300: RISE OF AN EMPIRE (2014)
Masih segar di ingatan kita bagaimana tujuh tahun lalu 300 sukses besar dan memberikan keuntungan dalam berbagai hal. Secara kualitas memang film tersebut sangat style over substance karena diluar gaya stylish Zack Snyder dalam menghantarkan adegan aksinya, film tersebut tidaklah punya kualitas cerita yang bagus. Tapi toh saya sendiri tidak peduli dengan ceritanya yang tipis karena film tersebut sanggup menghadirkan sebuah film unsur machoisme dalam balutan aksi yang penuh dengan semangat bertempur luar biasa. Penggunaan slow motion dan green screen berlebihannya ternyata berhasil menciptakan sebuah tontonan keren yang brainless tapi sangat menghibur. Film itu pun sukses mendapatkan lebih dari $450 juta dari bujetnya yang hanya $65 juta. Selain itu 300 juga berhasil melambungkan nama Zack Snyder dan Gerard Butler. Snyder yang tadinya hanya dianggap "beruntung" saat berhasil me-remake Dawn of the Dead berubah menjadi salah satu sutradara besar Hollywood. Sedangkan Gerard Butler kini menjadi A-list aktor dan sosoknya sebagai King Leonidas dianggap sebagai salah satu ikon machoisme. Tentunya tidak lupa kalimat ikonis "This is Sparta!" itu. Tujuh tahun berselang, sekuelnya pun dibuat dengan bujet yang hampir dua kali lipat. Tidak ada lagi Snyder sebagai sutradara (kali ini ia menjadi penulis naskah bersama Kurt Johnstad), Gerard Butler hanya muncul dalam flashback, dan tentunya 300 orang prajurit Sparta itu telah mati dengan penuh kebanggaan dalam peperangan. Jadi apa lagi yang bisa diceritakan?
Ceritanya diangkat dari novel grafis berjudul karya Frank Miller yang berstatus unpublished, film yang awalnya bertajuk Battle of Artemisium ini akan menjadi prekuel, sidekuel sekaligus sekuel dari 300-nya Snyder. Sebagai prekuel karena Rise of an Empire akan mundur beberapa tahun sebelumnya, tepatnya saat terjadi battle of marathon yang melibatkan pasukan Persia melawan Yunani. Saat itu Yunani yang dipimpin oleh Themistokles (Sullivan Stapleton) nekat menyerbu pasukan Persia yang punya jumlah pasukan jauh lebih besar. Peperangan tersebut berujung pada kekalahan bagi Persia setelah raja Darius (Yigal Naor) tewas ditangan Themistokles. Themistokles pun dikenal sebagai pahlawan perang yang legendaris. Namun disisi lain ia menyadari sebuah kesalahan karena tidak membunuh putera Darius, Xerxes (Rodrigo Santoro). Karena hasutan dari Artemisia (Eva Green) yang merupakan komandan pasukan laut Persia, Xerxes pun dipenuhi dendam atas kematian sang ayah dan menyerahkan dirinya pada kejahatan hingga berubah menjadi Xerxes sang raja para dewa. Hal itulah yang akhirnya berujung pada invasi besar-besaran Persia terhadap Yunani yang salah satu pertarungannya sudah kita saksikan dalam film pertamanya. Dalam Rise of an Empire kita akan melihat pertempuran lain yang berlangsung saat itu dan setelahnya, yakni pertempuran di lautan antara pasukan yang dipimpin Themistokles melawan Artemisia yang masih menyimpan dendam pada Yunani dan bersumpah akan menghancurkan negeri tersebut.
