INTO THE WOODS (2014)
Bukankah menarik melihat fakta bawa kebanyakan dongeng karya Grimm Brothers menjadikan hutan sebagai sumber ancaman yang begitu menyeramkan? Mungkinkah semua itu sejatinya berada di tempat yang sama? Into the Woods karya Rob Marshall yang merupakan adaptasi pertunjukkan musikal Broadway ini mengusung ide tersebut. Jadi dalam film ini kita akan menemui Cinderella, gadis berkerudung merah, Jack, sampai Rapunzel dimana kisah mereka semua bercampur, saling berhubungan satu sama lain. Penghubung dari beberaa fairy tale tersebut adalah seorang pembuat roti (James Corden) dan istrinya (Emily Blunt). Mereka hidup bahagia dan saling mencintai, tapi tetap saja ketiadaan seorang anak membuat kehidupan mereka terasa tidak lengkap. Sampai suatu hari rumah mereka didatangi seorang penyihir (Mery Streep) yang mengaku telah mengutuk rumah sang pembuat roti sehingga sang istri tidak bisa hamil. Kutukan itu diberikan akibat perbuatan ayah sang pembuat roti yang dulu mencuri benih kacang ajaib milik sang penyihir.
Untuk mencabut kutukan tersebut, sang pembuat roti harus mencari empat benda yang diminta oleh penyihir, yaitu sapi seputih susu, mantel merah darah, rambut kuning layaknya jagung, dan sepatu emas. Keempat benda itu harus didapat di tengah hutan dalam waktu tiga malam. Tentu saja kita tahu bahwa keempat benda tersebut merupakan kepunyaan keempat karakter fairy tale yang saya sebut di atas. Pada waktu bersamaan pula, semua karakter yang ada memasuki hutan dengan membawa tujuan mereka masing-masing. Mereka memasuki hutan sambil menyanyikan lagu Into the Woods yang amat menyenangkan untuk didengar. Opening film ini berhasil mencuri perhatian, membuat saya tersenyum dan duduk manis berkat suasana gembira, lucu dan kesan exciting yang berhasil dibangun. Dengan lagu yang bagus serta pembawaan menarik setiap karakter khususnya gadis berkerudung merah (Lilla Crawford) yang lucu, film ini berhasil dibuka dengan baik. Tapi sayang, seiring berjalannya waktu Into the Woods gagal menjadi sebuah sajian twisted fairy tale yang merupakan potensi besar film ini.
Meski menjadi usaha untuk men-twist kisah dongeng, tetap saja dasar alur film ini adalah dongeng yang membuat kisahnya mau tidak mau berjalan seperti itu. Hal itu berujung hadirnya banyak "penggambangan" berupa tindakan/kejadian tanpa alasan jelas. Karena memang begitulah fairy tale yang bertutur dengan cara "yang penting terjadi" tanpa memperhatikan motivasi terstruktur. Itulah kenapa dongeng semakin ditinggalkan dewasa ini karena orang-orang semakin punya cara berpikir kompleks dan logis. Tapi bukan itu saja permasalahan alur film ini. Begitu banyak cerita dibaur menjadi satu pada ahirnya membuat segalanya terburu-buru, meski penulis naskah James Lapine sudah melakukan penyesuaian dengan cara menghilangkan beberapa subplot yang ada di pementasan Broadway-nya, seperti kisah Sleeping Beauty dan Snow White. Cara lain yang dilakukan adalah dengan melewati momen ikonik tiap fairy tale supaya penonton tidak bosan karena lagi-lagi dijejali dengan kisah yang sudah ratusan kali mereka dengar.
Into the Woods bertutur tentang apa yang terjadi diluar petualangan Jack di rumah raksasa atau romansa Cinderella di istana. Masalahnya, adegan ikonik itu adalah bagian paling menarik dalam tiap dongeng. Menghilangkan petualangan Jack, romansa Cinderella, atau perjuangan Rapunzel jelas menghilangkan daya tarik mereka. Pada akhirnya itu bisa sedikit dimaklumi karena poin utama film ini baru hadir pada paruh kedua, disaat masing-masing karakter menyadari bahwa akhir happily ever after yang mereka dapat tidak sebahagia itu. Paruh kedua memberikan twist pada cerita tiap karakter, suatu aspek yang seharusnya menarik gagal memenuhi potensinya. Meski tidak terlalu kuat, paruh pertama film ini masih menghibur karena memang sudah punya dasar cerita kuat. Sedangkan paruh kedua disaat harus menciptakan cerita yang benar-benar baru, filmnya terasa kehilangan arah, tidak tahu hendak melakukan apa. Hal itu membuat momen demi momen terasa hampa dan membosankan, termasuk nomor musikalnya yang tidak lagi menarik. Well, pada dasarnya memang keseluruhan lagu yang hadir disini tidak terlalu spesial kecuali pada adegan pembuka.
Kenapa musikalnya tidak terlalu berkesan walau para pemain sudah tampil maksimal dan lagu yang ada pun cukup enak didengar? Jawabannya karena tidak adanya sisi emosi yang hadir. Film ini memang cukup menyenangkan, dan beberapa kali komedinya sanggup menghadirkan tawa, tapi secara emosi benar-benar kosong. Sangat disayangkan, karena potensi untuk menjadi sajian emosional yang kelam jelas ada. Tapi pilihan untuk mengemasnya lebih ringan dan family-friendly melucuti segala potensi itu. Tidak bisa dipungkiri ada beberapa momen dark, tragis, bahkan sadis, tapi benar-benar diminimalisir, berbeda dengan versi Broadway-nya. Alhasil film ini sedikit kehilangan esensinya sebagai twisted fairy tale. Into the Woods jadi satu lagi perwujudan wajah industri perfilman Hollywood yang tega melucuti esensi demi jangkauan penonton yang lebih luas. Setidaknya saya menyukai bagaimana film ini menjadikan hutan sebagai perlambang kehidupan. Ada jalur yang kita ikuti untuk melangkah disana, kita bisa tersesat, pun bisa kehilangan sesuatu bahkan seseorang. Kita bisa merasa sendiri disana meski sejatinya kita tidak pernah selalu sendirian.
Akting para pemainnya memuaskan. Meryl Streep hadir dengan gestur yang luar biasa, cara bertutur, hingga ekspresi yang menghadirkan kesan kejam sekaligus lucu disaat bersamaan. Meski saya pastikan Best Supporting Actress tidak akan ia menangkan karena Oscar jelas bakal lebih memilih performa yang berfokus di emosi daripada gestur dan ekspresi eksternal macam ini. Emily Blunt turut mencuri perhatian khususnya saat harus melucu dengan ekspresi dan gerak konyolnya itu. Chris Pine tidak jauh beda terlebih saat ia menyanyikan Agony sambil membuka kancing baju. Aktirs cilik Lilla Crawford yang merupakan jebolan Broadway sendiri menjadikan gadis berkerudung merah sebagai sosok yang lucu disaat karakternya berpotensi jatuh menjadi menyebalkan. Johnny Depp? Well, kita sudah sampai pada era dimana karakter aneh Depp tidak lagi menarik. Sayang, lagi-lagi semua karakter unik itu kehilangan daya tarik mereka di paruh kedua. Alur yang kehiangan arah membuat masing-masing karakter juga mengalami permasalahan serupa. Into the Woods adalah sajian yang cukup menghibur, tapi hanya itu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar