Nja' Dhien sendiri tidak hanya seorang istri bagi Teuku Umar tapi juga merupakan "otak" dari segala perlawanan yang dilakukan sang suami terhadap penjajahg. Jika Teuku Umar adalah adalah ujung tombak dan pemimpin, maka sang istri adalah otak yang membidani segala taktik yang dipakai dalam peperangan. Perlawanan terus berlanjut dan pihak Belanda mulai tertekan, hingga akhirnya tahun 1899 Teukuk Umar tewas akibat tertembak di medan perang. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Leubeh (Muhamad Amin) juga jadi salah satu penyebab diketahuinya gerakan yang dilakukan Teuku Umar dan pasukannya. Sepeninggal sang suami, Tjoet Nja' Dhien akhirnya turun langsung memimpin pasukan Aceh di medan peperangan. Filmnya pun mulai memperlihatkan bagaimana perjuangannya yang tidak kenal menyerah bahkan saat kondisi fisik sudah melemah akibat beberapa penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

Salah satu hal yang paling menonjol dan bagi saya merupakan aspek paling luar biasa dalam film ini adalah detail filmnya yang digarap dengan begitu mumpuni. Detail disini adalah detail di segala aspek, mulai dari cerita, pengemasan setting, make-up dan kostum para aktor, dialog yang menampilkan bahasa Aceh dan Belanda, efek peperangan, sampai detail kecil yang selama ini sering dilupakan film epik Indonesia yakni bagaimana para figuran ditampilkan. Untuk aspek yang terakhir memang sering dilupakan dalam film-film lokal dimana sering sekali nampak adegan chaos namun para figurannya malah tertawa-tawa. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja Soekarno milik Hanung. Memang kita tidak mungkin mengharapkan para figurannya berakting bagus tapi setidaknya jangan sampai diluar konteks. Diluar konteks tentu saja disaat adegannya membutuhkan atmosfer penuh amarah atau kesedihan itulah yang ditampilkan, meski tidak maksimal setidaknya jangan sampai menampilkan hal yang berlawanan. Dan untuk itu film ini berhasil, bahkan ada beberapa bagian yang makin kuat atmosfernya berkat para figuran yang total. Detail kecil yang sering terlupakan tapi sangat berpengaruh pada keseluruhan adegan. Tidak lucu kan jika ada adegan penjajah membantai sebuah kampung warganya malah ketawa-ketawa?
Dialognya juga begitu hebat, memperlihatkan begitu mendalamnya riset naskah film ini. Pemakaian bahasa maupun logat Aceh dan Belanda tidak hanya memperkuat keotentikan filmnya tapi juga mempertegas identitas yang dibawa oleh ceritanya. Penggunaan bahasa Aceh memperkuat unsur perjuangan rakyat Aceh yang juga membawa adat istiadat serta budaya yang kental dalam tiap detik perjuangan mereka. Saya pun ikut dibuat merasakan bahwa mereka berperang bukan asal berperang tapi benar-benar kuat unsur Jihad yang diusung. Lalu jika kembali bicara masalah dialog, konten yang dimunculkan pun selalu menarik dan membuat saya terpaku mengikuti alur pembicaraan. Mulai dari strategi peperangan, konflik antar pejuang, sampai dialog-dialog penuh filosofis yang terasa mendalam tanpa perlu sampai berlebihan atau sok puitis seperti yang sering kita jumpai dalam film-film dengan tema (maunya) nasionalisme yang dibuat dewasa ini (contoh: 5 cm). Detail hebat lainnya adalah adegan peperangan yang muncul. Bahkan meski dengan efek visual yang lebih terbatas dibanding saat ini, Tjoet Nja' Dhien mampu menghadirkan adegan perangnya dengan begitu menarik, terasa realistis, penuh kesan heroik dan perjuangan serta ada unsur kebrutalan yang memang diperlukan sebagai penggambar bagaimana besar pengorbanan yang terjadi saat itu. 

Tentu saja akting para pemainnya yang luar biasa turut memperkuat semangat film ini. Di paruh awal Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar menjadi fokus utama dan berhasil memperlihatkan sosoknya sebagai ujung tombak perlawanan rakyat Aceh yang dengan segala teriakannya sanggup memberikan semangat juang berapi-api pada pasukan. Setelah Umar tewas, giliran Christine Hakim lah yang mendominasi layar dan sosoknya luar biasa. Dari sosoknya kita bisa merasakan seorang Tjoet Nja' Dhien yang merupakan pimpinan yang tidak hanya disegani tapi juga disayangi oleh para pasukannya. Dan dia disegani bukan karena kekuatannya tapi lebih karena wibawa yang muncul saat kata-kata mulai keluar dari mulutnya. Dengar dan lihat bagaimana Christine Hakim mengucapkan semua dialognya dan saya pastikan akan timbul rasa segan, hormat dan respect yang luar biasa besar dalam diri kita. Christine Hakim berhasil menjadikan sosok Tjoet Nja' Dhien sebagai sosok pahlawan yang membuat gentar musuh bukan lewat rencong ataupun kekerasan, tapi hanya dengan bertatap muka saja musuh dibuat gentar dengan aura yang terpancar dari dirinya bahkan disaat fisiknya sudah sangat melemah sekalipun. 

Overall Tjoet Nja' Dhien sangat pantas disebut sebagai film biopic terbaik yang pernah dibuat Indonesia, bahkan tidak salah juga menjadikannya salah satu film terbaik sepanjang masa negeri ini. Ini bukan semata-mata film tentang peperangan tapi juga mengeksplorasi bagaimana hal-hal seperti krisis iman dan kepercayaan melanda seseorang yang akhirnya berujung pada dilema bahkan pengkhianatan.  Ini juga bukan semata-mata film yang menggambarkan kisah hidup seorang tokoh sebatas pada riwayatnya namun juga semangat dan filosofi perjuangannya. Konflik yang disajikan pun mendalam, bahkan cukup berimbang dimana film ini juga memperlihatkan pada kita konflik yang terjadi di pihak Belanda. Mulai dari kegusaran dan kekhawatiran mereka terhadap perlawanan Teuku Umar dan Tjoet Nja' Dhien hingga konflik yang terjadi disaat ada prajurit Belanda yang sesungguhnya bukan seorang bengis seperti yang selalu digambarkan tapi mereka hanya menjalankan tugas sebagai prajurit yang mengabdi pada negaranya.

2 komentar :

Comment Page:
weizly mengatakan...

Setuju.ini film terbaik yg pernah dibuat indonesia..dan itu dibuat ditahun80-an, detailnya luar biasa hebat..avengger nya marvel saja kalah detail sama film ini..heran saya lihat film2 hollywood, ditengah peperangan dan kehancuran besar melanda, tapi waktu shot dari atas..aktivitas transportasinya normal2 bahkan waktu kota newyork dihancurkan..kapal comersil masih lalu lalang diperairan terdekat ..kacau

Rasyidharry mengatakan...

Hehe yah memang begitulah kalau film-film blockbuster kebanyakan yang sering kurang memeprhatikan detail