Semua hal yang jadi daya tarik 300 dimunculkan lagi disini. Penggunaan green screen di medan pertempuran, efek slo-mo berlebihan, sampai pertempuran brutal penuh darah dan potongan tubuh yang berhamburan ada disini. Kali ini medan pertempuran diperluas dengan menampilkan perang diatas lautan dengan skala yang tentunya jauh lebih besar. Noam Murro bisa dibilang punya tugas yang gampang-gampang susah disini. Gampang karena Murro sudah punya segala blueprint kesuksesan 300 dari Snyder. Ibaratnya dia hanya perlu melanjutkan apa yang sudah ada dan mengembangkannya menjadi lebih besar lagi. Hal itu terbukti cukup berhasil karena momen pertempuran yang hadir disini terasa seru dan sangat menghibur. Mulai dari medan lautan yang penuh dengan kapal Yunani dan Persia saling tabrak dan menghancurkan satu sama lain hingga pertempuran diatas kapal dan daratan yang menghadirkan banyak momen pedang membelah tubuh manusia yang menumpahkan berliter-liter darah CGI kearah layar. Ditambah iringan scoring bombastis milik Junkie XL yang juga terlibat dalam penggarapan musik The Dark Knight Rises dan Man of Steel bersama Hans Zimmer makin membuat adegan peperangannya terasa seru. Dengan skala yang lebih besar dan lebih brutal memang sudah seharusnya Rise of an Empire sanggup jadi tontonan yang menghibur. Tapi sayangnya ada satu hal yang membuat film ini tetap tidak bisa menandingi tingkat epic dari 300 yaitu semangatnya.
300 milik Snyder jadi begitu hebat karena memperlihatkan bagaimana luar biasanya perjuangan 300 orang Sparta melawan pasukan Persia yang jumlahnya berpuluh kali lipat. Kita dibuat sangat bersimpati dan mengagumi perjuangan tersebut karena semangat meluap-luap yang terpancar di dalamnya. Apalagi ada sosok Leonidas yang badass dan penuh kharisma itu. Pada akhirnya tiap tebasan pedang hingga kematian yang tersaji di layar jadi begitu bermakna meski tidak ada kisah latar belakang karakter yang mendalam. Hal itulah yang tidak dimiliki sekuelnya ini. Perjuangan pasukan Yunani disini tidak terasa sehebat para Sparta di film pertamanya. Tidak ada rasa "pertempuran bunuh diri yang mustahil" dari perjuangan mereka disini. Apalagi jika kita membandingkan Themistokles dengan Leonidas. Sullivan Stapleton jelas sudah berusaha sekuat tenaga memerankan sosok pemimpin berkharisma yang disegani, tapi dibandingkan Butler sebagai Leonidas jelas tidak ada apa-apanya. Hubungan ayah-anak di medan perang yang muncul lagi juga tidak terasa seemosional film pertamanya. Belum lagi sosok Xerxes yang tidak dieksplorasi meski faktanya film ini diangkat dari novel grafis berjudul namanya. Tapi untungnya ada sosok Artemisia milik Eva Green yang mencuri perhatian. Dengan latar belakang kelam yang melahirkan sosok prajurit wanita bertatapan mata bengis dan tidak kenal ampun, Eva Green sebagai Artemisia adalah scene stealer disini.
Rise of an Empire beberapa kali menampilkan flashback serta dialog-dialog yang menyinggung perjuangan Sparta pimpinan Leonidas. Disini Sparta dianggap sebagai martyr yang menyulut perjuangan rakyat Yunani untuk bersatu melawan Persia. Faktanya hal tersebut justru membuat saya semakin merindukan para Sparta tersebut dan makin menenggelamkan pesona para prajurti Yunani disini. Pada akhirnya salah satu momen terbaik film ini adalah pada klimaksnya disaat pasukan Sparta yang kini dipimpin istri Leonidas, Queen Gorgo (Lena Headey) tiba di medan pertempuran. Ya, momen itu terasa begitu luar biasa sampai membuat saya ingin berteriak "This is Sparta!" saat kapal-kapal mereka perlahan mulai terlihat. Penampilan lena Headey di klimaks inipu ncukup mencuri perhatian meski masih kalah dari Eva Green tapi itu hanya karena masalah porsinya yang memang lebih sedikit. Tapi biar bagaimanapun 300: Rise of an Empire masihlah sebuah film brainless yang menghibur, malah bisa dibilang bagus. Memang semangat dari para Sparta tidak bisa ditandingi film ini, tapi kebrutalan dan serunya adegan peperangan disini sudah cukup membuat saya sangat puas. Yang jelas, film 300 tanpa Sparta jelas hambar, karena pada akhirnya kemunculan pasukan Sparta di akhir itulah yang sanggup membuat saya sampai merinding dan lagi-lagi ingin berteriak kencang di dalam bioskop...THIS IS SPARTA!!!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar